Liputan6.com, Jakarta - Pandangan mata Nandang Suratman kosong, entah tertuju ke mana. Senin siang itu, pria paro baya tersebut duduk di salah satu sofa di posko kecelakaan Lion Air di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta Timur. Rambutnya berantakan tak tersisir.
Bagi Nandang, tak ada yang lebih penting dari kepastian kabar putrinya, Vivian Hasna Afifa. Di ujung asa, ia masih berharap adanya mukjizat. Meski pria itu tahu, kemungkinannya nyaris mustahil.
Vivian yang baru berusia 23 tahun, ada di dalam pesawat Lion Air di Perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, Senin 29 Oktober 2018. Nama lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad itu tercatat di manifes nomor dua, pada pesawat berkode penerbangan JT 610 tersebut.
Advertisement
Kabar jatuhnya pesawat yang ditumpangi putri sulungnya itu membuat hati Nandang hancur. Ia juga kecewa karena Lion Air tak menyampaikan secara langsung kabar duka tersebut pada keluarga. Perihal kecelakaan itu diketahuinya dari teman-teman Vivian.
Oleh karena itu, Nandang meminta pemerintah menghentikan dulu operasional maskapai Lion Air. Agar kesedihan yang ia rasakan tak dialami orangtua lain.
"Untuk sementara berhenti dulu, harus ada investigasi ke seluruh pesawat yang Lion Air terbangkan," ujar Nandang kepada Liputan6.com di Ibis Jakarta Sentral Cawang, Jakarta, Senin 5 November 2018.
Sementara itu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menganalisis data-data yang diperoleh dari flight data recorder (FDR). Dibantu investigator asing, salah satunya dari National Transportation Safety Board (NTSB) Amerika Serikat.
Mereka berdiskusi dan memverifikasi data-data kecelakaan pesawat Lion Air yang terkumpul selama enam hari terakhir.
"Data yang diperoleh (dari FDR) adalah 69 jam, mencatat 19 penerbangan, termasuk penerbangan yang mengalami kecelakaan," kata Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT Kapten Nurcahyo Utomo.
Hasilnya?
Misteri penyebab jatuhnya Lion Air rute Jakarta-Pangkalpinang itu mulai terkuak. Meski belum seluruhnya.
Pertama, data FDR menunjukkan, pesawat sudah mengalami kerusakan dalam empat penerbangan terakhirnya, termasuk kecelakaan pada 29 Oktober 2018. Kerusakan diketahui terjadi pada penunjuk kecepatan atau airspeed indicator.
"KNKT sedang mengumpulkan data terkait perbaikan yang dilakukan selama terjadi kerusakan ini," ungkap Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono di kantornya, Senin 5 November 2018.
Ini diperkuat dengan hasil wawancara penyidik dengan pilot-pilot yang menjalankan pesawat tersebut pada tiga penerbangan terakhir. Juga data logbook yang ditulis para teknisi.
"Interview dari penerbang-penerbang yang menerbangkan sebelumnya maupun data-data perbaikan yang telah dilakukan oleh teknisi-teknisi dari maskapai tersebut," ujar Soerjanto.
"Jadi saya ulang lagi bahwa KNKT sedang meneliti bersama Boeing, bersama NTSB, untuk lebih mendetailkan tentang kerusakan pada penunjuk kecepatan atau airspeed indicator pada empat penerbangan terakhir," lanjut dia.
Berdasarkan data yang diunggah situs pemantau penerbangan Flightradar24, sebelum berakhir di perairan Tanjung Pakis, Karawang, pesawat Boeing 737 MAX 8 dengan kode registrasi PK-LQP sebelumnya digunakan dalam penerbangan dari Denpasar-Jakarta (JT 043), Manado-Denpasar (JT 775), dan Lombok-Denpasar (JT 829).
Namun, belum jelas pada penerbangan mana, pesawat yang baru dipakai dua bulan tersebut bermasalah.
Sementara, fakta kedua yang diungkap KNKT terkait dengan kondisi mesin pesawat sesaat sebelum jatuh ke laut.
"Mesin dalam keadaan hidup dengan putaran yang cukup tinggi saat menyentuh air," ujar Soerjanto saat bertemu dengan keluarga korban kecelakaan Lion Air di Hotel Ibis, Jakarta, Senin 5 November 2018.
Petunjuk itu terkuak usai bagian mesin Lion Air berhasil ditemukan Tim SAR. "Temuan bagian mesin menunjukkan, kedua mesin dalam keadaan hidup dengan RPM (revolutions per minute) tinggi. Mesin berputar tinggi saat menyentuh air," kata dia.
Fakta ketiga, diduga kuat pesawat tidak meledak di udara. Ini sekaligus membantah spekulasi-spekulasi tentang penyebab hancurnya kapal terbang Lion Air nahas.
"Pesawat mengalami pecah ketika bersentuhan dengan air, ketika impact terhadap air, dan pesawat tidak pecah di udara," kata Soerjanto.
Hal itu diperjelas dengan temuan serpihan-serpihan pesawat Lion Air di area yang relatif lebih terkonsentrasi. Bila pesawat meledak di udara, maka serpihan akan lebih tersebar.
"Ketika pesawat menyentuh air, kecepatannya cukup tinggi, maka serpihan yang terjadi sedemikian rupa. Menandakan energi yang dilepas saat itu sangat luar biasa," ujar Soerjanto.
Sebelumnya, sejumlah ahli menduga, Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 diperkirakan menukik ke bawah dengan tiba-tiba, sehingga kecepatannya mencapai 1.000 kilometer per jam atau lebih, sebelum akhirnya membanting laut.
Berdasarkan analisis data situs pemantau penerbangan, FlightRadar24, seperti dikutip dari Bloomberg, sesaat sebelum Boeing 737 MAX 8 tersebut menghantam laut (impact), bagian hidung membentuk sudut 45 derajat di bawah cakrawala.
Menurut sejumlah ahli, itu adalah kondisi yang luar biasa curam untuk jatuhnya sebuah pesawat.
Namun, berapa persisnya kecepatan pesawat sebelum terjun ke laut hanya bisa dikonfirmasi dari data yang terdapat dalam perangkat perekam data penerbangan atau flight data recorder (FDR), yang kini masih dianalisis para penyelidik Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Berdasarkan data FlightRadar24, yang diambil dari transmisi radio pesawat, mengindikasikan, Lion Air PK-LQP melesat dengan kecepatan 1.000 km/jam sebelum terhempas ke Laut Jawa. (Baca selengkapnya di tautan ini)
Sementara itu, pengamat penerbangan Chappy Hakim mengatakan, langkah KNKT masih panjang untuk menyimpulkan penyebab kecelakaan pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP. Masih banyak data yang harus dianalisis. Termasuk, masalah pada tiga penerbangan sebelum Senin 29 Oktober 2018 yang menjadi kunci kecelakaan itu.
Fakta-fakta yang diungkapkan Senin ini baru temuan permulaan dari investigasi KNKT.
Pria yang pernah menjadi anggota investigasi kecelakaan Hercules di Condet itu mengatakan, tidak mudah untuk menguak penyebab kecelakaan pesawat. Itu pun, KNKT tidak akan menyebutkan penyebab pastinya.
"Mereka pasti akan menyebutkan the most probable cause-nya," kata Chappy ketika dihubungi Liputan6.com, Senin 5 November 2018.
Tak mudahnya mengungkap misteri penyebab kecelakaan itu, lanjut dia, KNKT harus menemukan cockpit voice recorder (CVR) atau instrumen perekam suara kokpit.
Secara terpisah, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, juga menjelaskan CVR penting ditemukan untuk melengkapi data yang didapat dari FDR.
"Karena CVR sendiri fungsinya membaca kegiatan orang-orang di dalam pesawat. FDR dan CVR keduanya sama-sama penting dalam mengungkap kecelakaan Lion Air ini," ujar Gerry kepada Liputan6.com.
KNKT sendiri menyatakan, masih membutuhkan waktu sekitar dua pekan untuk memverifikasi data black box pesawat Lion Air PK-LQP. Terlebih FDR berisi data 69 jam dari 19 kali penerbangan dengan 1.790 parameter.
"1.790 parameter itu mungkin kita perlu sekitar satu sampai 2 minggu untuk proses verifikasi data-data tersebut, apakah benar atau tidak," ucap Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono.
Saksikan video terkait kecelakaan Lion Air berikut ini:
Bisakah Diperkarakan?
Keluarga korban Lion Air pasrah menghadapi kenyataan orang-orang terkasihnya pergi karena kecelakaan yang terjadi pada Senin 29 Oktober 2018. Mereka hanya bisa berharap, pemerintah memperketat pengawasan tentang penerbangan, sehingga tidak terjadi peristiwa serupa.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kecelakaan udara, yang paling sering adalah masalah mekanik, faktor cuaca, sabotase, kesalahan manusia (human error), atau gabungan.
Senada dengan temuan KNKT, sejumlah analis penerbangan asing juga menemukan gelagat mencurigakan yang ditunjukkan Boeing 737 MAX 8 dengan nomor registrasi PK-LQP yang dioperasikan Lion Air pada Minggu, 28 Oktober 2018 malam.
Pesawat itu terbang molor dari jadwal. Seharusnya take off dari Denpasar pukul 19.30 Wita, baru lepas landas hampir tiga jam kemudian. Tak ayal, pendaratan di Bandara Soekarno-Hatta pun terlambat. Lion Air JT 043 baru tiba pada pukul 22.56 WIB.
Saat itu, pilot Lion Air JT 43 dikabarkan sempat meminta izin untuk return to base (RTB) setelah beberapa menit terbang. Beberapa saat kemudian, penerbang mengabarkan pesawat sudah normal dan tak jadi kembali ke Bandara Ngurah Rai. Namun, belakangan, informasi tersebut dibantah pihak bandara.
Data Flightradar24 menunjukkan, PK-LQP pernah mengalami keterlambatan lebih lama saat digunakan dalam penerbangan JT776, rute Denpasar-Manado pada 27 Oktober 2018. Efek dari keterlambatan sebelumnya.
Hari itupun, Boeing 737 MAX 8 yang sama dipakai 5 kali terbang. Tak hanya rute domestik, tapi juga internasional. Diawali dari Tianjin, China.
Pasca-kecelakaan, Direktur Teknik Lion Air dibebastugaskan. Juga Quality Control Manager, Fleet Maintenance Management Manager, dan Release Engineer PK-LQP.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menjelaskan, langkah ini diambil untuk memperlancar proses investigasi yang dilakukan KNKT.
Jika nantinya, KNKT sudah mengumumkan hasil investigasi, apakah pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab bisa diperkarakan ke meja hijau?
Dalam sejarah penerbangan komersial di Indonesia, baru ada satu pilot yang pernah diperkarakan. Capt. Pilot Marwoto, namanya, memegang kendali pesawat Garuda Indonesia GA 200, rute Jakarta-Yogyakarta, yang celaka saat mendarat.
Sebanyak 44 penumpang tewas. Pilot Marwoto dijatuhi vonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman, meski akhirnya divonis bebas di Pengadilan Tinggi DIY.
Saat dimintai pendapat, pakar hukum pidana Andi Hamzah mengatakan, jika ada indikasi kelalaian, polisi bisa saja mengusut kasus Lion Air secara pidana.
"Ya kalau memang ada manipulasi data, misalnya, itu kelalaian yang menyebabkan sekian ratus orang meninggal," kata Guru Besar Universitas Trisakti itu kepada Liputan6.com.
Polisi dapat mengusutnya tanpa harus ada keluarga yang melapor. "Pelaku bisa disangkakan dengan Pasal 359 KUHP," ujar Andi Hamzah.
Pasal 359 KUHP mengatur, "Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun."
Tapi, bagaimana kalau tidak ada indikasi kelalaian? Masih bisakah polisi mengusut kecelakaan tersebut? "Tidak bisa," tandas Andi Hamzah.
Masih terlalu dini untuk memperkarakan pihak yang diduga bertanggung jawab atas kecelakaan Lion Air yang merenggut 189 nyawa. Yang jelas, pemerintah akan memberikan sanksi pada Lion Air atas jatuhnya pesawat PK-LQP apabila terbukti ada kesalahan dari maskapai itu. Sanksi tersebut akan disesuaikan dengan rekomendasi dari KNKT.
Menhub belum menjelaskan apa sanksi yang akan diberikan kepada Lion Air. Ia hanya menyatakan, Kemenhub pasti akan menerapkan apa pun rekomendasi KNKT.
"Apabila itu suatu rekomendasi maka itulah yang kami akan lakukan," ucap Menhub di Hotel Ibis, Cawang.
Selain itu, Kemenhub sedang melakukan audit spesial terhadap awak Lion Air serta audit SOP.
"Audit SOP apakah SOP sesuai dengan apa yang kita lakukan, organisasi juga. Kita butuh waktu 5 hari sampai 1 minggu ke depan, akan kita sampaikan yang bisa dikonsumsi publik," kata dia.
Advertisement
Keluarga Tolak Tabur Bunga
Keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air akan melakukan tabur bunga pada Selasa (6/11/2018). Kegiatan itu akan dilakukan di Perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, lokasi pesawat tujuan Jakarta-Pangkalpinang itu jatuh.
"Untuk acara tabur bunga secara garis besar akan menggunakan dua KRI, yaitu KRI Banda Aceh dan KRI Banjarmasin yang melibatkan baik dari pihak keluarga, pihak Lion serta dari instansi-instansi terkait yang ada anggotanya menjadi korban Lion," kata Komandan Satuan Kapal Amfibi Koarmada I Kolonel Laut (P) Bambang Trijanto di JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin 5 November 2018.
Tabur bunga diperkirakan akan diikuti sekitar 750 orang.
Namun, rencana tabur bunga di lokasi jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP ternyata tidak disambut baik keluarga korban. Salah seorang keluarga korban menyuarakan penolakan itu.
"Kami menolak tabur bunga. Kami masih berharap (korban ditemukan)," kata seorang bapak yang tak menyebut namanya, saat menerima penjelasan stakeholder kecelakaan Lion Air penerbangan PK-LQP di Aula Hotel Ibis Cawang, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018).
Kepala Basarnas M Syaugi menjelaskan, maksud tabur bunga itu untuk mendoakan para korban. Pihaknya sengaja mengajak keluarga korban agar tahu bagaimana proses pencarian dan evakuasi.
"Artinya kita mendoakan supaya keluarga korban ini juga tahu bagaimana yang kita kerjakan, mana lokasinya, sehingga mereka memahami betul," tutur Syaugi.
Sedangkan, Menhub Budi Karya Sumadi tak ingin menyebut sebagai tabur bunga. Dia mengatakan hanya mengajak keluarga korban ke lokasi jatuhnya pesawat Lion Air.
"Itu hanya opsi," kata Menhub.
(Yayu Agustini Rahayu Achmud/Melissa Octavianti/Hilkia Handika)