Sukses

Kisah Menegangkan Rahmat, Selamat dari Tsunami Palu Berkat Kumandangkan Azan

Saat mengumandangkan azan, Rahmat yang pernah digulung tsunami di Aceh, pasrah atas bencana tsunami Palu yang menerjangnya. Ia pun selamat.

Liputan6.com, Jakarta - Dari lantai paling atas Swiss-Belhotel Silae, Palu, terdengar suara azan menyeruak di tengah kerumunan penghuni dan karyawan hotel yang sedang ketakutan.

Bersamaan dengan itu, gelombang besar diperkirakan setinggi 3 meter lebih menerjang dan menghancurkan berbagai bangunan yang dilewatinya. Kendaraan dan berbagai benda lainnya tampak bak anai-anai. Mengapung, saling bertubrukan, terombang tak berdaya.

Di sela azan yang dikumandangkannya itu, berderai pula air mata lelaki setengah abad itu. Dalam hatinya ia berucap, "kuserahkan seluruhnya kepada-Mu ya Allah". Bayangan anak dan istrinya pun langsung melintas seperti sedang memanggil namanya.

Sang pengumandang azan itu adalah Rahmat Saiful Bahri. Ia adalah Kepala Sekretariat Majelis Adat (MAA) Kota Banda Aceh yang terjebak gempa dan tsunami di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat, 28 September 2018.

Ketika itu, Rahmat hendak mengikuti workshop 'Nasional Best Practise Implementasi Penguatan Peran Tokoh Informal dan Lembaga Adat', yang akan digelar di Swiss-Belhotel Silae Palu. Hotel ini menghadap ke Teluk Palu, dan hanya beberapa meter saja dari pinggir pantai.

Lokakarya itu rencananya akan berlangsung selama empat hari, tepatnya sejak 28 September hingga 1 Oktober. Bencana gempa disusul tsunami yang melanda Sulawesi Tengah membuat lokakarya itu gagal dilaksanakan.

Rahmat berangkat dari Banda Aceh menuju Palu, melalui Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, pada Kamis, 27 September 2018. Atau, sehari sebelum gempa Palu terjadi. Ia tiba di Palu pada hari yang bersamaan.

Ia sempat menginap di Hotel Gajah Mada Palu yang berada tak jauh dari Bandar Udara SIS Al-Jufrie Palu. Jumat menjelang sore, Rahmat beranjak ke Swiss-Belhotel Silae di Japan Malonda Nomor 12, Silae, Palu, tempat dilangsungkannya acara.

Setelah melakukan registrasi sebagai peserta dan chek-in, Rahmat bergegas ke kamar mandi. Ia mesti bersiap. Setelah makan malam ia dan peserta lainnya harus mengikuti pembukaan Venue Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018 pada malam harinya. Pembukaan festival kebudayaan yang diikuti pejabat setempat itu digelar di Pantai Talise, Palu.

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

2 dari 5 halaman

Tidur di Hamparan Rumput

Baru beberapa saat di kamar mandi, gempa bermagnitudo 7,4 itu terjadi. Rahmat sempat beberapa kali terbanting diguncang gempa. Lokasi gempa berpusat di 0,18 LS dan 119,85 BT atau 27 kilometer Timur Laut Donggala-Sulawesi Tengah.

Sebagai orang yang pernah mengalami gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 lalu, insting pria kelahiran Banda Aceh 18 September 1967 ini menyuruhnya untuk naik ke lantai teratas dari hotel berbintang 4 itu. Hal ini diikuti pula oleh beberapa karyawan dan penghuni hotel lainnya.

Benar saja, tak lama setelah lindu mengguncang, dari arah Teluk Palu tampak air pasang besar (tsunami) sedang mengarah ke mereka. Seluruh penghuni hotel histeris.

Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), air pasang maksimal terjadi pada 18.10 WIB. Air surut maksimal terjadi pada pukul 18.08 WIB. Tsunami Palu terjadi hanya berselang 8 menit setelah gempa.

Di lantai paling atas itulah, Rahmat mengumandangkan azan. Ia juga melafalkan serangkaian zikir dan doa.

"Kalau kita di Aceh kan, biasanya saat terjadi bencana, apapun itu, kita orang Aceh selalu refleks mengumandangkan azan," kisah Rahmat, kepada Liputan6.com, Minggu (7/10/2018).

Pengakuan Rahmat, ia satu-satunya orang yang mengumandangkan azan saat bencana itu terjadi. Baginya, yang dilakukannya itu paling tidak telah menyelamatkan nyawa ayah dari lima orang anak ini.

"Di tempat orang, di rantau, saya di situ (Palu) tidak punya siapa-siapa. Ingat keluarga. Saat itu, hanya kepada yang kuasa saya berserah," imbuhnya.

Melihat air mulai surut, Rahmat bersama penghuni hotel lainnya turun ke lantai satu dan bersepakat mencari tempat yang lebih tinggi.

Melewati reruntuhan dan genangan air laut itulah Rahmat dan para penghuni hotel lainnya menuju ke kawasan Bukit Silae Palu, yang berjarak sekitar 1,3 kilometer dari Swiss-Belhotel. Bukit ini 25 kaki tingginya dari Teluk Palu.

Di Bukit Silae, Rahmat memaksakan diri tidur di hamparan rumput dengan perasaan was-was. Saat itu, goncangan-goncangan kecil gempa masih terjadi.

 

3 dari 5 halaman

Kondisi Berantakan

Keesokan harinya, Sabtu, 29 Oktober 2018, ia berniat mengambil barang-barangnya di hotel, namun dilarang oleh manajer hotel, karena situasi dianggap belum aman.

Atas kebaikan warga, ia diberi makan mi instan rebus dan nasi yang dimasak secara massal oleh warga desa yang terletak di bawah kawasan Bukit Silae. Hal itu mengingatkannya betapa rasa kemanusiaan menguat di saat bencana terjadi.

Sore harinya Rahmat bersikeras mengecek barang-barang yang ditinggalkannya di hotel. Yang ia tahu, berdasarkan pengalamannya di Aceh, tsunami biasanya terjadi hanya sekali. Dalam hatinya, gelombang susulan tak mungkin terjadi. Peringatan manajer hotel tak ia pedulikan.

Rahmat menumpang kendaraan salah seorang warga untuk menuju hotel. Di hotel seluruh perlengkapan masih berada di tempatnya semula. Swiss-Belhotel Silae tampak berantakan. Sebagian dindingnya jebol, namun tidak ambruk.

"Saya ambil semua barang. Saat itu saya mau menelpon keluarga namun HP (handphone) mati total. Sementara listrik padam semua saat itu," ujarnya.

Menurut pengakuan Rahmat, beberapa penghuni hotel lainnya ada yang mengeluh, karena banyak di antara barang-barang berharga mereka yang hilang termasuk uang.

Padahal, menurut Rahmat sang manajer hotel berjanji bahwa barang-barang milik para penghuni hotel aman karena berada dalam pengawasan security hotel.

Sekembalinya dari hotel Rahmat kembali ke kawasan Bukit Silae. Dataran tinggi tersebut sudah menjadi kamp pengungsi sementara saat itu.

 

4 dari 5 halaman

Terkatung-Katung di Bandara

Setelah satu hari dua malam berada di Bukit Silae, Keesokan harinya, panitia lokakarya yang diikuti Rahmat, mengambil inisiatif mengajak para peserta menuju Banda Udara SIS Al-Jufrie Palu. Tujuannya untuk menanyakan status kepulangan para peserta.

Rahmat sempat mengantre untuk menaiki pesawat Hercules dengan tujuan ke Makassar. Namun berhubung banyaknya warga yang berbondong-bondong keluar dari Palu, kesempatan itu tak ia dapatkan. Empat hari lamanya ia terkatung-katung dalam kondisi kelaparan.

"Saya tidur di atas rumput. Untuk makan, saya bahkan terpaksa memungut sisa-sisa makanan milik orang yang jatuh. Roti, Biskuit dan sebagainya. Begitu pula dengan air minum untuk bertahan hidup. Tidak ada yang jualan saat itu. Uang tidak berarti," ungkapnya.

Rahmat mengungkapkan, di Bandar Udara SIS Al-Jufrie Palu itu, ia sempat menelepon istrinya melalui telpon seluler yang dipinjamnya dari salah seorang peserta lokakarya. Tak banyak yang ia bicarakan dengan Herlindra, sang istri. Saat itu, tangis haru lebih mendominasi percakapan singkat antara keduanya.

Setelah empat hari terkatung-katung, Rahmat baru ingat, ia sudah melakukan reservasi tiket untuk pulang-pergi (PP) dari Jakarta-Banda Aceh dengan hari dan tanggal pulang Senin, 2 Oktober.

Hari itu ia berinisiatif mendatangi manjemen maskapai penerbangan itu. Awalnya pihak manajemen menolak memberangkatkan Rahmat, karena mereka harus memberangkatkan para penumpang yang sudah lebih dulu melakukan reservasi.

"Jadi berlaku surut, harus diberangkatkan orang yang memesan tiket pada tanggal 29, 30, 1 baru tanggal 2. Kendati saya waktu itu datang ke pihak Garuda Indonesia pada tanggal 2, tepat hari keberangkatan saya ke Aceh," sebutnya.

Setelah dengan melakukan dialog panjang, dan sedikit memelas, akhirnya pihak maskapai mengabulkan permohonan Rahmat. Ia transit ke Makassar pada Senin, 2 Oktober, untuk kemudian ke Jakarta dengan tujuan akhir Banda Aceh.

Seharusnya ia sudah sampai ke Banda Aceh di hari itu juga. Namun, karena padatnya traffic penerbangan antara Makassar-Jakarta, pesawat menuju Makassar yang ditumpanginya mengalami delay selama 30 menit. Begitu sampai di Jakarta, pesawat menuju Banda Aceh sudah lepas landas.

Atas inisiatif pihak Garuda Indonesia, Rahmat diinapkan semalam di salah satu hotel tak jauh dari bandara. Keesokan harinya, Rabu, 3 Oktober, ia landing di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Banda Aceh.

Di Banda Aceh, Rahmat di peusijeuk (semacam selamatan) sesaat di Kantor Wali Kota Banda Aceh. Disitu ia disambut oleh sang Wali Kota Aminullah Usman, yang juga memimpin upacara peusijuek. Rahmat baru dapat pulang ke rumah menjumpai keluarga setelah upacara itu selesai.

 

5 dari 5 halaman

Selamat dari 2 Tsunami

Selamat dari amukan gempa disusul tsunami yang terjadi di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah membuat Rahmat Saiful Bahri patut bersyukur.

Pasalnya, bukan sekali ini saja Kepala Sekretariat Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Banda itu, selamat dari bencana serupa. Ia sempat digulung air bah saat tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Bencana itu menewaskan lebih dari 200.000 orang.

Saat itu, Rahmat sempat kehilangan salah seorang anaknya bernama M. Raza Maulana. Sementara, keluarganya yang lain selamat, karena menaiki lantai atas meunasah atau surau di desanya.

Dari satu kantong jenazah ke satu kantong jenazah ia singkap demi mencari anaknya itu. Saat kejadian, Rahmat dan keluarga tinggal di Desa Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, yang juga alamatnya saat ini.

Tiga hari tiga malam Rahmat mencari anaknya. Di hari keempat, seorang tetangga mengaku telah menyelamatkan anaknya. Rahmat sempat tak percaya. Saat itu ia berpikir, tetangganya itu hanya ingin menyenangkan hatinya saja.

Barulah pada hari kelima tetangganya itu mengajak Rahmat untuk melihat anaknya yang rupanya sudah dibawa oleh tetangganya itu ke Sigli.

Saat ini, M Raza Maulana sedang mengambil studi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Banda Aceh.

 

Saksikan video menarik berikut ini: