Sukses

KWI: Belum Ada Konsultasi Resmi soal RUU Pesantren

RUU Pesantren ini disetujui masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR untuk kemudian dibahas selanjutnya bersama pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan, belum ada konsultasi resmi membahas RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. RUU ini disetujui masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR untuk kemudian dibahas selanjutnya bersama pemerintah.

"Ini belum secara resmi berkonsultasi dengan KWI. Karenanya jangan sampai kontra produktif. Diatur dengan orang yang tidak ngerti," ucap Pengurus Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI, Romo Heri Wibowo, dalam diskusi bertema Sekolah Minggu di RUU Pesantren dan Pendidikan Agama, di kantor DPP PSI, Jakarta, Selasa 30 Oktober 2018.

Sehingga, kata dia, dipastikan belum ada kajian mengenai RUU Pesantren tersebut. Terlebih dalam RUU tersebut belum memasukkan kekhasan masing-masing agama. "Ini belum memasukan kekhasan agama-agama lain," ungkap Romo Heri.

Dia mengatakan, pihaknya akan segera menyusun dan memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pesantren kepada pemerintah agar bisa menjadi masukan.

"Nanti kami akan memberikan daftar Invertarisasi permasalahan secara lengkap kepada Presiden. Ini untuk jadi pertimbangan. Kami sedang menyusun," pungkas Romo Heri.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan, pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan masih bisa berubah. Hal ini ia katakan terkait adanya protes dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) terkait Pasal 69 dan 70 dalam RUU tersebut.

"Pembahasan tingkat dua di Komisi VIII DPR ini masih mungkin mendapatkan masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama oleh organisasi keagamaan yang terkait dengan pendidikan keagamaan tersebut," kata Ace saat dihubungi, Minggu 28 Oktober 2018.

Menurutnya, masih terbuka kemungkinan DPR akan melibatkan pihak terkait untuk menyempurnakan RUU ini. Termasuk dengan mendengarkan masukan dari PGI.

"Jadi pada saatnya kami akan mengundang PGI, KWI, MUI, NU, Muhammadiyah untuk membicarakan dan membahas tentang penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan itu," ujar Ace.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Protes PGI

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) keberatan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru saja disahkan masuk dalam UU Prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka mengkritisi pasal yang mengatur tentang sekolah minggu dan katekisasi yang terdapat pada Pasal 69 dan Pasal 70.

"Nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja," kata Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom dalam keterangan tertulisnya, Minggu (28/10/2018).

Dia juga mengkritik adanya batas minimal peserta sekolah minggu dan perizinan untuk sekolah minggu. Kata dia, sekolah minggu tidak bisa disamakan dengan pesantren.

"Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan," ujar Gomar.

Menurut dia, sekolah minggu bukanlah pendidikan formal, melainkan pelayanan dari gereja untuk para jemaat muda.

"Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada Pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan gereja-gereja di Indonesia dan merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja," ungkap Gomar.

PGI, lanjut dia, pada dasarnya sepakat dengan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sepanjang RUU itu tidak mengatur pengajaran nonformal di gereja. Sebab kata dia, jika hal ini dibiarkan akan dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.

"PGI mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menjadi undang-undang sejauh hanya mengatur kepentingan pendidikan formal dan tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia," tegas Gomar.

Â