Liputan6.com, Jakarta - Gempa bermagnituo 5,2 dirasakan masyarakat pesisir selatan Kabupaten Lebak, Banten, pukul 02.38 WIB. Tak ada kepanikan dalam aktivitasnya. Mereka tetap lelap dalam tidur meski getaran itu dirasakan hanya beberapa detik.
"Kita dinihari tadi merasakan gempa Lebak yang berlangsung beberapa detik, namun getarannya sangat kecil," kata Erwin Komara Sukma, seorang tokoh Desa Sawarna Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak seperti dilansir Antara, Minggu (14/10/2018).
Baca Juga
Menurut dia, kondisi masyarakat di sini sudah kembali normal setelah gempa melanda. Masyarakat sudah biasa merasakan goyangan gempa karena lokasi Desa Sawarna itu berdekatan dengan pusat gempa.
Advertisement
Badan Meteorologi, Klimatalogi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, pusat gempa berada di 9,00 Lintang Selatan, 105,26 Bujur Timur atau tepatnya berada di 292 kilometer Barat Daya Lebak, Banten.
Atas kejadian ini, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lebak Kaprawi mengaku belum mendapat laporan adanya kerusakan maupun korban. Ia berharap hal itu tidak terjadi.
"Kami hingga kini belum menerima laporan dari relawan kecamatan yang bertugas di wilayah selatan adanya kerusakan rumah warga maupun infrastruktur lainnya," kata Kaprawi.
Menurut Kaprawi, selama ini, masyarakat pesisir selatan yang lokasinya berdekatan dengan pusat gempa tidak panik karena getarannya tidak begitu besar.
"Kehidupan masyarakat relatif normal dan tidak menimbulkan kepanikan dan ketakutan, kata dia.
Gempa dirasakan lemah sehingga tidak menimbulkan kerusakan maupun korban jiwa. Namun demikian, dia meminta masyarakat pesisir selatan tetap waspada sehubungan wilayah Perairan Samudera Hindia terdapat patahan gempa.
"Kami minta masyarakat tetap tenang dan tidak panik menghadapi gempa itu," Kaprawi menandaskan.
Lava Pijar Gunung Krakatau
Sebelum gempa menggoyang Lebak, Banten, fenomena alam juga terlihat di Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan. Gunung itu menunjukkan aktivitas kegempaan letusan sebanyak 40 kali.
Berdasarkan pantauan di pos Pengamatan, sinar api serta aliran lava pijar dari Gunung anak Krakatau yang meletus menuju ke arah selatan.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), berdasarkan hasil pengamatan, mulai Sabtu, hingga Minggu (14/10/2018), pukul 00.00 WIB, visual malam dari CCTV teramati sinar api dan aliran lava pijar ke arah selatan.
"Kemudian, terdengar suara dentuman di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau,” ucap BMKG seperti dilansir dari Antara.
Gunung api di dalam laut dengan ketinggian 338 meter dari permukaan laut ini, sepanjang pengamatan mengalami aktivitas kegempaan letusan 40 kali, amplitudo 10-27 mm, durasi 5-35 detik.
"Tektonik jauh satu kali, amplitudo 5 mm, S-P tidak terbaca, durasi 43 detik. Tremor Menerus amplitudo 1-6 mm (dominan 1 mm)," ucap BMKG. Sepanjang pengamatan itu, kondisi cuaca cerah dan berawan. Angin bertiup lemah hingga sedang ke arah timur laut, timur, dan tenggara. Suhu udara 25-33 derajat celsius, kelembapan udara 57-84 persen, dan tekanan udara 0-0 mmHg.
"Kesimpulan tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau Level II (Waspada), sehingga direkomendasikan masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 2 km dari kawah,” BMKG menandaskan.
Tak hanya letusan gunung dan gempa di selat Sunda, Jakarta juga dinilai sebagai lokasi yang dekat dengan sumber gempa. Namun kapan kejadian tersebut, tak bisa diprediksi.
