Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum pada KPK menolak pengajuan justice collaborator (JC) Johannes Budisutrisno Kotjo terkait pemberian suap kepada mantan anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham atas proyek PLTU Riau-1.
Penolakan itu diucapkan dalam surat tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Ditolaknya permohonan JC dikarenakan dalam perkara tersebut Johannes Kotjo merupakan pelaku utama.
Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011, pemohon JC merupakan saksi sekaligus pelaku dari satu tindak pidana namun bukan pelaku utama, selain itu pemohon JC dituntut memberikan keterangan seluas-luasnya guna membuka keterlibatan pelaku lain. Dari kriteria tersebut, jaksa menilai Kotjo tidak memenuhi keduanya.
Advertisement
"Bahwa terdakwa merupakan pelaku utama dalam perkara ini yaitu merupakan subyek yang telah memberikan uang secara bertahap yang seluruhnya Rp 4,750 miliar kepada Eni Maulani Saragih. Keterangan terdakwa tersebut tidak membuka atau membongkar perkara atau peranan pihak lain yang lebih besar," ucap Jaksa Ronald Worontikan, Senin (26/11/2018).
Johannes Budisutrisno Kotjo dituntut 4 tahun penjara setelah dianggap terbukti memberi suap Rp 4,750 miliar kepada mantan anggota Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 4 tahun denda Rp 250 juta, subsider 6 kurungan,” ucap jaksa.
Pemilik perusahaan Blackgold Natural Resources (BNR) itu dinyatakan terbukti memberi suap kepada Eni dan Idrus sebanyak empat tahap yakni 18 Desember 2017 sebesar Rp 2 miliar, 14 Maret 2018 sebesar Rp 2 miliar, 8 Juni 2018 sebesar Rp 250 juta, 13 Juni 2018 sebesar Rp 500 juta.
Uang-uang tersebut diberikan Johannes Kotjo agar Eni mau mengusahakan perusahaannya terlibat menggarap proyek senilai USD 900 juta tersebut. Selain itu, dari pertimbangan jaksa penuntut umum, menyebutkan bahwa uang yang diminta Eni sebagian diperuntukan Munaslub Golkar dan Pilkada sang suami di Kabupaten Temanggung.
"Rp 2 miliar ditujukan Eni untuk munaslub Golkar, Rp 2 miliar untuk pemenangan Pilkada suami Eni Maulani Saragih," ujarnya.
Bagi-Bagi Fee
Perkara ini bermula saat Kotjo mengetahui adanya proyek itu sekitar tahun 2015. Melalui PT Samantaka, anak perusahaan BNR, ia mengirimkan surat ke PT PLN Persero atas keinginannya ikut serta mengerjakan proyek tersebut. Namun surat itu tak kunjung mendapat respons.
Kotjo mengambil jalan pintas dengan menemui Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dan menceritakan permasalahannya. Novanto kemudian mengutus Eni Maulani Saragih yang menjabat di Komisi VII DPR mendampingi Kotjo memfasilitasi pertemuan dengan Sofyan Basir, Direktur PT PLN Persero.
Setelah beberapa pertemuan antara Kotjo, Sofyan Basir, Eni disepakati perusahaan Kotjo ikut serta menggarap proyek PLTU Riau 1 bersamaan dengan anak perusahaan PLN Persero Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI).
Kotjo kemudian menggaet perusahaan asal China, CHEC Ltd (Huading) sebagai investornya. Dalam kesepakatan Kotjo dan Chec menyatakan Kotjo akan mendapat komitmen fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek atau sekitar USD 25 juta. Adapun nilai proyek itu sendiri sebesar USD 900 juta.
Dari komitmen fee yang ia terima, rencananya akan diteruskan lagi kepada sejumlah pihak di antaranya kepada Setya Novanto USD 6 juta, Andreas Rinaldi USD 6 juta, Rickard Phillip Cecile, selaku CEO PT BNR, USD 3.125.000, Rudy Herlambang, Direktur Utama PT Samantaka Batubara USD 1 juta, Intekhab Khan selaku Chairman BNR USD 1 juta, James Rijanto, Direktur PT Samantaka Batubara, USD 1 juta.
Sementara Eni Saragih masuk ke dalam pihak-pihak lain yang akan mendapat komitmen fee dari Kotjo. Pihak-pihak lain disebutkan mendapat 3,5 persen atau sekitar USD 875 ribu.
Atas perbuatannya, Kotjo dituntut telah melanggar Pasal 5 ayat 1 atau undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement