Liputan6.com, Jakarta - Pemidanaan kasus body shaming atau ejekan fisik seseorang melalui media sosial tengah menjadi perhatian publik. Polri telah mengantisipasi kemungkinan banyaknya laporan kepolisian terkait penghinaan bentuk fisik seseorang.
Salah satunya adalah dengan mengedukasi masyarakat agar lebih bijak menggunakan media sosial. Apalagi jejak digital tidak bisa dihapus.
Konten yang diunggah dapat dijadikan sebagai bukti bagi orang yang merasa dirugikan untuk dibawa ke jalur hukum.
Advertisement
"Makanya sering kita sampaikan, saring dulu sebelum sharing," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (28/11/2018).
Adapun langkah progresif dalam penegakan hukum terkait kasus body shaming, Polri akan mengedepankan upaya restorative justice dengan mempertemukan kedua pihak yang berperkara. Diharapkan kasus tersebut selesai secara damai melalui upaya mediasi tanpa harus berakhir di bui.
"Kalau mediasi secara maksimal nggak bisa, baru penegakan hukum. Karena penegakan hukum azasnya ultimum remedium, merupakan upaya terakhir yang dilakukan aparat penegak hukum ketika secara maksimal sudah dilakukan," tutur Dedi.
Dedi menegaskan, kasus body shaming merupakan delik aduan. Kepolisian hanya bisa menangani perkara tersebut berdasarkan laporan dari orang yang merasa dirugikan. Penanganan kasus yang melibatkan anak di bawah umur juga berbeda.
Â
Belum Ada Kasus Spesifik
Sejauh ini, Polri memang belum pernah menangani perkara body shaming secara spesifik. Namun terkait kasus penghinaan dan pencemaran nama baik, setidaknya tercatat hampir 1.000 perkara yang diterima kepolisian selama setahun terakhir.
"Dalam kategori penghinaan dan pencemaran nama baik di tahun 2018 ini ada 966 kasus seluruh Indonesia. Dan sudah diselesaikan 374 kasus," ucap Dedi.
Saksikan video pilihan di bawah ini
Advertisement