Sukses

HEADLINE: Misteri Jatuhnya Lion Air JT 610, Kenapa Pilot Ingin Kembali ke Bandara?

Pesawat Lion Air JT 610 jatuh setelah 13 menit mengudara. Sejumlah fakta bisa menjadi pintu untuk membuka misteri penyebab jatuhnya kapal terbang itu.

Liputan6.com, Jakarta - Bandara Soekarno Hatta di Tangerang, Banten masih berselimut kabut pada Senin pagi, 29 Oktober 2018. Namun, kesibukan di landasan pacu bandara terus meningkat, seiring dengam makin banyaknya pesawat yang akan tinggal landas.

Salah satunya adalah pesawat Lion Air JT 610 dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Pagi itu, pesawat produksi pabrikan Boeing tersebut membawa 181 penumpang dan 8 orang cabin attendant serta kru kokpit.

Setelah mendapat izin terbang dari petugas bandara, tepat pukul 06.20 WIB pesawat pertama menuju Bandara Depati Amir di Pulau Bangka itu melesat meninggalkan landasan pacu dan menanjak untuk mencapai ketinggian ideal (climbing).

Namun, pesawat tak pernah mencapai ketinggian ideal itu. Setelah 13 menit mengudara atau pada pukul 06.33 WIB, pesawat Lion Air JT 610 jatuh di koordinat S 5’49.052 E 107’ 06.628 atau di sekitar Karawang, Jawa Barat.

"Ketika itu ketinggiannya masih 2.500 feet," ujar Kepala Basarnas Muhammad Syaugi dalam konferensi pers di kantornya, Senin (29/10/2018).

Padahal, ketinggian yang bisa dicapai pesawat dengan durasi terbang selama 13 menit harusnya jauh lebih tinggi. Untuk ukuran 13 menit penerbangan, seharusnya pesawat sudah terbang pada ketinggian sekitar 15 ribu hingga 20 ribu kaki.

"Ya, makanya dia minta RTB (return to base). Kita tidak tahu apa yang terjadi, namun ketinggiannya seharusnya bisa lebih tinggi," kata Manajer Humas AirNav Indonesia, Yohanes Harry Sirait, Senin (29/10/2018).

Memang sebelum hilang kontak, Lion Air JT 610 sempat meminta return to base alias balik lagi ke bandara semula, dalam hal ini Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Namun, AirNav belum mengetahui persis, apa yang melatarbelakangi permintaan return to base itu.

"Belum tahu. Dia cuma meminta return to base. Kita lihat, oke, kita berikan prioritas untuk return to base. Tapi belum sempat, dia sudah lost contact," kata Yohanes.

Kontak dengan sang pilot terputus karena pesawat sudah tak lagi mengudara. Hal itu berdasarkan bukti yang didapat di lokasi yang diduga kuat tempat jatuhnya pesawat, yaitu di perbatasan antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi.

Infografis Pesawat Lion Air JT 610 Jatuh (Liputan6.com/Tri Yasni)

Seorang nelayan asal Tanjung Pakis bernama Boros (50) mengaku mendengar suara ledakan cukup keras di sekitar perairan Tanjung Pakis, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Diduga suara ledakan tersebut berasal dari pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di kawasan perairan Tanjung Karawang, antara perbatasan Cabangbungin (Bekasi) dan Pakisjaya (Karawang). Ledakan itu didengarnya pada Senin pagi.

"Sempat mendengar suara ledakan cukup keras di sekitar pesisir pantai," kata Boros, Senin (29/10/2018).

Tidak hanya dirinya yang mendengar, beberapa nelayan juga mendengar ledakan keras tersebut. Ledakan sempat membuat para nelayan bingung dan takut.

"Ada sejumlah nelayan yang mendengar ledakan, tapi lokasi di mana tidak tahu," ujarnya.

