Liputan6.com, Jakarta - Jakarta disebut salah satu kota dengan Indeks Kota Toleran (IKT) rendah oleh Setara Institute. Ibu Kota berada di peringkat 92 dari 94 kota dalam IKT.
Jakarta memperoleh nilai 2,88 pada riset yang dilakukan oleh Setara Institute tahun ini. Pada 2017, Jakarta berada pada posisi paling ujung, yaitu 94 dengan nilai 2,30.
"Tidak terlalu banyak kemajuan yang kita lihat dari Jakarta. Peristiwa intoleransi terlalu banyak," kata Direktur Riset Setara Institute Halili di Jakarta, Jumat 7 Desember 2018.
Advertisement
Ada empat variabel yang digunakan sebagai alat ukur indikator toleransi di sebuah kota. Keempatnya yakni, regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial dan demografi agama.
Terkait hal ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswesdan pun angkat bicara.
Menurut Anies, bukan hanya hasil survei yang harus dijadikan patokan, tapi sebuah pertanyaan yang disebar kepada publik harus pula diuji. Karena bisa saja daftar pertanyaan sengaja disusun untuk mengarah pada jawaban tertentu.
"Misalnya gini, Anda seorang muslim, saya tanya apakah Anda salat 5 waktu? Cenderung menjawab iya, betul kan? Jadi pertanyaannya pun juga harus diuji," ujar Anies.
Mantan Mendikbud ini bahkan ingin mengundang para ahli statistik dan ahli pengukuran ilmu sosial untuk menghitung apakah hasil survei Setara soal kota toleran valid atau tidak.
Berikut sejumlah alasan Jakarta disebut sebagai kota intoleran menurut survei Setara Institute:
1. Jakarta Pusat Pemerintahan
Jakarta disebut salah satu kota dengan Indeks Kota Toleran (IKT) rendah. Dari 94 kota yang dinilai, DKI Jakarta berada di urutan 92, di atas Tanjung Balai dan Banda Aceh.
“Tanjung Balai mendapat skor 2,81, Banda Aceh 2,83, Jakarta 2,88,” kata Ketua Setara Intitute Hendardi di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Jumat, 7 Desember 2018.
Lalu kenapa Jakarta tidak mudah menjadi kota toleran, alasan pertama karena Jakarta adalah pusat pemerintahan.
Advertisement
2. Pengaruh Pilpres dan Pilkada
Sebagai Ibu Kota, berbagai dinamika politik terjadi di sini, terutama menjelang Pilpres 2019.
Sama seperti Pilkada 2017 lalu. Tampilan politik melibatkan agama dan suku dari masing-masing kelompok yang bersaing.
"Pilkada 2017 itu sangat berpengaruh di indeks tolerensi di Jakarta dan belum lagi berbagai reuni-reuni, itu miliki pengaruh terhadap indeks toleransi," ucap Hendardi.
"Apalagi ada tampilan kekerasan dalam konteks politik identitas dalam agama atau suku dan sebagainya" tambahnya.
Hal senada juga diungkap oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Dia menganggap rendahnya indeks toleransi di Jakarta dipicu kisruh Pilkada DKI 2017 lalu.
“Sedih sekali, mari kita sudah dewasa jangan sampai urusan memilih kepala daerah memilih kepala RT RW jangan sampai pendekatannya yang justru memecah belah,” ucapnya.
Karenanya Tjahjo meminta supaya urusan pemilihan kepala daerah dilakukan dengan pendekatan yang mempererat persatuan.
3. Peran Pemerintah Kurang
DKI Jakarta memiliki masyarakat yang sangat heterogen. Di dalamnya berdiam berbagai suku, agama, ras atau etnis, bahasa, dan budaya.
Sebagai Ibu kota Negara, DKI seharusnya dapat menjadi etalase toleransi kehidupan antarmasyarakat. Namun, di lapangan masih banyak ditemui aksi-aksi intoleransi akibat kurangnya tindakan dari pemerintah untuk meredam.
Sebagai contoh konkrit yang banyak ditemui saat ini tentang ujaran kebencian dan persekusi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement