Liputan6.com, Jakarta: Ibarat bensin yang tersulut api, lantas membakar sebuah gedung, begitu pula reaksi pemerintah Kanada atas keputusan Pengadilan Niaga Pusat memailitkan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) pada 13 Juni 2002. Sebab, mereka menganggap peradilan di Indonesia belum bebas sogok-menyogok, seperti dalam pemberitaan media massa di dalam negeri. Karena itulah mereka meminta pemerintah mencampuri proses hukum Manulife yang sekarang ditangani Mahkamah Agung. Jika tidak, Kasus Manulife akan mengganggu iklim investasi Indonesia. Ini bukan ancaman khusus dari Kanada. Tapi, paling tidak, menurut Menteri Negara Kanada untuk Urusan Asia Pasifik David Kilgour, Kasus Manulife akan menjadi contoh negatif bagi investor asing yang sudah dan baru berniat menanamkan modal di Indonesia.[baca: Kilgour: Kasus Manulife Tak Merusak Hubungan Indonesia-Kanada].
Manulife Financial mulai berbinis di Indonesia pada 1985. Tiga tahun kemudian, mereka membangun usaha asuransi patungan dengan Darmala Sakti Sejahtera (DSS) dan International Finance Coorporation (IFC). Manufacturers Life Insurance Company memegang 51 persen saham. DSS memiliki 40 persen saham. Sedangkan IFC menguasai sembilan persen saham. Usaha asuransi itu berganti nama menjadi AJMI pada April 1999. Setahun kemudian tepatnya Pada 6 Juni, DSS dinyatakan pailit. Pada 26 Oktober tahun yang sama, saham DSS di AJMI dilelang. Saat itu pula muncul klaim kalau saham tersebut telah dialihkan ke Roman Gold Assets Limited (RGAL) pada 1996. Inilah yang disebut kasus saham ganda. Sebulan kemudian, RGAL melaporkan direktur utama AJMI ke Markas Besar Polri. Pada 22 Januari 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional melaporkan Suyanto Gondokusumo ke Kejagung.
Sebulan kemudian, Manulife mengadukan Harvest Hero International yang terlibat penjualan saham ganda ke Pengadilan Tinggi Hongkong. Pada 23 Mei tahun yang sama, RGAL menggugat AJMI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Paul Sukron sebagai kurator DSS memohon pailit AJMI atas kewajiban deviden 1999 ke DSS pada 17 Januari 2002. Enam hari kemudian, AJMI memutuskan membayar dividen ke DSS. Tapi, DSS meminta bunga deviden sebesar Rp 1,9 miliar juga dibayarkan. Pada 12 Februari, Kejaksaan Tinggi Jakarta mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas pengaduan RGAL dalam lelang saham AJMI. Tiga hari kemudian, permohonan pailit atas AJMI ditolak pengadilan. Sehari kemudian, Kejaksaan Agung, mengeluarkan SKKP atas lelang saham AJMI. Pada 19 Maret tahun yang sama, RGAL mempraperadilankan Kejati Jakarta atas SKPP.
Enam hari kemudian, SKKP Manulife dari Kejati dibatalkan. Pada 1 April 2002, Dharmala Inti Utama menggugat AJMI. Pada 22 Mei 2002, Manulife Financial melaporkan tujuh pihak yang diduga terlibat kasus saham ganda ke Pengadilan Tinggi Singapura. Lima hari kemudian, Kurator DSS kembali memohon pailit AJMI untuk kewajiban deviden pada 1999. Bulan kerikutnya, Pengadilan Tinggi Singapura membekukukan Godokusumo, pemilik DSS di Negeri Singa. Pada 13 Juni 2002 Pengadilan Niaga Pusat yang diketuai Hasan Basri memuluskan permohonan pailit kurator DSS. Nah, Keputusan pailit itulah yang membuat Kanada berang. Karena itulah, mereka meminta pemerintah mencampuri proses kasasi yang diajukan AJMI pada 19 Juni ke MA.
