Liputan6.com, Jakarta - Upaya mengharumkan nama mantan Presiden Soeharto di musim kampanye Pemilu 2019 ditentang masyarakat Aceh. Sebab rezim Soeharto dinilai telah melakukan kejahatan HAM selama penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998.
Tokoh muda Aceh yang juga mantan Aktivis Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), Thamren Ananda, bahkan menyebut apa yang dilakukan Soeharto di Bumi Serambi Mekkah sebagai upaya genosida.
"Pelanggaran HAM di Aceh semasa rezim Soeharto lebih kejam dibanding kejahatan Abu Lahab dan Abu Jahal di zaman jahiliyah, karena mereka juga membantai wanita dan anak-anak yang tak bersalah," tegas Thamren dalam keterangannya, Selasa (11/12/2018).
Advertisement
Pernyataan Thamren ini bukan tanpa dasar. Pada September 2018 lalu, Komnas HAM menyerahkan berkas dugaan pelanggaran HAM berat selama DOM di Aceh, yakni Rumoh Geudong dan pos sattis lainnya, ke Kejaksaan Agung.
Dalam 6 bulan penyelidikan yang menghadirkan 65 orang saksi, Komnas HAM menemukan adanya perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang secara paksa dan perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, dalam peristiwa tersebut.
Thamren mengatakan, luka akibat kejahatan HAM tersebut masih sangat dirasakan rakyat Aceh hingga sekarang. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer, misalnya ada wanita yang diperkosa secara bergiliran kemudian dicambuk dengan kabel, ada pula yang diperkosa di depan anaknya.
"Tidak ada kata yang tepat untuk melukiskan penderitaan rakyat di Aceh kecuali kata: biadab," tegasnya.
Â
Sama dengan Pol Pot
Menurut Thamren, rezim Soeharto ini kualitasnya hampir sama dengan yang dilakukan Pol Pot di 'the killing field' Kamboja. "Kalau di Kamboja dikenal dengan istilah 'the killing field', maka di Aceh realitas ladang pembantaian itu adalah 'Bukit Tengkorak' yang jumlahnya sekitar 35 tempat, suatu jumlah yang melebihi jumlah ladang pembantaian di Kamboja," ujarnya.
Oleh karena itu, Thamren mengatakan, pelanggaran HAM di Aceh harus diusut tuntas terutama para pelaku dan aktor intelektualnya. Dengan pengusutan secara transparan dan tuntas pelanggaran hukum dan HAM di daerah Aceh, hal ini tidak akan menimbulkan spekulasi yang dapat merugikan pihak ABRI dan atau tidak akan ada upaya balas dendam dari generasi yang akan datang.
"Supaya dunia internasional pun akan lebih percaya terhadap negara kita ini, sebagai negara yang selalu memperhatikan penegakan hukum dan HAM," ujar aktivis mahasiswa 1998 dari Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) ini.
Â
Reporter: Henny Rachma Sari
Sumber: Merdeka.com
Â
Saksikan video menarik berikut ini:
Advertisement