Liputan6.com, Jakarta Syachrul Anto gugur dalam tugas. Lelaki berusia 48 tahun tersebut merupakan anggota Indonesia Rescue Diver Team yang menjadi relawan Badan SAR Nasional (Basarnas) dalam pencarian korban pesawat Lion Air yang jatuh di Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, Senin pekan lalu.
Syachrul meninggal dunia usai melakukan penyelaman pada Jumat petang (2/11/2018). Tidak diketahui persis penyebab Syachrul tewas, sebab pihak keluarga tidak memberi izin untuk melakukan autopsi terhadap jenazah Syachrul.
Meski demikian, Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya Muhammad Syaugi, menduga korban gugur setelah mengalami dekompresi. Menurut Syaugi, koban sempat dimasukkan ke dalam hyperbaric chamber dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara.
Advertisement
Namun, semua upaya itu tidak membuahkan hasil. Nyawa penyelam yang juga ikut dalam evakuasi korban pesawat Air Asia QZ8501 rute Surabaya-Singapura yang jatuh di perairan Pangkalan Bun, 28 Desember 2014 itu tidak tertolong.
Dekompresi seperti momok yang mengintai para penyelam. Bukan kali ini saja kata ini muncul di tengah upaya evakuasi pesawat yang jauh ke laut. Saat tragedi Air Asia QZ8501, Komandan Tim Penyelam dari Angkatan Laut, Edy Tirtayasa, juga pernah mengungkapkan ketakutannya terhadap dekompresi. Lalu, apa dekompresi itu?
Dekompresi merupakan satu dari sederet risiko dalam Self Contained Underwater Breathing Apparatus (SCUBA) atau dikenal penyelaman dengan alat bantu pernapasan. Di kalangan para penyelam, dekompresi dikenal sebagai penyakit yang terjadi karena terjebaknya gelembung berisi nitrogen di dalam darah atau jaringan tubuh akibat perubahan tekanan yang drastis di dalam air.
Anggapan Keliru
Gas nitrogen berasal dari udara dalam tabung yang dihirup penyelam selama berada di dalam air. Selama ini orang awam banyak yang beranggapan, bahwa penyelam SCUBA menggunakan tabung yang berisi gas oksigen murni.
Anggapan ini keliru, sebab gas di dalam tabung penyelam, khususnya penyelaman rekreasi, adalah udara biasa yang dimampatkan lewat alat kompresor. Kandungannya terdiri dari 78,084% Nitrogen, 20,946% Oksigen, dan 1% gas-gas lain yang tidak memiliki efek. Agar lebih mudah diingat, biasanya kandungan ini dibulatkan menjadi 79% Nitrogen dan 21% Oksigen.
Di atas permukaan laut, tubuh akan menyerap oksigen lewat pernapasan, sedangkan nitrogen yang yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang.
Namun, kondisi ini akan berbeda ketika melakukan penyelaman berlangsung. Meningkatnya tekanan seiring bertambah dalamnya penyelaman akan menambah banyak kandungan nitrogen yang masuk ke tubuh manusia.
Dalam buku Teori Penyelaman Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) disebutkan, setidaknya ada lima teori fisika yang berpengaruh dalam penyelaman, yakni Archimedes, Boyle, Charles, Dalton, dan Henry.
Dari kelima teori ini, ada dua yang dianggap mendasari proses terjadinya dekompresi, yakni Henry dan Boyle. Hukum Henry mengenai kelarutan gas dan tekanan, sedangkan Boyle terkait perubahan tekanan dan volume.
DAN atau Diversalertnetwork, lewat situs resminya menyebutkan, bahwa jaringan dalam tubuh akan mengikat nitrogen yang dihirup saat penyelaman. Jumlahnya tergantung kedalaman dan tekanan di sekelilingnya. Semakin dalam penyelaman, jumlah nitrogen yang terserap tubuh juga semakin bertambah.
Tubuh sebenarnya akan berusaha melepaskan nitrogen yang berlebih di dalam tubuh lewat proses respirasi. Namun, dalam penyelaman prosesnya tidak semudah seperti di permukaan. Perbedaan tekanan di dalam air membuat proses ini berjalan lebih lambat dan nitrogen bertahan lebih lama di dalam tubuh.
Perbedaan tekanan juga membuat proses pelepasan nitrogen ini perlu dilakukan secara berhati-hati. Sebab, penurunan tekanan yang drastis bakal mengubah gas nitrogen dalam tubuh menjadi gelembung yang memicu penyakit dekompresi.
