Sukses

Diduga Terima Suap, Wali Kota Kendari Dituntut 8 Tahun Penjara

Adriatma yang baru menjabat sebagai wali kota sejak 2017, disebut menyetujui dan memenangkan PT SBN, untuk melaksanakan proyek pembangunan Jalan.

Liputan6.com, Jakarta - Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan mantan Wali Kota Kendari, Asrun dituntut delapan tahun pidana penjara. Keduanya dianggap menerima Rp 6,8 miliar dari kontraktor PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah.

"Menjatuhkan pidana atas terdakwa Adriatma Dwi Putra dan Asrun berupa pidana masing-masing delapan tahun, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan," ucap Jaksa Ali Fikri saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (3/10/2018).

Adriatma yang baru menjabat sebagai wali kota sejak 2017 ini disebut menyetujui dan memenangkan PT SBN, untuk melaksanakan proyek tahun jamak (multi years) pembangunan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020.

Jaksa menyampaikan Asrun menunjuk Adriatma dan Fatmawaty Faqih sebagai tim pemenangan pasangan calon gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun-Hugua. Salah satu tugas mereka adalah mengurusi dan mengumpulkan dana kampanye.

Pada Oktober 2017, Hasmun Hamzah menemui Fatmawaty di rumahnya. Dalam pertemuan dibicarakan proyek yang telah maupun yang akan dikerjakan Hasmun. Dalam pembicaraan itu, Fatmawaty menyampaikan mahalnya biaya politik yang dibutuhkan Asrun di Pilkada Sulteng. Kemudian meminta bantuan Hasmun.

Pada 23 Januari 2018, Hasmun diumumkan sebagai pemenang lelang paket pekerjaan tahun jamak pembangunan Jalan Bungkukoto-Kendari New Port tahun anggaran 2018-2020, dengan nilai kontrak Rp 60,168 miliar.

Selanjutnya Adriatma mengundang Hasmun datang ke rumah jabatan wali kota melalui aplikasi Telegram pada 16 Februari 2018. Adriatma kemudian meminta bantuan Hasmun untuk membiayai kampanye ayahnya dan meminta uang Rp 2,8 miliar. Hasmun menyanggupi dan menyerahkan uang tersebut pada 26 Februari 2018.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ditangkap KPK

Setelah itu Hasmun Hamzah, Adriatma Dwi Putra, Asrun dan Fatmawaty Faqih, ditangkap petugas KPK dan beberapa hari kemudian uang yang diterima Adriatma Dwi Putra tersebut diserahkan Ivan Santri Jaya, Kisra Jaya Batari dan Sadam kepada penyidik KPK dalam bungkus kardus coklat dengan tulisan 'Paseo'.

Uang itu selanjutnya dihitung menggunakan mesin penghitung uang dengan disaksikan Rini Erawati Sila, Hidayat, Wahyu Ade Pratana, Kisra Jaya Batari, Ivan Santri Jaya, dan Sadam ternyata jumlah seluruhnya hanya Rp 2.798.300.000.

Dalam kasus ini, Asrun dan Adriatma didakwa melanggar Pasal 12 b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Hal hal yang memberatkan dari tuntutan tersebut adalah keduanya tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Sedangkan hal yang meringankan, keduanya bersikap sopan selama persidangan, dan belum pernah dihukum.