Sukses

Tolak Perda Berbasis Agama, PSI: Kita Ingin Produk Hukum Universal

Menurut Grace, produk hukum mestinya universal, tidak parsial, dan tidak mendasar pada agama apapun.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyatakan, menolak peraturan daerah (Perda) berbasis agama lantaran ingin Indonesia memiliki produk hukum yang menyeluruh untuk setiap personal hingga seluruh pemeluk kepercayan manapun.

"PSI tidak anti agama sama sekali tidak. Justru pertanyannya, kami menolak perda-perda berbasis agama karena kami ingin menempatkan agama di tempat yang tinggi. Karena agama itu jangan lagi dipakai sebagai alat politik," tutur Grace di Jokowi Center, Jalan Ki Mangunsarkoro 69, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/11/2018).

Menurut Grace, produk hukum mestinya universal, tidak parsial, dan tidak mendasar pada agama apapun. Para pendiri bangsa , lanjut dia, melalui Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila merujuk hukum melalui sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Tidak merujuk pada agama apapun dan kami ingin mengembalikan lagi kepada konstitusi agar tidak ada lagi namanya mayoritas minoritas. Semua agama mulia dan semua warga negara sesuai dengan konstitusi bisa menjalankan keyakinannya dimana pun mereka berada sebagai warga negara," jelas dia.

Grace melihat berdasarkan hasil survei bahwa intoleransi di negeri ini semakin memburuk. Enam dari sepuluh orang Indonesia tercatat tidak bersedia memilih orang yang berbeda keyakinan khususnya dalam dunia politik.

"Ini kan beragam banget dan agama yang kita akui mungkin hanya lima. Ditambah lagi adanya kepercayaan. Masyarakat adat misalnya, yang mempunyai keyakinanya masing-masing dan itu tidak di paksakan untuk tunduk di dalam produk hukum berdasarkan agama tertentu. Akan sangat rawan potensial sekali timbul konflik," beber Grace.

Lebih lanjut, Perda berdasarkan agama akan akan sangat potensial menimbulkan konflik antar agama, bahkan di antara mereka yang memiliki keyakinan sama.

"Karena pemahaman setiap orang meskipun agamanya sama, tapi kan pemahamannya bisa berbeda. Nah konflik-konflik seperti ini yang ingin kita hindari, karena saat potensial jika ada Perda yang hanya berbasis sebuah agama," katanya.

Grace mencontohkan tentang aturan minuman keras dan prostitusi di Indonesia. Pada dasarnya, hukum yang universal dan dibuat tanpa berlandaskan agama pun dapat mengatur permasalahan itu.

"Bahkan kalau kita bicara ilmu kesehatan, yang namanya miras itu berbahaya untuk kesehatan. Dan kita setuju itu harus ada pengaturannya. Ada pembatasan umur misalnya yang bisa mempunyai akses terhadap minuman yang memiliki kandungan alkohol. Tapi itu kan bisa diatur dalam hukum, produk hukum, tidak harus kemudian jadi produk agama," ujar Grace.

"Prostitusi itu adalah perdagangan manusia dan kita menentang itu, itu bisa diatur dalam produk hukum. Tidak perlu bertolak pada agama tertentu," lanjutnya.

 

2 dari 2 halaman

Tidak Khawatir Elektabilitas Anjlok

 

Terkait dengan sikapnya tersebut, Grace mengatakan tidak khawatir dengan sikap penolakan terhadap peraturan daerah (Perda) berlandaskan agama. Sebab yang diperjuangkan partai tersebut dari awal adalah anti-korupsi dan anti-intoleransi.

"Enggak. Karena ini dari awal sudah menjadi DNA kami. Dan kita lihat problem intoleransi itu sudah makin parah," tutur Grace.

Berdasarkan data berbagai lembaga survei, enam dari sepuluh orang di Indonesia tidak mau memilih sosok yang berbeda agama dan keyakinan, khususnya dalam lingkup politik. Bersama dengan temuan lainnya, hasil menunjukkan terjadi peningkatan intoleransi di Indonesia.

"Jadi, kita tidur-tiduran pun trennya meningkat loh. Nanti kalah, kita mau bergerak sekarang, sudah angkanya begitu, nanti angkanya parah lagi, jadi dari awal agenda perjuangan kami itu," jelas dia.

Grace yakin, masyarakat akan tetap memilih PSI dengan melihat konsistensi arah dan tujuan partai tersebut dalam memberantas korupsi dan intoleransi di Indonesia.

"Sekalipun itu tidak populis. Problem partai hari ini, mereka mengentertain politik identitas demi elektabilitas dan demi popularitas yang tadi. Sehingga akhirnya angkanya sekarang serem gak sih kita. Karena mengentartain politik identitas demi elektabilitas, akhirnya angkanya sudah sebesar itu sekarang. Dan itu akan sangat potensial memicu konflik di antara warga," beber Grace.

Untuk itulah Indonesia mesti memiliki produk hukum yang universal dan menjangkau berbagai kalangan apapun keyakinannya. Begitu ada ketimpangan dengan hanya berbasis pada satu agama, maka dipastikan muncul konflik dari orang yang tidak terakomodir di luar agama tersebut.

"Makanya kita balik ke kontitusi aja deh, UUD 45. mengapa para founding father kita menempatkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa? Kenapa bukan disebut suatu agama? Karena dia tahu, kita butuh payung yang bisa menjadi yang mewadahi semua perbedaan dan keberagaman di Indonedia," Grace menandaskan.

Â