Sukses

Putra Nababan: Literasi Akan Membuat Orang Tak Mudah Diprovokasi

Berbagai riset nasional mencatat minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah.

Liputan6.com, Jakarta - Berbagai riset nasional mencatat minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani pernah mengatakan, berdasarkan hasil penelitian perpustakaan nasional tahun 2017, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.

Menanggapi hal itu, Jurnalis Senior sekaligus founder idtalent.id Putra Nababan mengatakan, sebagai keluarga duta literasi, ke depan dirinya memiliki tugas dan tantangan untuk menjadikan Indonesia lebih naratif. Caranya dengan memperkuat minat baca masyarakat Indonesia.

Hal ini dikatakan Putra Nababan saat menjadi pembicara dalam acara Motivasi Duta Baca Daerah dan Peserta Lomba Bercerita Bagi Siswa SD/MI Tingkat Nasional Tahun 2018 di Perpustakaan Nasional RI, Kamis 6 September 2018.

Menurut Putra, apabila sebuah bangsa tidak memiliki konteks dan narasi akan mudah diprovokasi, mudah marah, mudah maki-maki, mudah iri dan mudah putus asa.

"Orang-orang seperti itu biasanya jarang baca buku, jarang berilitrasi, sedikit-dikit marah, tersinggung, mukul," ujar Putra seperti dikutip dari gesuri.id.

Putra mengatakan, karakteristik orang yang banyak membaca dan menulis ketika diperhadapkan pada suatu masalah atau kejadian maka mereka tidak serta merta mengambil keputusan dengan sembrono, melainkan akan berfikir, menganalisa terlebih dahulu, baru setelahnya mengambil keputusan.

"Dan sebaliknya jika seorang yang membacanya hanya membaca status orang lain di Facebook, Twitter, Instagram, tidak jauh-jauh dari sikap baper," ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Peran Orang Tua Sangat Penting

Putra Nababan juga melihat peran orangtua sangat penting khususnya di era digital seperti sekarang ini. Hal itu diperlukan dalam memperjuangkan anak-anak agar tidak terseret di dunia digital terutama gim. Hal itu membutuhkan keteguhan sikap orangtua.

Pada dasarnya, Putra menjelaskan tidak ada anak yang bodoh, asalkan orangtuanya memberikan mereka contoh yang baik. Meski orangtua memiliki uang yang terbatas, namun di tengah keterbatasan itu harus ada keberpihakan pada buku.

"Berikan manajemen waktu kepada anak, misalnya, anak saya berusia 9 tahun setiap pagi baca buku 1 jam, setelah itu boleh main ‘game’ 20 menit. Seperti itu perlu dilakukan," ungkapnya.

3 dari 3 halaman

Gerakan Talent Indonesia

Sementara, Putra Nababan juga menyoroti soal kemauan para pemuda untuk mengeksplor kemampuannya. Saat ini, kata dia, banyak orang yang bekerja hanya untuk status semata, bekerja hanya karena untuk gajian tapi bukan digerakkan oleh keinginan mereka.

"Bekerja dengan mental pas-pasan. Kondisi ini yang membuat institusi dan perusahaan sulit berkembang karena diisi oleh SDM yang tidak punya keinginan berkembang," kata Putra.

Ia mengingatkan, tantangan talent dalam sumber daya manusia adalah topik bahasan hangat antara Presiden Jokowi dan pemilik bisnis Alibaba, Jack Ma baru-baru ini di Jakarta.

"Dari hasil survei yang dilakukan di ratusan perusahaan dunia menyebutkan, agile thinking adalah skill yang sangat dibutuhkan yakni kemampuan memikirkan dan menjalankan beragam skenario secara simultan dan berinovasi. Seorang talent harus memiliki kemampuan berpikir agile. Gesit!" kata Putra, politisi muda PDI Perjuangan ini.

Putra juga mengungkapkan kebutuhan berbagai lembaga di Indonesia dan bahkan dunia untuk kemampuan berkolaborasi dan team work dari pekerjanya sebagai jawaban dari pengembangan. Kolaborasi yang efektif sebaiknya dilakukan orang-orang yang punya kemampuan khusus dengan keahlian yang berbeda-beda.

Caleg PDI Perjuangan DPR RI dari dapil Jakarta Timur ini mengaitkan semangat kolaborasi dengan bagaimana Indonesia dirancang dan dibangun oleh para pendiri bangsa.

"Indonesia kalau hanya pulau Jawa itu bukan Indonesia. Hanya Sumatra dan Jawa belum cukup. Indonesia itu satu jika terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Rote sampai Miangas. Inilah kolaborasi dan gotong royong para pendiri bangsa," ujar Putra.

Jadi, lanjutnya, Indonesia sudah punya modal besar untuk pengembangan talent. Tantangannya adalah lembaga-lembaga pendidikan harus fokus menyiapkan generasi penerus sesuai kebutuhan industri saat ini.

"Saat ceramah dari kampus ke kampus, saya mengajak mahasiswa dan memberikan pengertian kepada para dosen arti pentingnya berkolaborasi sejak dini. Arti pentingnya passion. Mencintai pekerjaan yang sedang kita geluti. Kalian di kampus belajar berkolaborasi dengan rekan-rekan yang beda jurusan, beda fakultas tapi punya visi yang sama. Itu baru top!" ujar mantan Pemimpin Redaksi Metro TV ini.

Kemampuan pengembangan diri juga menjadi perhatian khusus Putra. Ia menceritakan komitmennya pada pekerjaan dan memilih untuk tidak menempuh pendidikan pasca-sarjana apalagi doktoral. Tapi bukan berarti presenter berita terbaik Indonesia empat tahun berturut-turut ini tidak mau mengenyam pendidikan di universitas lagi. Ia memilih berbagai program pendidikan singkat di universitas bergengsi dunia seperti Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat.

"Saya tidak ada waktu untuk gelar master dan doktor. Kalau dulu saya mengambilnya, belum tentu kesempatan yang saya dapat dan karir bisa seperti sekarang. Intinya saya suka dengan totalitas. Toh saya tetap bisa cari beasiswa di sekolah-sekolah bagus. Sekarang, gelar saya tidak kalah loh dengan sama temen-temen yang sudah S2. Gelar saya MSC, master of short courses," kata Putra.