Sukses

6 Fakta Musibah Tsunami di Selat Sunda

Tsunami menerjang beberapa daerah di sekitar Selat Sunda pada Sabtu 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.00 WIB.

Liputan6.com, Jakarta - Tsunami menerjang beberapa daerah di sekitar Selat Sunda pada Sabtu 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.00 WIB. Puluhan orang meninggal dunia akibat bencana ini.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan peristiwa tsunami tersebut tidak dipicu gempa bumi.

 

Berikut fakta tsunami Selat Sunda yang dihimpun Liputan6.com:

2 dari 7 halaman

1. Erupsi Gunung Krakatau Diduga Akibatkan Tsunami

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita menduga tsunami yang terjadi di Selat Sunda akibat dari meletusnya Gunung Krakatau.

"Ada indikasi yang terjadi memang pada hari yang sama, gelombang tinggi erupsi Gunung Krakatau itu mengakibatkan tsunami," ujar Dwikorita dalam jumpa pers, Jakarta, Minggu (22/12/2018).

Dia menyatakan, gelombang yang terjadi tersebut tidak seperti yang biasa dipantau BMKG. Tsunami biasanya terjadi dipicu oleh gempa besar.

"Bukan karena seperti dipantau BMKG, biasanya gempa kan (karena gempa), dicek tidak ada seismistis, gejala tektonik memicu tsunami," ujar dia.

3 dari 7 halaman

2. Sebelum Tsunami, Gunung Anak Krakatau Beberapa Kali Erupsi

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan Badan Geologi mendeteksi pada Sabtu 22 Desember 2018, pukul 21.03 WIB Gunung Anak Krakatau erupsi kembali. Kondisi ini menyebabkan peralatan seismograf setempat rusak.

"Namun seismik Stasiun Sertung merekam adanya getaran tremor terus menerus (tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigaikan). Kemungkinan material sedimen di sekitar Anak Gunung Krakatau di bawah laut longsor sehingga memicu tsunami," ujar Sutopo, Minggu (23/12/2018).

Sebelumnya, kata dia, pada pukul 17.22 WIB kemarin, Gunung Anak Krakatau juga erupsi. Tim Patroli Kepulauan Krakatau BKSDA Bengkulu Lampung memantau tinggi kolom abu vulkanik mencapai sekitar 1.838 m di atas permukaan laut.

4 dari 7 halaman

3. Tiga Kecamatan Terdampak Paling Parah di Pandeglang

Bupati Pandeglang Irna Narulita mengungkapkan terdapat 10 kecamatan yang terdampak tsunami di Pandeglang, Banten. Tiga diantaranya terdampak parah. "Dari 10 kecamatan pesisir, yang terparah Carita, Labuan dan Kecamatan Sumur," ungkap Irna.

Tim dari Badan Penanggulangan Bencana sudah mulai diturunkan. Namun, menurut Irna, mereka masih kesulitan mengakses lokasi.

"Kami akan masuk lagi di jam 9 ke bawah untuk menangani evakuasi korban," ujar Irna.

Pemerintah Kabupaten Pandeglang akan segera melakukan tanggap darurat tsunami Selat Sunda. Menurut Irna, hingga kini masih terdapat keterbatasan logisitik bagi korban.

5 dari 7 halaman

4. Dua Kecamatan di Lampung Selatan Terdampak Paling Parah

Kepala BPBD Lampung Selatan, I Ketut Sukerta. menyatakan terdapat empat kecamatan di pesisir Lampung Selatan yang terdampak musibah gempa dan tsunami di Selat Sunda. Dia menyebut terdapat dua kecamatan yang terdampak parah.

"Ada empat kecamatan, dua yang terparah, Kalianda dan Rajabasa," kata Ketut saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Minggu (23/12/2018).

Ketut menyatakan pihaknya terus melakukan upaya pencarian korban tsunami. Saat ini, kata dia, evakuasi terkendala adanya reruntuhan bangunan.

"Terputus enggak, cuma banyak kayu, bantuan yang menghalangi. Jadi akses agak terhambat," jelasnya.

6 dari 7 halaman

5. Korban Tewas Tsunami Selat Sunda Jadi 62 Orang

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho memberikan informasi perkembangan jumlah korban tsunami Selat Sunda. Ada penambahan jumlah korban jiwa dalam peristiwa yang terjadi Sabtu (23/12/2018) malam itu.

"Data sementara, jumlah korban meninggal 63 orang," kata Sutopo.

Angka tersebut merupakan data per pukul 10.00 WIB. Sementara jumlah korban luka-luka 584 orang.

Adapun korban tsunami yang masih hilang 20 orang. Menurut Sutopo, data korban bisa terus bertambah.

"Belum semua wilayah belum dapat didata. Petugas masih terus melakukan pendataan," ungkapnya.

7 dari 7 halaman

6. Tak Ada Peringatan Dini

Banyaknya korban yang jatuh dalam kejadian itu disebut karena tidak adanya peringatan dini dari BMKG. Lantas, bagaimana tanggapan BMKG.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, menegaskan tsunami yang terjadi di Selat Sunda akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau. Kejadian ini bukan karena gempa bumi.

"Untuk kasus tsunami akibat Gunung Anak Krakatau belum ada peringatan dini. Yang ada peringatan dini akibat gempa bumi tektonik," ujar Triyono di Gedung BMKG, Jakarta, Minggu (23/12/2018).

Dia menambahkan, kejadian ini sudah pernah terjadi pada 1983. Saat itu, Gunung Krakatau meletus hingga menimbulkan bencana besar.

"Kalau gunung ada di laut dampaknya seperti itu, pada 1983 Krakatau meletus dampaknya luar biasa. Ini terjadi tidak separah tahun itu," ucap dia.

Untuk itu, BMKG mengimbau masyarakat yang berlibur agar tidak bermain di pantai Selat Sunda. Sebab aktivitas gunung Anak Krakatau masih dalam status waspada.

"Penigkatan vulkanik Gunung Anak Krakatau, harus lebih waspada. Ada dampak yang ditimbulkan, seperti tsunami yang siginifikan," ucap dia.

Saksikan video pilihan di bawah iniÂ