Keterangan ini seiring dengan temuan tim Basarnas yang diterjunkan ke lokasi di sekitar perairan Tanjung Karawang. Di perairan itu ditemukan material yang diduda merupakan bagian dari badan pesawat. Demikian pula temuan lainnya berupa barang-barang serta identitas para penumpang yang mengapung di lautan.

Musibah ini langsung direspons Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang menyampaikan bahwa pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Tanjung Karawang terindikasi tak bisa melanjutkan penerbangan.

"Dari pengamatan yang ada memang ada indikasi bahwa pesawat tidak bisa lanjut terbang, tapi kami masih klarifikasi dan tetap berharap kemungkinan terbaik," kata Budi, Senin (29/10/2018).

Dia menyampaikan keprihatinan atas pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Tanjung Karawang tersebut, seraya menugaskan pihak terkait untuk melakukan pengamatan lebih jauh.

"Saya tentu prihatin dan menugaskan beberapa pihak, stakeholder dalam menangani itu, Dirjen Udara, KNKT, Basarnas untuk melakukan suatu pengamatan lebih jauh," ujar Budi.

Tak ada keterangan lebih lanjut dari Menteri Budi tentang indikasi bahwa pesawat tidak bisa lanjut terbang. Lantas, apa penyebab jatuhnya pesawat yang masih tergolong sangat baru tersebut.

2 dari 3 halaman

Kenapa JT 610 Jatuh?

Sony Setiawan tak henti-hentinya mengucap syukur. Alasannya, pria asal Bandung, Jawa Barat ini batal naik pesawat Lion Air JT 610 pada Senin pagi. Pegawai Kanwil Ditjen Perbendaharaan Bangka Belitung ini tertinggal pesawat lantaran terjebak kemacetan di Tol Cikampek.

"Nggak tahu kenapa, hari ini Tol Cikampek macet parah, jadi kita ketinggalan pesawat tersebut," ujar Sonny di Pangkalpinang, Bangka Belitung, Senin (29/10/2018).

Sony yang bermukim di Kota Bandung itu mengatakan, setiap minggunya dia terbang ke Pangkal Pinang menggunakan maskapai Lion Air. Namun, karena terjebak macet, Sony sampai di Bandara Soekarno-Hatta sekira pukul 06.20 WIB atau tepat ketika pesawat nahas itu tinggal landas.

Mengetahui dirinya tertinggal pesawat, dia lantas membeli tiket penerbangan baru dengan maskapai Sriwijaya yang berangkat pukul 09.40 WIB. Sony pun sangat terkejut ketika mengetahui pesawat Lion Air JT 610 yang seharusnya ditumpanginya dinyatakan hilang kontak.

"Saya lemas sampai mau nangis, inilah jalannya takdir Allah buat saya untuk memperbaiki diri," kata Sony.

Tak hanya bersyukur, dia juga merasakan kesedihan dan duka mendalam atas musibah ini. Sebab, meski selamat dari musibah, sejumlah teman-temannya tetap menumpang pesawat tersebut.

"Teman-teman saya ada di situ, enam orang," ujar Sony.

Hingga kini, belum ada keterangan resmi tentang penyebab jatuhnya Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat. Hampir seluruh instansi yang ada semuanya fokus pada proses evakuasi badan pesawat dan penemuan korban. Namun, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan untuk mengetahui penyebabnya.

Pengamat penerbangan Alvin Lie mengungkapkan, ada beberapa hal yang perlu dicermati dari kasus hilangnya kontak pesawat Lion Air JT 610. Menurut dia, untuk memastikan penyebab kejadian tersebut perlu melihat sejarah penerbangan dan memastikan kesehatan pesawat.

"Pertama saya rasa kita perlu membuka log book (catatan riwayat pesawat). Pesawat ini terakhir kali terbang kapan? Apakah ada keluhan dari pilot yang menerbangkan pesawat tersebut dalam penerbangan sebelumnya, apakah ada masalah yang sebelumnya berulang kali dilaporkan. Dari sana akan kelihatan kondisi kesehatan pesawat itu," kata Alvin saat dihubungi, Senin (29/10/2018).

Hal kedua yang perlu dilakukan, untuk mengetahui penyebab kejadian hilangnya pesawat ini yakni mencari informasi dari Airnav Indonesia apakah pesawat Lion Air penerbangan JT 610 sempat mengumumkan kondisi darurat atau tidak.

Sebab, apabila itu dilakukan, berarti pilot sudah merasakan ada kondisi yang tidak beres terhadap pesawat yang dibawanya.

"Kalau tidak berarti kecelakaan terjadi secara mendadak, bahkan tidak sempat mengumumkan kondisi darurat," ujar dia.

Kemudian terakhir, lanjut Alvin, perlu juga mencermati data dari BMKG mengenai kondisi cuaca. "Tapi rasa-rasanya dari kondisi cuaca pagi ini masih normal dan aman untuk penerbangan," sebutnya.

"Dari ketiga itu kita bisa mendapat informasi awal untuk kita dalami," tambah Alvin.

Dia menambahkan, sejauh ini prinsip penyelidikan yang dilakukan di lapangan baik dari Basarnas, KNKT, Airnav Indonesia, dan Dirjen Perhubungan bukanlah untuk mencari siapa yang salah. Melainkan fokus mencari penyebab terjadinya kecelakaan pesawat.

"Nanti ujungnya adalah rekomendasi agar tidak terulang masalah yang serupa," ujar Alvin.

Selama 13 menit perjalanan Lion Air JT 610 dari Bandara Soekarno Hatta hingga akhirnya terhempas di perairan Tanjung Karawang, memang terdapat sejumlah fakta yang layak untuk didalami sebagai petunjuk penyebab kecelakaan.

3 dari 3 halaman

Misteri yang Belum Terungkap

Jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang menyisakan sejumlah misteri dan pertanyaan yang belum terjawab. Pertanyaan itu tentu saja terkait dengan penyebab jatuhnya pesawat yang hingga kini masih dalam penyelidikan.

Namun, pertanyaan tentang penyebab kecelakaan bisa mengerucut setelah sejumlah fakta terungkap. Fakta itu antara lain datang dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang memastikan tak ada masalah cuaca sebelum hingga saat pesawat itu meninggalkan landasan di Bandara Soekarno Hatta.

"Informasi kondisi cuaca saat pesawat itu take off pada ketinggian antara 10 ribu feet sampai 24 ribu feet itu arah angin dari barat laut dengan kecepatan 5 knot. Jadi ini relatif lemah, tidak ada masalah, dan dilaporkan tidak ada kondisi cuaca signifikan," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Senin (29/10/2018).

Dia menyebut cuaca signifikan artinya cuaca yang membahayakan saat penerbangan. Dia memastikan cuaca saat kejadian jatuhnya Lion Air JT 610 layak terbang. Tidak ada juga awan kumulonimbus saat kejadian itu.

"Maksudnya cuaca signifikan itu kondisi cuaca yang membahayakan yang kami pantau baik sebelum pesawat take off, saat take off, bahkan diperkirakan sampai akhir pendaratan itu tidak ada cuaca signifikan dan yang terakhir kami juga mencatat tidak terjadi atau tidak ada indikasi adanya awan cb (kumulonimbus). Awan cb itu awan yang biasanya menimbulkan turbulensi," sebut Dwikorita.

BMKG mendapat informasi, pada saat pesawat jatuh, ketinggian terbang masih di bawah 10 ribu kaki.

"Ya, jadi kami mendapat informasi lost contact itu ketinggian pesawat belum mencapai 10 ribu feet. Pada ketinggian itu kecepatan angin 5 knot," sebut Dwikorita.

Selain cuaca yang bersahabat, pesawat nahas itu juga di bawah kendali Kapten Bhavye Suneja, seorang pilot yang berpengalaman. Rekam jejak yang bersangkutan bisa dilihat dari akun Linkedin miliknya.

Bhavye Suneja menuliskan dirinya berasal dari New Delhi, India dan sudah 7 tahun 8 bulan bekerja di Lion Air. Dia bekerja di maskapai ini sejak Maret 2011.

Sebelum di Lion Air, Bhavye Suneja menjadi trainee pilot Boeing 737 NG di Emirates selama 4 bulan. Dia sendiri merupakan lulusan Ahlcon Public School di New Delhi, India.

Kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah pilot Bel Air International di San Carlos, California, Amerika Serikat, setelah bergabung pada 2007 hingga 2009.

Artinya, dia merupakan pilot yang punya jam terbang mumpuni dan tak memiliki rekam jejak yang pantas diragukan. Apalagi Lion Air juga menyebut Bhavye Suneja punya lebih dari 6.000 jam terbang, sedangkan kopilot Harvino mempunyai lebih dari 5.000 jam terbang

Pengalaman mumpuni Bhavye Suneja juga berbanding lurus dengan pesawat yang dibawanya. Pesawat Boeing 737 MAX 8 dengan nomor registrasi PK-LQP yang dipiloti Bhavye Suneja adalah pesawat baru yang beroperasi sejak Agustus 2018.

The Guardian bahkan menyebut, ini adalah kecelakaan pesawat pertama yang melibatkan Boeing 737 MAX. Seperti diketahui, Boeing 737 MAX adalah versi terbaru yang dinilai lebih canggih dan efisien bahan bakar.

Boeing 737 MAX 8 ini pertama kali diperkenalkan ke publik pada 2017 silam. Belum lama ini Lion Air Group baru saja menerima pesawat terbaru jenis Boeing 737 MAX 8 beregistrasi PK-LQP. Pesawat ini dikirim langsung dari Boeing Company yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat.

Boeing 737 MAX 8 merupakan armada ke-10 yang dioperasikan oleh Lion Air dari total pesanan sebanyak 218 unit. Dari total 10 Boeing 737 MAX 8 yang dimiliki Lion Air Group ini telah melayani penerbangan ke Arab Saudi, Korea, China, dan seluruh rute domestik.

Sampai di sini, tak ada masalah dengan Lion Air JT 610. Cuaca mendukung, pilot handal dan pesawat yang baru keluar dari pabrik menutup celah akan terjadinya masalah teknis yang bisa membahayakan penerbangan.

Namun, ternyata sebelum hilang kontak, Bhavye Suneja sempat meminta untuk bisa kembali ke bandara. Namun setelahnya tak ada lagi informasi.

"Pesawat sempat meminta return to base sebelum akhirnya hilang dari radar," kata Kepala Bagian Kerja Sama dan Humas Ditjen Perhubungan Udara, Sindu Rahayu dalam keterangan tertulis, Senin (29/10/2018).

Hingga kini belum diketahui alasan pilot ingin kembali ke bandara.

Misteri lainnya, situs FlightRadar24 memperlihatkan rute yang berbeda. Dari Bandara Soekarno-Hatta, pesawat melewati Jakarta dan mengarah ke utara. Padahal, lokasi tujuan adalah Bandara Depati Amir di Pangkalpinang yang berada di sisi barat Banten.

Pesawat melintasi utara Jakarta dan perairan Teluk Jakarta hingga ke arah timur laut di Jawa Barat. Titik terakhir pesawat Lion Air JT 610 ada di perairan sebelah utara Karawang.

Situs FlightRadar24 adalah situs asal Swedia yang memperlihatkan perjalanan pesawat komersial secara real time. Ini bukan merupakan informasi resmi dari pihak berwenang.

Dua pertanyaan terkait keinginan pilot untuk kembali ke bandara serta arah pesawat yang tak biasa mungkin bisa menjadi awal untuk mencari penyebab musibah ini.

Berkaca pada kasus kecelakaan pesawat yang pernah terjadi, akan butuh waktu bagi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk bisa menjawab banyak pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi di pagi nahas Lion Air JT 610.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra dan Afra Augesti