Cukup beralasan jika Kanada meminta pemerintah mencampuri penuntasan Kasus Manulife. Sebab, gugatan pailit itu boleh dibilang tak memenuhi syarat. Alasannya, soal pembagian dividen bukan wilayah Undang-undang Kepailitan. Tapi, soal itu menjadi wilayah UU Perseroan. "Berdasarkan Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1/1995, masalah tersebut mesti diselesaikan di pengadilan negeri, bukan niaga," kata Ketua Dewan Asuransi Indonesia Hot Bonar Sinaga. Hal serupa juga diungkapkan kuasa hukum Manulife Hotma Sitompoel di persidangan. Menurut dia, tuntutan pailit itu tak berdasar. Sebab, jika pembagian dividen yang menjadi kesepakatan parjanjian usaha pada 1998, maka kurator DSS mesti menggugat perdata bukan pailit.
Selain itu, jika mengacu pada laporan keuangan AJMI Maret silam, kekayaan yang diperkenankan untuk berusaha mencapai Rp 1,8 miliar. Kewajiban perusahaan sebesar Rp 1,6 miliar. Sedangkan rasio resk based capital atau rasio tingkat kecukupan modal mencapai 167 persen. Begitu pula jika mengacu pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Tahun 1999, batas tingkat solvabilitas pada 2002 sekurang-kurangnya 75 persen dari batas minimum. Artinya, rasio kecukupan modal AJMI masih cukup atau memenuhi syarat. Itulah sebabnya, Kanada menganggap keputusan Pengadilan Niaga memailitkan AJMI mengada-ada.
Wakil Presiden Hamzah Haz menilai reaksi Kanada berlebihan [baca: Hamzah: Pemerintah Kanada Jangan Over Acting]. "Jangan over acting-lah," kata Hamzah. Hamzah juga meminta Kanada menghormati dan tak ikut campur dalam proses hukum yang tengah berjalan di MA. "Kita ikuti saja proses hukum selanjutnya" kata Hamzah, pendek. Duta Besar RI untuk Kanada Ekky Syahruddin sependapat. Menurut Ekky, seharusnya, Kanada tak perlu "kesal" dengan keputusan pemailitan Manulife [baca: Ekky Syahruddin: "Kanada Tak Perlu Kesal"]. Sebab, "itu murni persoalan internal antara PT Dharmala Sakti Sejahtera dan Kanada, dalam hal ini AJMI, " ujar mantan anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya ini. Meski demikian, Ekky meminta MA segera memproses Kasus Manulife. Jika tidak, pemerintah maupun kalangan swasta Kanada dapat menghentikan investasi bila dianggap tak ada kepastian hukum di Indonesia [baca: Kanada Meminta Kasus Manulife Dituntaskan]. Sekadar diketahui, total investasi Kanada di Indonesia setiap tahun meningkat hampir sekitar US$ 100 juta atau sekitar dua persen dari total investasi asing di Tanah Air.
Sekarang ini, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan juga telah memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta M. Ridwan Nasution menyelidiki dugaan suap dalam Kasus Manulife. Menurut Ridwan, Majelis hakim kasus itu yakni Hasan Basri Kristi Purnami, dan Wulan Tjahjono akan diperiksa tim khusus yang beranggotakan tiga hakim tinggi pengawas. "Saat ini, tim sedang mencari waktu yang tepat untuk memeriksa ketiga hakim tersebut," ungkap Ridwan. Anehnya, Bagir Manan mengaku, belum menerima berkas kasasi yang diajukan Manulife. Dia menduga dokumen itu masih diproses di Pengadilan Niaga dan masih menunggu kontramemori dari tergugat. Tapi, paling tidak, usaha MA memerintahkan Pengadilan Tinggi Jakarta telah menunjukkan niat baik Indonesia menuntaskan Kasus Manulife.