"Memang Jakarta dekat sumber gempa, tapi potensi terjadi kapannya belum tahu. Masyarakat tidak perlu cemas,” ucap Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono di kantor BMKG, Jakarta, Kamis (11/10/2018).
Menurut dia, BMKG sudah menyiapkan langkah mitigasi bencana. Masyarakat juga harus diberikan bekal tentang pemahaman terhadap bencana alam.
“Betapa pun BMKG bekerja 24 jam sehari, tetapi Pemda libur Sabtu dan Minggu, informasi jadinya kan tidak sampai ke masyarakat. Jadi, Pemda harus perkuat BPBD untuk selalu siap agar bisa evakuasi masyarakat yang terdampak,” ia melanjutkan.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa infrastruktur yang aman gempa juga harus dipersiapkan.
"Karena yang bahaya saat gempa bumi adalah bangunan yang jatuh, jadi masyarakat tidak perlu panik fokus kapan terjadi gempa di Jakarta karena kapan terjadinya kita tidak tahu,” ia mengakhiri.
Advertisement
Mitigasi Bencana
Gempa Lebak dan letusan Gunung Anak Krakatau menambah deretan bencana yang menyapa Indonesia dalam beberapa hari belakangan ini. Sebelumnya gempa magnitudo 6 juga menyapa masyarakat Situbondo, Bali dan sekitarnya pada Kamis 11 Oktober 2018. Tiga orang meninggal dalam musibah ini.
Yang lebih dahsyat lagi, gempa dan tsunami menerjang Donggala dan Palu pada Jumat 28 September 2018. Dalam musibah ini, banyak bangunan dan infrastruktur rusak parah. Bahkan hingga Sabtu 13 Oktober 2018, korban tewas mencapi 2.091 orang.
Menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geologi (BMKG) Daryono, Indonesia terletak di wilayah Cincin Api Pasifik (Ring of Fire). Gempa dan erupsi gunung berapi seakan menjadi keniscayaan bagi Indonesia.
Nusantara berada di kawasan sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi. Wilayah ini memiliki sisi berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Selain itu, Indonesia juga menjadi pertemuan empat lempeng tektonik. Yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia dan Samudera Pasifik. Di perut Ibu Pertiwi ini terkandung ratusan sesar yang masih aktif.
"Indonesia banyak sumber gempa. Ada 295 sesar aktif," kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geologi (BMKG) Daryono.
Menurut dia, mitigasi bencana harus dimaksimalkan agar tak banyak jatuh korban bencana alam. Konsep ini telah dilakoni di negara-negara yang akrab dengan bencana seperti Jepang.
"Kalau mitigasi dilakukan serius, enggak ada yang meninggal karena gempa. Kayak di Jepang, gempa 7 SR biasa. Yang meninggal 1 orang, rumah masih utuh paling retak saja," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 2 Oktober 2018 lalu.
Namun masalahnya, mitigasi di Indonesia berjalan setengah hati. Sehingga tak heran, bencana yang datang terus menelan banyak korban jiwa maupun material lainnya.
"Sekarang ini kan mitigasi kayak main-main, setengah hati. Jadi kalau ini dibiarkan terus, maka semakin ke sana akan banyak yang meninggal dan yang dirugikan," ujar Daryono.
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho. Menurut dia, warga Indonesia belum siap menghadapi bencana besar.
"Secara umum masyarakat dan pemda belum siap menghadapi bencana-bencana besar," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa 2 Oktober 2018 lalu.
Dia menegaskan, tingkat kesadaran bencana masyarakat Indonesia masih rendah. Kendati pengetahuan mengenai bencana alam meningkat sejak peristiwa tsunami Aceh.
"Saya tahu tsunami, saya tahu banjir tapi belum menjadi perilaku sehari-hari yang kita kenal sebagai budaya. Dan dalam praktiknya, mitigasi bencana belum jadi prioritas," ujar dia.
Saksikan video menarik berikut ini: