Sukses

Tragedi Bintaro, 156 Nyawa Melayang di Rel Kereta 31 Tahun Lalu

Senin 156 penumpang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam kecelakan kereta api pada Senin pagi itu.

Liputan6.com, Jakarta Slamet Suradio masih ingat peristiwa mengerikan itu. Pagi itu, Senin 19 Oktober 1987, dia beraktivitas seperti biasa sebagai masinis Kereta api KA 225 jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang. Saat langit masih gelap, kereta yang dikemudikannya sudah tiba di Stasiun Rangkasbitung.

Pemandangan masih seperti hari-hari sebelumnya. Satu per satu penumpang masuk ke gerbong kelas ekonomi. Mereka saling berebut. Bahkan, Ada juga penumpang yang memilih naik ke atap dan dekat lokomotif. Tak lama, peluit ditiup. Petugas memberi tanda Semboyan 46. Artinya kereta diberi izin berjalan. Tepat pukul 5.05 pagi, kereta melaju.

Perjalanan Slamet membawa para penumpang cukup panjang. Sudah 14 stasiun dilewati hingga tiba di Stasiun Sudimara sekitar pukul 6.50 WIB. KA 225 berhenti dan sebagian penumpang bergantian turun dan naik. Lima menit kereta berhentin setelah itu melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Tanah Abang sebagai pemberhentian terakhir.

Pada titik inilah masalah yang menjadi pemicu malapetaka itu muncul. KA 225 tak lama berhenti di Stasiun Sudimara, hanya sekitar 5 menit. Namun, masalah yang berkelindan selama 300 detik itu berakhir dengan tragedi saat KA 225 berangkat.

Masalah sudah bermula atas kesalahan Kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 ke Stasiun Sudimara tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di stasiun tujuan itu. Sehingga, ketika KA 225 tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.45 WIB, stasiun yang punya 3 jalur saat itu langsung penuh.

KA 225 sedianya bersilang dengan KA 220 Patas di Stasiun Kebayoran yang hendak ke Merak. KA 220 Patas di Stasiun Kebayoran harusnya berhenti sejenak, namun PPKA Stasiun Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220.

PPKA Stasiun Sudimara pun memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 masuk jalur 3. Saat akan dilangsir, Slamet tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu. Sang masinis pun membunyikan Semboyan 35 dan berjalan. Juru langsir yang kaget mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang.

Para petugas stasiun kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor. PPKA Sudimara Djamhari mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah.

Namun sia-sia, Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih, dia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Belakangan diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.

KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam. Masinis kaget. Rem darurat tak mampu mencegah. Jarak sudah terlalu dekat. Sekitar 10 meter di depannya KA 220 tengah melaju. Tabrakan maut pun tak bisa dihindar.

Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir. Lokasinya di sebelah utara SMA 86 Bintaro, tepatnya di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro atau lengkungan S yang berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan sekitar 8 km sebelum Stasiun Sudimara.

Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.

Slamet sendiri terpental dari tempat duduknya. Kondisinya berdarah-darah. Ajaibnya, dia berhasil selamat dari kecelakaan maut itu. Dia berhasil keluar melalui jendela. Tergeletak tak berdaya, pandangannya masih melihat ke arah kereta. Kondisinya mengenaskan, Lokomotif KA 225 posisinya berada di bawah lokomotif KA 220.

Setelah itu, dia ditolong banyak orang. Digendong dan dimasukkan ke dalam mobil. Lalu dilarikan ke Rumah Sakit Pelni Jakarta. Hari yang nahas bagi Slamet dan sejarah pun mencatat hari itu adalah catatan terburuk dalam dunia perkeretapian Tanah Air.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pahit dan Getir Nasib Slamet

Meski peristiwa itu telah lama berlalu, Slamet tak bisa melupakannya. Apalagi, kehidupan pria kelahiran 18 Agustus 1939 ini berubah drastis sejak kejadian itu. Getir dan pilu, demikian kehidupan ayah empat anak yang tinggal di Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jateng itu.

Menjadi terdakwa dalam kasus ini, Slamet kemudian divonis bersalah oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Dia dianggap lalai hingga terjadi kecelakaan dan menyebabkan korban meninggal. Meski dalam persidangan dia telah menjelaskan, itu tidak cukup. Slamet meyakini bahwa dirinya tidak bersalah dan hanya menjalankan perintah.

Hakim tetap pada putusannya dengan menjatuhkan vonis Slamet bersalah dengan jeratan Pasal 359 KUHP. Slamet pun harus menjalani masa hukuman selama 5 tahun penjara. Kemudian dijebloskan ke Rutan Cipinang dan keluar pada tahun 1993.

"Saya sampai sekarang heran kenapa saya dipenjara. Saya kan hanya menjalankan perintah saja. Saya herannya saya punya surat perintah ini (PTP) kok masih bisa kecelakaan. Bingung saya. Harusnya kan ada surat ini berarti kan sudah ada hubungan antara Stasiun Sudimara dengan Stasiun Kebayoran," ujar Slamet kepada merdeka.com, pertengahan Oktober 2017.

Tidak cukup disitu, sanksi dari lingkungan pun juga diterima Mbah Slamet. Saat masih menjalani hidup di balik penjara, istrinya Kasmi dinikahi oleh teman Slamet sendiri sesama petugas perkeretaapian.

Sepanjang hidupnya, berbagai cobaan menimpa rumah tangga Slamet. Dia harus menjalani 3 kali pernikahan. Namun, boleh dibilang istri yang terakhir yang bisa bertahan sampai sekarang. Istri pertama Slamet meninggal dunia karena sakit sesudah mereka dikaruniai lima orang anak.

Kemudian dia menikahi Kasmi yang akhirnya dicerai lantaran memilih lelaki lain. Kemudian dia menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Pernikahan dengan wanita yang ketiga ini, mereka dikaruniai tiga anak.

Kepada Liputan 6 SCTV yang menemuinya lima tahun lalu, Slamet mengaku beruntung memiliki Ngadinem sebagai istri. Sebab, sang istri masih bisa membantu mencari pendapatan dengan bekerja sebagai buruh tani di kampungnya dan menghasilkan rata-rata Rp 15 ribu per harinya.

Yang jelas, keluar dari Rutan Cipinang, Slamet sempat kembali bekerja di Perum Kereta Api. Statusnya bukan lagi masinis. Turun pangkat. Penderitaannya tak berhenti di situ. Tahun 1996, Menteri Perhubungan mengeluarkan surat bernomor Sk 4/Kp 602/Pnb-96. Slamet dipecat secara tidak hormat. Akibatnya Slamet tidak mendapatkan uang pensiun.

Mulai saat itu kehidupannya mulai jatuh. Pria berumur 78 tahun ini memilih kembali ke Purworejo, kampung halamannya. Memulai hidup dari awal. Hingga berdagang rokok eceran. Di depan Toko Kue Tulip dekat RSUD Purworejo. Semua dilakoni. Demi menghidupi keluarga. Sampai sekarang.

Akibat insiden Bintaro, juga membuat Slamet mengalami gangguan kesehatan. Telinga kanannya tuli. Bahkan mata kanannya mengalami gangguan penglihatan. Selain itu tulang kaki dan pinggulnya pun patah. Membuatnya tidak mampu bekerja berat. Trauma paska kecelakaan pun masih dirasakan Slamet hingga saat ini.

"Saya kalau lihat kereta kadang masih suka teringat waktu kecelakaan," ujar Slamet.

Â