Sukses

Cerita dari Pesisir Sangir (2)

Setahun sekali, etnis Sangir di Kepulauan Sangihe, Sulut, menggelar prosesi Tulude sebagai wujud syukur dan wadah silaturahim antarwarga.

Liputan6.com, Kepulauan Sangihe: Tamako. Desa tepi pantai, tiga jam ke arah selatan Tahuna, ibu kota Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Di kampung inilah, pesta adat tahunan etnis Sangir, Tulude, bakal digelar.

Sebagian besar warga, baik nelayan maupun yang bekerja di perkebunan, larut dalam persiapan. Bagi masyarakat Sangir, prosesi Tulude bukan semata warisan nenek moyang, melainkan jalan mempererat tali kebersamaan.

Beragam tradisi hadir di perayaan Tulude, termasuk musik bambu khas masyarakat Sulut. Tanpa musik bambu, Tulude terasa hambar. Keunikan instrumen ini dapat terlihat dari bahan bakunya.

Trompet, klarinet, trombon atau perkusi, terbuat dari potongan bambu yang disambung dan didempul. Musik bambu adalah identitas kreatif etnis Sangir, yang akan mereka pertahankan sampai kapan pun.

Dari segala persiapan Tulude, ada satu hal yang paling penting dan sakral, yakni pembuatan kue tamo. Kudapan khas ini hanya bisa ditemui di kalangan masyarakat Sangir. Kue tersebut sarat filosofi, yakni tentang awal kehidupan di Kepulauan Sangihe.

Kue tamo disajikan hanya pada acara yang melibatkan banyak orang. Bukan tanpa alasan, karena tradisi mewajibkan kue ini dihabiskan dalam satu kali pesta. Tamo adalah simbol kebersamaan masyarakat di Kepulauan Sangihe.

Sejarah orang Sangir adalah sejarah tentang mereka yang percaya lautan adalah rumah para leluhur. Sebagian besar etnis Sangir meyakini, nenek moyang mereka berasal dari tempat lain, yang datang dari lautan, dan menetap di kawasan Kepulauan Sangihe dan Talaud.

Dari legenda lisan turun temurun, warga Sangir percaya leluhur mereka adalah Gumansalangi, yang bergelar Kasili Medellu atau Pangeran Guntur. Sesungguhnya, penduduk Sangihe termasuk kelompok ras Melayu Polynesia dan sebagian termasuk Austronesia. Mereka berasal dari utara Mindanao dan selebihnya Ternate.

Tulude sempat ditafsir sebagai agama orang Sangir. Ritual ini masih sempat dilakukan sampai 1970-an. Konsep kekuatan lain di luar diri manusia ini masih terbawa hingga kini.

Prosesi syukur itu digelar sebagai jalan menolak bala, agar alam bersikap ramah pada penduduk untuk setahun ke depan. Di sini, seluruh lapisan masyarakat hadir tanpa harus diundang. Sekat dan batas antara pejabat dan rakyat tak lagi terlihat. Semua duduk dalam satu aura kebersamaan.

Dan, hari yang dinanti pun tiba, 31 Januari 2012. Inilah momen istimewa bagi etnis Sangir. Tepat hari itu, Kabupaten Sangihe genap berusia 587 tahun. Selama itu pula, dari generasi ke generasi, alam Sangihe memberi banyak berkah. Malam itu, warga akan mengucap syukur.

Lewat prosesi Tulude, mereka ingin menjadikan hidup lebih baik. Arti kata tulude atau menulude sendiri berasal dari kata suhude. Ini adalah bahasa Sangihe yang berarti "tolak". Sedangkan makna yang lebih mendalamnya lagi adalah melepaskan segala aura negatif yang melekat pada diri setiap warga.

Ketika segala hal buruk telah dilepaskan, mensyukuri segala berkat selama setahun terakhir menjadi jalan keluar, agar sang kuasa tetap memberikan limpahan rezeki, kesehatan dan perlindungan di tahun mendatang. Puncak prosesi Tulude adalah pemotongan kue adat tamo oleh tetua adat.

Pemotongan kue didahului dengan kela' atau doa dengan mata terbuka. Setelah dipotong, kue tamo disantap bersama. Inilah wujud kebersamaan prosesi Tulude, sebuah prosesi yang tak cuma menjadi cermin silaturahim, melainkan juga wadah keyakinan etnis Sangir bahwa hanya dengan bergerak bersama segala kesulitan dapat teratasi.(WIL/SHA)