Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyoroti adanya fenomena baru dalam dunia jurnalistik, yakni pelaporan narasumber atas informasinya yang dimuat oleh media. Isu tersebut dianggap krusial terhadap kebebasan berekspresi khususnya pers.
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menyampaikan, memang ada pendapat yang menyebut bahwa pernyataan narasumber saja yang dipermasalahkan, bukan beritanya. Dasar tersebut dijadikan landasan untuk memasukkan ke ranah pidana.
"Tapi kemudian ketika lebih jauh terkait pers itu sendiri, pertanyaan sangat penting bagi saya, bagaimana berita tanpa narasumber? Ini pertanyaan kunci, ketika narasumber dipisahkan dari produk jurnalistik. Apakah jadi bisa dikatakan produk jurnalistik?," tutur Ade di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (4/12/2018).
Advertisement
Menurut Ade, produk jurnalistik mencakup tiga hal penting. Adanya si pewarta atau jurnalis, narasumber, dan isu berita itu sendiri. Jika salah satunya hilang, produk jurnalistik itu dapat dibilang cacat dan dipertanyakan kebenarannya.
"Artinya tidak bisa dipisahkan. Jadi keduanya (jurnalis dan narasumber) memang dalam ruang lingkup jurnalistik yang perlu dihormati sesuai Undang-Undang Pers," jelas dia.
Untuk itu, permasalahan informasi yang diberikan oleh narasumber kepada media yang memuat menjadi produk jurnalistik mempunyai prosedur penyelesaian masalah melalui Undang-Undang Pers. Bukan malah dibawa kepada laporan kepolisian.
"Jika ada pihak yg keberatan maka harus mengajukan Hak Jawab. Atau kalau keliru ya Hak Koreksi. Kalau itu tidak dilakukan, bisa mengadukan ke Dewan Pers terkait penilaian berita itu sendiri. Dinilai Dewan Pers apakah melanggar kode etik atau tidak," kata Ade.
"Akan fair jika tulisan dibalas tulisan. Bukan dibalas dengan kriminalisasi atau penjara. Justru akan menjadi masyarakat yang tidak sehat. Menurut saya menjadi tidak demokratis dalam berbangsa," lanjutnya.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani menambahkan, perlindungan narasumber menjadi perlu dalam proses pembuatan produk jurnalistik.
Dia mencontohkan kasus pelaporan Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi oleh 64 hakim Mahkamah Agung (MA) terkait turnamen tenis yang digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) MA dengan dugaan pencemaran nama baik. Informasi tersebut dimuat di Harian Kompas pada 12 September 2018.
"Kepada media saya rasa penting menjaga. Kompas jangan diam lah. Ketika narasumber ada dikutip mereka, maka redaksi Kompas juga harus bersuara membela narasumber itu sendiri. Kalau ini sampai goal, maka akan menjadi ancaman kebebasan pers kita, bahkan kebebasan berekspresi. Orang akan takut bicara," beber Asnil.
Â
Kemunduran
Asnil berpendapat bahwa kebebasan pers di Indonesia malah semakin mengalami kemunduran. Dulu, hanya pemerintah saja yang menjadi hambatan kegiatan jurnalistik.
"Sekarang publik juga bisa jadi musuh kita. Jika tidak sesuai dengan idealisme mereka, maka akan dibilang hoaks, dibully habis-habisan. Hak privasinya bahkan sampai dibongkar," ungkapnya.
Lebih lanjut, Direktur Remotivi Roy Thaniago menyatakan, mempidana narasumber artinya membunuh pers itu sendiri. Ketika narasumber sebagai bagian dari bahan baku produk jurnalistik tidak ada, maka kegiatan pers tidak akan bisa berjalan.
"Saya ingin bilang bahwa kriminalisasi narasumber adalah serangan terhadap pers dan demokrasi," ujar Roy.
Adanya kriminalisasi narasumber menjadi bentuk dari aspirasi kelompok tertentu yang tidak suka dengan kritisisasi dalam hal apapun. Keberadaanya merefleksikan cara pandang tertentu yang disebut Roy dengan istilah budaya anti-intelektual.
Intelektualitas ini percaya dengan pandangan dan konflik, sehingga peradaban berkembang. Anti intelektual hari ini sebagai perbuatan yang tidak menyukai dialog dan kritik, sehingga mengambil jalan pintas (laporan pidana)," Roy menandaskan.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement