Liputan6.com, Jakarta - Tiga serangkai bencana menerpa Palu, Sulawesi Tengah dalam sehari. Gempa, tsunami, dan likuefaksi. Riwayat likuefaksi dengan nama berbeda pun muncul ke permukaan.
Tak ada yang familiar dengan likuefaksi di tanah Palu. Jangankan tahu, mendengar kata likuefaksi pun baru setelah fenomena tanah bergerak itu menerjang pada 28 September 2018.
Namun ternyata likuefaksi pernah terjadi di tanah Palu. Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menuturkan, nenek moyang masyarakat Palu sebenarnya telah merekam kejadian likuefaksi dalam istilah lokal.
Advertisement
"Menandakan bahwa mereka telah mengenalinya sejak lama. Likuefaksi disebut dengan istilah 'nalodo' yang berarti ambles diisap lumpur. Daerah-daerah rentan nalodo ini dulu kosong," kicau Daryono dalam akun Twitter 6 Oktober 2018.
Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menyebutkan, riwayat malapetaka nalodo pernah terjadi beberapa puluhan tahun lalu. Namun kisahnya tak diwariskan hingga generasi saat ini.
Apakah sesungguhnya likuefaksi alias nalodo itu? Apa yang memicunya dan dampaknya bagi tanah Palu? Simak dalam Infografis berikut ini.
Jadi Memorial Park
Tiga kelurahan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, yaitu Petobo, Balaroa dan Jono Oge akan ditutup dan tak lagi dijadikan hunian masyarakat.
Di wilayah yang ditelan lumpur atau likuefaksi itu, pemerintah berencana membangun ruang terbuka hijau dan monumen untuk dijadikan sebagai tempat bersejarah.
"Lokasi likuefaksi itu akan ditutup dan akan dijadikan ruang terbuka hijau serta menjadi memorial park atau tempat bersejarah dan akan dibangun monumen," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, 9 Oktober 2018.
Advertisement
Monumen Gempa
Pemprov Sulteng berencana menjadikan wilayah yang terkena dampak likuefaksi sebagai ruang terbuka hijau. Kawasan itu akan diratakan atau ditutup permanen terlebih dahulu setelah masa tanggap darurat pertama berakhir pada 11 Oktober 2018.
"Kami buat monumen gempa, tragedi 28 September, dan lain-lain. Pokoknya ada tiga titik yang dibangun monumen," ujar Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Sulteng Haris Kariming.
Adapun, penduduk yang berada di kelurahan Balaroa, Petobo dan Jono Oge yang diterjang likuefaksi bakal direlokasi ke tempat yang lebih aman. Titik relokasi Balaroa Atas, Kelurahan Duyu, Ngata Baru dikaji dulu oleh para ahli untuk memastikan layak atau tidak dibangun 2.000 hingga 3.000 rumah.