Liputan6.com, Jakarta Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI), yang mengoperasikan tambang dengan deposit emas terbesar dunia di Papua, memang akan berakhir pada 2021. Namun, tidak serta merta Indonesia akan mendapatkan tambang tersebut secara gratis.
KK yang dibuat pada 1991 tersebut telah menyandera pemerintah saat ini untuk tetap memperpanjang masa KK hingga 2041. Jika tidak, maka Indonesia terancam digugat di pengadilan internasional yang jika nantinya kalah wajib membayar ganti rugi senilai puluhan triliun.
Baca Juga
Pemerintah pun bernegosiasi dengan Freeport McMoRan (FCX), induk PTFI, agar mau melepas kendali mereka di PTFI dan membangun pabrik pengolahan baru dengan imbalan perpanjangan masa operasi tersebut.
Advertisement
FCX akhirnya sepakat pada akhir September 2018 untuk melepas kendali atas PTFI ke Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero). PT Inalum (Persero) akan memiliki 51.23 persen saham PTFI dengan membayar 3.85 miliar dollar AS atau sekitar Rp 55 triliun pada akhir tahun ini.
Dengan membayar Rp 55 triliun, Inalum akan mendapatkan keuntungan yang berlipat. Berdasarkan keterangan dari Inalum dalam dengar pendapat dengan Komisi VII DPR baru-baru ini, perusahaan tersebut akan mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu, dan perak senilai lebih dari Rp 2,175 triliun. Lebih lanjut, laba bersih PTFI setelah 2022 diperkirakan akan mencapai Rp 58 triliun per tahunnya.
Kontrak PTFI tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas, yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Dalam peralihan tersebut, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Hal ini disebabkan aset perusahaan minyak dan gas (migas) dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah.
"Ini beda dengan yang terjadi di sektor migas. Freeport tidak bisa didapatkan secara gratis. Siapa yang menduga perusahaan dengan skala Freeport yang mengelola gunung emas terbesar, nantinya akan menjadi anak perusahaan BUMN,” ujar anggota Komisi 7 DPR RI, Adian Napitupulu, dalam sebuah diskusi baru-baru ini.
Sekalipun Indonesia diasumsikan menang dalam pengadilan internasional, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited 2017, diestimasi sekitar 6 miliar dolar AS.
Selain itu, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan, yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.
(*)