Memang tak sekadar niat baik yang dibutuhkan. Tapi, keseriusan MA dalam menciptakan kepastian hukum dalam Kasus Manulife. Sebab, tak dapat dimungkiri Kasus Manulife dapat berimplikasi buruk bagi iklim berinvestasi di Indonesia jika tak diselesaikan dengan baik. Terlebih lagi dengan sejumlah perkara yang menjadi sorotan selama ini. Antara lain, kondisi politik, keamanan, dan keadaan perburuhan di Indonesia yang belum kondusif. Begitu pula dengan pelaksanaan otonomi daerah yang ternyata membengkakkan biaya investasi bagi penanam modal asing. Kini, keputusan berada di tangan MA: membatalkan keputusan pailit atau vonis itu memang memang layak diterima AJMI. Dengan demikian, kepastian hukum keadilan bisa terjamin. Siapa tahu bisa meredakan api yang telah menyulut bensin tadi.(AWD)
Manulife Financial mulai berbinis di Indonesia pada 1985. Tiga tahun kemudian, mereka membangun usaha asuransi patungan dengan Darmala Sakti Sejahtera (DSS) dan International Finance Coorporation (IFC). Manufacturers Life Insurance Company memegang 51 persen saham. DSS memiliki 40 persen saham. Sedangkan IFC menguasai sembilan persen saham. Usaha asuransi itu berganti nama menjadi AJMI pada April 1999. Setahun kemudian tepatnya Pada 6 Juni, DSS dinyatakan pailit. Pada 26 Oktober tahun yang sama, saham DSS di AJMI dilelang. Saat itu pula muncul klaim kalau saham tersebut telah dialihkan ke Roman Gold Assets Limited (RGAL) pada 1996. Inilah yang disebut kasus saham ganda. Sebulan kemudian, RGAL melaporkan direktur utama AJMI ke Markas Besar Polri. Pada 22 Januari 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional melaporkan Suyanto Gondokusumo ke Kejagung.
Sebulan kemudian, Manulife mengadukan Harvest Hero International yang terlibat penjualan saham ganda ke Pengadilan Tinggi Hongkong. Pada 23 Mei tahun yang sama, RGAL menggugat AJMI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Paul Sukron sebagai kurator DSS memohon pailit AJMI atas kewajiban deviden 1999 ke DSS pada 17 Januari 2002. Enam hari kemudian, AJMI memutuskan membayar dividen ke DSS. Tapi, DSS meminta bunga deviden sebesar Rp 1,9 miliar juga dibayarkan. Pada 12 Februari, Kejaksaan Tinggi Jakarta mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas pengaduan RGAL dalam lelang saham AJMI. Tiga hari kemudian, permohonan pailit atas AJMI ditolak pengadilan. Sehari kemudian, Kejaksaan Agung, mengeluarkan SKKP atas lelang saham AJMI. Pada 19 Maret tahun yang sama, RGAL mempraperadilankan Kejati Jakarta atas SKPP.
Enam hari kemudian, SKKP Manulife dari Kejati dibatalkan. Pada 1 April 2002, Dharmala Inti Utama menggugat AJMI. Pada 22 Mei 2002, Manulife Financial melaporkan tujuh pihak yang diduga terlibat kasus saham ganda ke Pengadilan Tinggi Singapura. Lima hari kemudian, Kurator DSS kembali memohon pailit AJMI untuk kewajiban deviden pada 1999. Bulan kerikutnya, Pengadilan Tinggi Singapura membekukukan Godokusumo, pemilik DSS di Negeri Singa. Pada 13 Juni 2002 Pengadilan Niaga Pusat yang diketuai Hasan Basri memuluskan permohonan pailit kurator DSS. Nah, Keputusan pailit itulah yang membuat Kanada berang. Karena itulah, mereka meminta pemerintah mencampuri proses kasasi yang diajukan AJMI pada 19 Juni ke MA.
Cukup beralasan jika Kanada meminta pemerintah mencampuri penuntasan Kasus Manulife. Sebab, gugatan pailit itu boleh dibilang tak memenuhi syarat. Alasannya, soal pembagian dividen bukan wilayah Undang-undang Kepailitan. Tapi, soal itu menjadi wilayah UU Perseroan. "Berdasarkan Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1/1995, masalah tersebut mesti diselesaikan di pengadilan negeri, bukan niaga," kata Ketua Dewan Asuransi Indonesia Hot Bonar Sinaga. Hal serupa juga diungkapkan kuasa hukum Manulife Hotma Sitompoel di persidangan. Menurut dia, tuntutan pailit itu tak berdasar. Sebab, jika pembagian dividen yang menjadi kesepakatan parjanjian usaha pada 1998, maka kurator DSS mesti menggugat perdata bukan pailit.