Prosesnya mirip buih pada minuman bersoda yang diguncang. Gelembung-gelembung yang berisi nitrogen ini yang kemudian terperangkap dalam darah dan jaringan tubuh dan akhirnya bisa menyumbat pembuluh darah. Itu sebabnya, setiap penyelam dilarang naik ke permukaan terlalu cepat.
Saat berada di permukaan, penyelam juga tidak diizinkan untuk langsung bepergian dengan pesawat terbang. Sebab tubuh masih butuh waktu untuk melepas nitrogen yang tersisa. Perbedaan tekanan yang terjadi saat pesawat berada pada ketinggian tertentu juga bakal memicu munculnya dekompresi.
Penyakit dekompresi rentan menimpa para penyelam, baik yang melakukannya untuk tujuan rekreasi maupun pekerjaan bawah laut. Semakin dalam dan lama penyelaman berlangsung, potensi dekompresi yang mengancam juga semakin besar. Penyelaman berulang yang dilakukan dalam 24 jam juga rentan memicu dekompresi bila tidak memiliki perencanaan yang baik.
Advertisement
Gejala Dekompresi
Gejalanya bermacam-macam. Awalnya bisa berupa rasa kaku atau tidak enak di sekitar persendian atau otot-otot sekitarnya. Mirip pegal-pegal biasa yang terkadang terasa hilang saat kita menggerakkan anggota tubuh. Namun setelah berjam-jam rasa sakit ini meningkat dan muncul perasaan seperti ditusuk-tusuk.
Rasa sakitnya sering bertambah setelah 12-24 jam. Jikat tidak diobati akan reda dalam 3-7 hari dan berubah menjadi rasa sakit yang tumpul dan muncul bercak merah disertai bengkak di daerah tersebut. Bahu dan persendian yang paling sering terserang dekompresi. Namun dalam kondisi yang akut, dekompresi bisa menyebabkan kelumpuhan bahkan meninggal dunia.
Tanda-tanda penyakit ini biasanya mulai terasa setelah enam jam penyelaman. Namun dalam beberapa kasus, utamanya kegiatan penyelaman dalam dan lama, tanda-tanda dekompresi bahkan bisa terasa saat penyelam naik ke permukaan.
Penyelam terkadang lalai dalam membaca tanda-tanda ini. Rasa nyeri sendi atau pusing yang dialami usai penyelaman tidak jarang dianggap akibat kelelahan biasa, sehingga tidak ragu untuk tetap melanjutkan penyelaman dan membuat dekompresi bertambah parah.
Penanganan dan Pencegahan
Penyelaman memang memiliki banyak risiko. Namun menurut John Batin, salah seorang penyelam senior lewat bukunya, The Scuba Diving Handbook, menyelam bukan lagi kegiatan berbahaya. Bahkan, statistik menunjukkan menyelam tidak masuk dalam 10 olahraga yang paling mematikan.
Kondisi ini tak lepas dari berkembangnya perangkat keamanan yang digunakan dalam kegiatan menyelam. Prosedur penyelaman juga mengutamakan keselamatan yang membutuhkan latihan dan sertifikasi dalam melakukannya.
Untuk mencegah terjadinya dekompresi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama adalah proses naik ke permukaan yang harus dilakukan secara perlahan, tidak lebih dari 9 meter per menit atau tidak lebih cepat dari gelembung udara terkecil yang keluar dari mouthpiece yang dipakai penyelam. Selanjutnya adalah tidak lupa melakukan safety stop pada ke dalaman 3-5 meter dari permukaan dalam setiap penyelaman. Ini memberikan waktu bagi tubuh untuk melepas sisa nitrogen yang dihirup selama penyelaman.
Pahami juga tabel selam. Dengan pengetahuan ini, penyelam akan mengetahui batas-batas kegiatan penyelaman sehingga terhindar dari dekompresi.
Dewasa ini, perangkat pendukung kegiatan menyelam juga semakin canggih. Kehadiran dive computer banyak membantu penyelam mengikuti prosedur yang benar. Namun, tentu saja penyelam harus mengetahui cara kerjanya.
Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya adalah, kondisi tubuh. Bila memang merasa tidak fit, jangan memaksakan untuk melakukan kegiatan penyelaman.
Sementara itu, pertolongan pertama bagi yang terkena dekompresi adalah dengan memberikan oksigen murni untuk melarutkan nitrogen yang masih terperangkap di dalam tubuh. Bernafas dengan Oksigen murni juga menghindari korban menghirup lebih banyak nitrogen dari udara biasa.
Para penyelam teknik yang bekerja di bawah air biasanya menghirup oksigen murni setelah penyelaman. Penyedia jasa selam atau dive shop dan instruktur bersertifikat juga dianjurkan memiliki perlengkapan oksigen murni. Namun untuk kasus yang lebib besar, penyelam yang mengalami dekompresi harus mendapat perawatan dalam tabung bertekanan atau hyperbaric chamber.
Proses seperti ini juga dikenal dengan menyelam kering karena prinsip kerjanya mirip dengan penyelaman biasa, hanya dilakukan di dalam chamber tanpa air. Beberapa rumah sakit di Indonesia telah memiliki fasilitas ini, termasuk RS Angkatan Laut Mintohardjo, yang terletak di Bendungan, Hilir, Jakpus.
Terakhir, dalam dunia penyelaman, perencaan merupakan kunci bagi keselamatan. "Always Plan your dive and dive your plan (Rencanakan penyelamanmu dan menyelamlah sesuai rencana)," menjadi mantra ampuh dalam menjaga keselamatan para penyelam. Jangan pernah ragu untuk membatalkan kegiatan penyelaman bila sesuatu di luar rencana terjadi.
Advertisement
Diimbau untuk Terapi
Tim DVI (Disaster Victim Identification) Rumah Sakit Bhayangkara Polri menghimbau para penyelam tim evakuasi korban Lion Air JT 610 untuk segera melakukan terapi hiperbarik. Hal ini untuk menghindari terjadinya dekompresi yang dapat berakibat fatal.
Penanggung Jawab Pelaksana Terapi Oksigen Hiperbarik, AKBP Karjana mengatakan, paling tidak penyelam harus menjalani minimal lima sesi terapi.
"Jadi untuk melakukan adaptasi ya, seseorang yang akan menyelam itu harus punya kebiasaan adaptasi yang baik, gitu. Tujuannya itu. Seperti kedalaman laut kan udah diketahui, nah itu seharusnya ada tindakan terapi oksigen hiperbarik sebelumnya supaya penyelam bisa adaptasi kedalaman yang sudah ada," ujar Karjana di RS Polri, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018).
Karjana menegaskan, terapi hiperbarik ini sebenarnya sudah termasuk dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) dari kegiatan penyelam dan terkait kelautan.
Tidak hanya penyelam dari TNI Polri, penyelam relawan yang termasuk ke dalam tim evakuasi juga diharapkan segera melakukan terapi ini.
Sejauh ini, 19 personil penyelam dari TNI Polri sudah menjalani terapi hiperbarik.
“Ini kita baru terima Polri, kita himbau teman-teman yang lain untuk melakukan terapi. Rumah Sakit Polri pun siap menerima,” ia menjelaskan.
Karjana menambahkan, dukungan terkait biaya operasional adalah gratis, sehingga penyelam relawan tidak perlu membayar apapun untuk mengikuti terapi.
Proses Terapi Hiperbarik
Sebelumnya, Karjana menjelaskan, proses terapi hiperbarik ini dilakukan agar dekompresi tidak terjadi akibat menyelam terlalu cepat.
“Jadi nitrogen dalam darah akan berikatan dengan darah, jadi terbentuk gas dan terjadi penyumbayatan pembuluh darah dan lebih parah organ darah, itu yang menyebabkan mati mendadak,” ia menjelaskan.
Selain itu, Karjana juga menekankan bahwa terapi hiperbarik ini tidak memakan waktu lama. Yaitu hanya sekitar kurang lebih dua jam.
“Prinsipnya adalah menghirup oksigen murni ya. Menghirup oksigen murni sejadi 100 persen yang berada di dalam ruangan yang bertekanan udara tinggi,” ia menuturkan.
“Jadi nanti seorang klien akan dimasukkan ke dalam ruang udara oksigen bertekanan tinggi. Setelah itu, nanti oleh petugas chamber akan diarahkan sesuai SOP yang berlaku, jadi pelayanan tersebut akan melakukan tahapan sebelum pasien dibawa ke kedalaman tertentu atau tekanan atmosfer tertentu,” ia mengakhiri.
Advertisement