Liputan6.com, Jakarta - KPK menjadwakan pemeriksaan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan istrinya Tin Zuraida pada Senin 29 Oktober 2018. Keduanya akan diperiksa dalam kasus dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali di Pengadilan Jakarta Pusat.
"KPK merencanakan pemeriksaan terhadap Nurhadi dan Tin Zuraida untuk tersangka ESI (Eddy Sindoro) pada Senin (29/10)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu (28/10/2018).
Nurhadi sebelumnya sudah pernah diperiksa KPK dalam perkara yang sama untuk tersangka lainnya pada 24 dan 30 Mei serta 3 Juni 2016. Sedangkan Tin Zuraida yang merupakan mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan MA sudah pernah diperiksa pada 1 Juni 2016.
Advertisement
Antara melansir, sepanjang 2004-2009, rata-rata arus keluar masuk uang di salah satu rekening Tin Zuraida mencapai Rp 1 miliar-Rp 2 miliar setiap bulan. Sementara pada periode 2010-2011, ada belasan kali uang masuk ke rekening Tin dengan nilai Rp 500 juta.
Nurhadi juga terdeteksi pernah memindahkan uang Rp 1 miliar ke rekening istrinya. Selanjutnya, pada 2010-2013, Tin pernah menerima setoran tunai Rp 6 miliar.
"Kami imbau agar saksi-saksi datang memenuhi panggilan sebagai kewajiban hukum," tambah Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kasus Eddy Sindoro
KPK sendiri sudah menahan Eddy Sindoro pada 12 Oktober 2018 setelah ia menyerahkan diri Atase Kepolisian RI di Singapura. Dia menyerahkan diri setelah sejak akhir 2016 hingga 2018 berpindah-pindah tempat di sejumlah negara antara lain Thailand, Malaysia, Singapura, dan Myanmar.
KPK sudah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka sejak November 2016 lalu. Ia disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Sudah ada dua orang yang menjalani vonis terkait perkara ini yaitu panitera panitera sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan perantara suap Dody Arianto Supeno. Doddy sudah divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan sedangkan Edy Nasution sudah divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan.
Pada putusan Edy Nasution disebutkan, Edy menerima US$ 50 ribu untuk pengurusan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh Mahkamah Agung melawan PT First Media. Edy menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy US$ 50 ribu yang terbungkus dalam amplop warna coklat.
Edy Nasution juga mengakui menerima US$ 50 ribu dari Dody, di mana uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo.
Eddy Sindoro juga pernah bertemu dengan mantan sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan dan Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK. Namun, Nurhadi mengatakan itu dalam rangka pengawasan.Â
Advertisement