Liputan6.com, Jakarta - Dunia sepak bola Indonesia kembali diwarnai lembaran hitam. Kisah pilu itu bermuara dari tewasnya satu suporter Persija atau Jakmania, Haringga Sirila (23), kala mendukung timnya bertandang ke markas Persib, di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Minggu, 23 September 2018.Â
Haringga menjadi korban aksi biadab para suporter Persib alias Bobotoh setelah identitasnya sebagai Jakmania diketahui. Teriknya matahari saat itu seakan menyulut emosi ribuan Bobotoh. Mereka langsung mengejar dan menghajar Haringga beramai-ramai hingga akhirnya kehilangan nyawa dengan mengenaskan.
Data Save Our Soccer menyebut, Haringga menjadi korban tewas ke-7 dalam sejarah pertandingan antara Persib dan Persija.Â
Advertisement
Polisi pun bergerak memburu pelaku. Polda Jabar akhirnya menetapkan 8 tersangka pengeroyokan hingga akhirnya Haringga tewas. Mereka adalah Budiman (41), Goni Abdulrahman (20), Cepy Gunawan (20), Aditya Anggara (19), Dadang Supriatna (19), Joko Susilo (31), SM (17), dan DF (16).
Meski sudah ada 8 tersangka, polisi masih membuka kemungkinan pelaku akan bertambah seiring hasil pengembangan kasus ini nantinya.
Terkait hal ini, peneliti hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto meminta kepolisian agar tidak terjebak pada situasi masyarakat yang mendesak kejelasan kasus ini.
"Polisi jangan main tangkap sembarangan, harus yakin," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Senin (24/9/2018).
Eko mengkhawatirkan opini masyarakat membuat aparat menjadi tidak akurat. Ia juga bercerita tentang penyelesaian kasus kematian suporter sepak bola yang selama ini terjadi di Indonesia berakhir dengan ketidakjelasan.
"Kejadian-kejadian sebelumnya yang di Jakarta aja, itu kejadiannya di area stadion, ring satu, lama nyari pelakunya. Itu pun yang tertangkap tidak meyakinkan," terangnya.
Menurut dia, solusi konkret untuk menghentikan pertumpahan darah suporter tim sepak bola di Indonesia adalah pertandingan tanpa penonton. Konsekuensi ini harus diterapkan hingga pemerintah yakin situasi seperti ini tidak akan terulang lagi.
"Di luar negeri kalau ada kerusuhan yang menyebabkan nyawa orang, semua pertandingan dihentikan. Kalau di kita dianggap biasa kali ya, sudah kebanyakan yang meninggal," sindirnya.
Pada kasus sebelumnya, PSSI sudah pernah memberi sanksi kepada Persib, yakni pertandingan tanpa penonton di Gelora Bandung Lautan Api. Tetapi sanksi tersebut berubah di tengah jalan menjadi pertandingan tanpa suporter. Artinya penonton bisa masuk asal tidak mengatasnamakan penggemar tim.
Penganuliran sanksi ini didasarkan pada kebutuhan pemasukan dari penonton. Selain itu, juga ada peraturan antara Bobotoh dan Jakmania untuk tidak datang ke stadion lawan demi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun, peraturan ini justru dianggap Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali sebagai salah satu pemicu adanya kecurigaan di antara suporter sepak bola.
"Jadi salah, kalau ada pertandingan itu tidak boleh ada suporter lawan," ujar Akmal saat dihubungi Liputan6.com, Selasa, 25 September 2018.
Akmal juga menyatakan, belum ada publikasi yang jelas terkait hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan. Proses hukum yang tidak transparan itulah yang menyebabkan kejadian serupa dapat terulang kembali.
"Tidak ada hukuman yang kemudian dijadikan pembelajaran banyak orang terkait kasus tersebut," lanjutnya.
Menurut Akmal, yang seharusnya dilakukan saat ini ialah mengedukasi suporter untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
"Ke stadion tidak boleh membawa benda tajam, ke stadion tidak boleh membawa benda keras, ke stadion tidak boleh bawa korek api, tidak boleh menyanyikan lagu-lagu SARA, ke stadion juga tidak boleh membawa kembang api gitu kan. Kita harus sosialisasikan, sehingga suporter yang dari rumah itu benar-benar datang untuk nonton bola," usulnya.
Fanatisme Buta
Fanatisme di dunia sepak bola sendiri bukanlah hal baru di Indonesia. Penggemar sepak bola Indonesia bahkan pernah dipuji oleh penyerang muda Timnas Indonesia berdarah Belanda, Ezra Walian.
Namun, fanatisme sendiri seperti dua sisi mata pisau. Bila masih dalam batas wajar, tentu dapat bermanfaat untuk meningkatkan semangat pemain yang didukung dan juga menjadi hiburan bagi penggemar tersebut. Tetapi bila sudah berlebihan, dapat menjadi senjata makan tuan yang bahkan menyebabkan korban jiwa.
Psikolog Universitas Indonesia Ayu Pradani Sugiyanto Putri menyatakan, fanatisme ini diawali dari kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok tertentu.
"Setiap manusia memang memiliki kebutuhan itu. Dan ketika seseorang ini merasa dirinya menjadi bagian dari kelompok, orang ini akhirnya mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari tim tersebut," jelas Ayu saat dihubungi oleh Liputan6.com, Selasa (25/9/2018).
Ayu menjelaskan, bahwa ketika seseorang sudah mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok tertentu, orang tersebut akan merasakan adanya koneksi atau hubungan psikologis terdahap kelompok tersebut.
"Dan sebenarnya hal yang membuat orang ini menjadi fanatik berlebihan adalah ketika keterlibatan emosinya terlalu kuat. Merasa kelompok ini paling benar, paling hebat, paling segala-galanya dan mereka tidak mampu melihat sudut pandang lain atau mengabaikan informasi yang menurut mereka tidak tepat," lanjutnya.
Terkait sanksi yang diberikan oleh pihak kepolisian dan PSSI terhadap aski kekerasan penggemar sepak bola, Ayu merasa setiap sanksi itu pasti memberi efek kepada para penggemar. "Mereka jadi lebih berhati-hati," ujar Ayu.
Sebagai tindakan preventif untuk mencegah menyebarkan sikap fanatisme di masyarakat, Ayu berpendapat selain lingkungan yang menekankan bahwa perilaku tersebut tidak tepat, masing-masing individu juga harus bisa melihat sudut pandang orang lain.
"Menghargai hak-hak orang lain, berempati terhadap orang lain," katanya lagi.
Dalam kasus anak-anak, orang tualah yang memegang peranan penting dalam memberikan penjelasan dan pembelajaran agar anak mengetahui bahwa tindakan mereka tidak tepat. Tak hanya itu, Ayu juga mengimbau media untuk memberitakan secara terus menerus hukuman yang diterima pelaku.
"Hal ini juga sebenarnya memberikan pembelajaran untuk fans-fans fanatik di luar sana untuk tidak melakukan hal yang sama. Jadi kalau bisa media mem-blow up hukuman-hukuman yang diterima pelaku dan dampaknya terhadap klub sepak bola mereka," imbau Ayu. (Melissa Octavianti)
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement