Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo menyatakan siap menghadapi vonis dari majelis hakim Pengadilan Tipikor terkait kasus pemberian suap kepada mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham dalam kasus PLTU Riau-1. Dia menegaskan tidak akan mengajukan upaya hukum banding.
Hal itu disampaikan Johannes Kotjo dalam nota pembelaannya yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (3/12/2018). Bos dari Blackgold Natural Resources (BNR) itu mengaku telah memberikan sejumlah uang dengan total Rp 4,750 miliar kepada Eni.
Namun ia menampik uang tersebut sebagai pelicin agar mendapat pengerjaan proyek PLTU Riau-1. Menurutnya, segala pemberian uang merupakan hal lumrah dengan dasar pertemanan.
Advertisement
Johannes Kotjo mengatakan, memberikan sejumlah bantuan kepada Eni sebagaimana yang dimintanya. Dia mengaku tidak menduga pemberian itu dikategorikan dalam kasus hukum.
"Tapi kalau memang saya dianggap bersalah saya menerima dan menyesalinya. Saya berusaha menyampaikan keterangan sebenar-benarnya dan apa adanya. Apapun keputusan yang kelak dijatuhkan majelis hakim saya akan menerimanya dan tidak mengajukan banding," ucap Kotjo.
Ia mengaku meski malang melintang dalam dunia usaha, tidak tahu tentang dunia hukum. Bila tahu itu termasuk korupsi, ia menegaskan uang tidak akan pernah mengalir ke mantan anggota Komisi VII DPR tersebut.
Kotjo tak menampik ada peran Eni atas terbukanya komunikasi dengan Direktur Utama PT PLN Persero Sofyan Basir. Namun ia berdalih keterlibatan Eni di situ wajar mengingat politikus Golkar itu berada di komisi yang membawahi energi, termasuk kelistrikan.
"Eni tidak pernah menanyakan mengenai komitmen. Lalu kenapa butuh dibuka jalur? Karena saya tidak kenal orang-orang (di PLN) kalau jalur normal pasti panjang dan berbelit saya sebagai wirausaha butuh kepastian dan efisiensi waktu," tukasnya.
"Ketika KPK menerangkan bahwa bantuan saya untuk Eni terkait erat dengan PLTU mulut tambang Riau-1 saya tidak faham karena bantuan tersebut dikaitkan dengan PLTU, benar memang Eni membuka jalan untuk komunikasi (dengan Sofyan Basir)," ujar Johannes Kotjo.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tuntutan
Sebelumnya, Kotjo dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta, atau subsider 6 bulan kurungan. Uang-uang tersebut diberikan Kotjo agar Eni mau mengusahakan perusahaannya terlibat menggarap proyek senilai USD 900 juta tersebut.
Selain itu, dari pertimbangan jaksa penuntut umum, menyebutkan bahwa uang yang diminta Eni sebagian diperuntukan munaslub Golkar dan Pilkada sang suami di Kabupaten Temanggung.
Rp 2 miliar ditujukan Eni untuk munaslub Golkar, Rp 2 miliar untuk pemenangan Pilkada suami Eni Maulani Saragih.
Kotjo mengetahui adanya proyek itu sekitar tahun 2015. Melalui PT Samantaka, anak perusahaan BNR, ia mengirimkan surat ke PT PLN Persero atas keinginannya ikut serta mengerjakan proyek tersebut. Namun surat itu tak kunjung mendapat respon.
Ia kemudian mengambil jalan pintas dengan menemui Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dan menceritakan permasalahannya. Novanto kemudian mengutus Eni Maulani Saragih yang menjabat di Komisi VII DPR mendampingi Kotjo memfasilitasi pertemuan dengan Sofyan Basir, Direktur PT PLN Persero.
Setelah beberapa pertemuan antara Kotjo, Sofyan Basir, Eni disepakati perusahaan Kotjo ikut serta menggarap proyek PLTU Riau 1 bersamaan dengan anak perusahaan PLN Persero Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI).
Kotjo kemudian menggaet perusahaan asal China, CHEC Ltd (Huading) sebagai investornya. Dalam kesepakatan Kotjo dan Chec menyatakan Kotjo akan mendapat komitmen fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek atau sekitar USD 25 juta. Adapun nilai proyek itu sendiri sebesar USD 900 juta.
Dari komitmen fee yang ia terima, rencananya akan diteruskan lagi kepada sejumlah pihak di antaranya kepada Setya Novanto USD 6 juta, Andreas Rinaldi USD 6 juta, Rickard Phillip Cecile, selaku CEO PT BNR, USD 3.125.000, Rudy Herlambang, Direktur Utama PT Samantaka Batubara USD 1 juta, Intekhab Khan selaku Chairman BNR, USD 1 juta untuk James Rijanto, Direktur PT Samantaka Batubara, USD 1 juta.
Sementara Eni Saragih masuk ke dalam pihak-pihak lain yang akan mendapat komitmen fee dari Kotjo. Pihak-pihak lain disebutkan mendapat 3,5 persen atau sekitar USD 875 ribu.
Atas perbuatannya, Kotjo dituntut telah melanggar Pasal 5 ayat 1 atau undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com
Advertisement