Selain itu, jika mengacu pada laporan keuangan AJMI Maret silam, kekayaan yang diperkenankan untuk berusaha mencapai Rp 1,8 miliar. Kewajiban perusahaan sebesar Rp 1,6 miliar. Sedangkan rasio resk based capital atau rasio tingkat kecukupan modal mencapai 167 persen. Begitu pula jika mengacu pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Tahun 1999, batas tingkat solvabilitas pada 2002 sekurang-kurangnya 75 persen dari batas minimum. Artinya, rasio kecukupan modal AJMI masih cukup atau memenuhi syarat. Itulah sebabnya, Kanada menganggap keputusan Pengadilan Niaga memailitkan AJMI mengada-ada.
Wakil Presiden Hamzah Haz menilai reaksi Kanada berlebihan [baca: Hamzah: Pemerintah Kanada Jangan Over Acting]. "Jangan over acting-lah," kata Hamzah. Hamzah juga meminta Kanada menghormati dan tak ikut campur dalam proses hukum yang tengah berjalan di MA. "Kita ikuti saja proses hukum selanjutnya" kata Hamzah, pendek. Duta Besar RI untuk Kanada Ekky Syahruddin sependapat. Menurut Ekky, seharusnya, Kanada tak perlu "kesal" dengan keputusan pemailitan Manulife [baca: Ekky Syahruddin: "Kanada Tak Perlu Kesal"]. Sebab, "itu murni persoalan internal antara PT Dharmala Sakti Sejahtera dan Kanada, dalam hal ini AJMI, " ujar mantan anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya ini. Meski demikian, Ekky meminta MA segera memproses Kasus Manulife. Jika tidak, pemerintah maupun kalangan swasta Kanada dapat menghentikan investasi bila dianggap tak ada kepastian hukum di Indonesia [baca: Kanada Meminta Kasus Manulife Dituntaskan]. Sekadar diketahui, total investasi Kanada di Indonesia setiap tahun meningkat hampir sekitar US$ 100 juta atau sekitar dua persen dari total investasi asing di Tanah Air.
Sekarang ini, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan juga telah memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta M. Ridwan Nasution menyelidiki dugaan suap dalam Kasus Manulife. Menurut Ridwan, Majelis hakim kasus itu yakni Hasan Basri Kristi Purnami, dan Wulan Tjahjono akan diperiksa tim khusus yang beranggotakan tiga hakim tinggi pengawas. "Saat ini, tim sedang mencari waktu yang tepat untuk memeriksa ketiga hakim tersebut," ungkap Ridwan. Anehnya, Bagir Manan mengaku, belum menerima berkas kasasi yang diajukan Manulife. Dia menduga dokumen itu masih diproses di Pengadilan Niaga dan masih menunggu kontramemori dari tergugat. Tapi, paling tidak, usaha MA memerintahkan Pengadilan Tinggi Jakarta telah menunjukkan niat baik Indonesia menuntaskan Kasus Manulife.
Memang tak sekadar niat baik yang dibutuhkan. Tapi, keseriusan MA dalam menciptakan kepastian hukum dalam Kasus Manulife. Sebab, tak dapat dimungkiri Kasus Manulife dapat berimplikasi buruk bagi iklim berinvestasi di Indonesia jika tak diselesaikan dengan baik. Terlebih lagi dengan sejumlah perkara yang menjadi sorotan selama ini. Antara lain, kondisi politik, keamanan, dan keadaan perburuhan di Indonesia yang belum kondusif. Begitu pula dengan pelaksanaan otonomi daerah yang ternyata membengkakkan biaya investasi bagi penanam modal asing. Kini, keputusan berada di tangan MA: membatalkan keputusan pailit atau vonis itu memang memang layak diterima AJMI. Dengan demikian, kepastian hukum keadilan bisa terjamin. Siapa tahu bisa meredakan api yang telah menyulut bensin tadi.(AWD)