Sukses

Kisah Keluarga dari Tangerang Terhindar Amukan Tsunami Selat Sunda

Salah seorang warga Kota Tangerang ini, bersama suami dan anak semata wayangnya, menjadi salah satu korban selamat dari bencana alam tersebut.

Liputan6.com, Tangerang - Musibah tsunami Selat Sunda di lokasi wisata Pantai Carita, Pandeglang, Banten, mengisahkan trauma sendiri bagi Bionita (30). Salah seorang warga Kota Tangerang ini, bersama suami dan anak semata wayangnya, menjadi salah satu korban selamat dari bencana alam tersebut.

Bersama keluarga kecilnya, Bionita merencanakan liburan akhir tahun di daerah Pantai Carita, tepatnya di Villa Archipelago. Sabtu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 16.30 WIB, Bionita dan keluarganya sampai di villa tersebut.

"Kami disambut dengan air laut yang memang sudah pasang. Sempat khawatir dan tanya suami, katanya wajar kalau sudah sore jelang malam air laut pasang," ujarnya, Senin (24/12/2018).

Saat itu keluarganya menanggap hal biasa. Setelah masuk kamar membereskan barang bawaan, Bionita dan suami sempat membawa anaknya yang masih berusia sekitar 1,5 tahun, untuk berenang di kolam yang tersedia.

Semua berjalan normal, hingga sekitar pukul 21.30 Wib lewat, saat ketiganya akan tidur malam, Bionita dan suami yang mendapat kamar di lantai satu dan hanya berjarak kurang dari 80 meter ke bibir pantai, mendengar suara gemuruh air yang sangat kencang. 

Lalu lampu dan listrik kamar mati total, gelap tidak ada penerangan. Mereka masih berpikir positif, bila suara tersebut dari turun hujan, namun gemuruh air tersebut terdengar dekat dan berkali-kali. "Tapi kok hujan enggak ada suara gemericiknya," kata Bionita curiga. 

Lalu, saat sang suami turun dari kasur untuk beranjak ke toilet, air laut yang dibawa tsunami sudah membanjiri kamarnya. "Loh kok ada air bu, air dari mana, suami sempet kaget. Eh, pas buka pintu, langsung air masuk deres ke dalam kamar," katanya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Kepanikan Mulai Terjadi

Kepanikan pun mulai terjadi. Di tengah badan yang mulai gemetar ketakutan dan mulut berlafaz nama Illahi, Bionita langsung mengangkat anaknya dari kasur. Kemudian, lari ke lantai dua untuk menyelamatkan diri. 

"Memang enggak tinggi airnya, sekitar 50 sampai 80 cm. Masih bisa dipakai jalan," katanya. 

Saat itu sang suami memutuskan untuk meninggalkan villa dan kembali ke Tangerang. Dia pun mencoba menghubungi salah seorang teman untuk mencari jalan keluar asal tidak lewat jalan yang ada garis pantainya.

"Telepon sambil nangis histeris, minta jalan keluar lewat mana, asal jangan lewat jalan utama," ungkapnya. 

Akhirnya atas petunjuk teman, keluarga tersebut dengan pakaian seadanya, masuk mobil dan bergegas pergi meninggalkan villa. 

Malam itu di sepanjang jalan dengan tidak ada penerangan, bukan hanya Bionita yang dilanda kekalutan, melainkan wisatawan lain. Mereka berbondong-bondong cari jalan keluar, paling tidak menuju dataran tinggi.

"Cottage, villa, hotel, mayoritas sudah sepi ditinggal pengunjung. Semua gelap, ada mobil yang sudah hancur nyangkut di pohon," ujarnya.  

 

3 dari 3 halaman

Jalan Tikus

Namun, sesampainya di depan penginapan Lippo Carita, jalan sudah tidak bisa dilewati. Warga di sana sudah ramai, memberi tahu kalau jalan sudah tertutup bongkahan yang terbawa arus kuat tsunami. 

Tapi masih banyak jalan lain, warga setempat kompak memberi tahu jalan tikus masuk ke pegunungan, meski berkelok tajam, tanjakan curam, hanya itu jalan satu-satunya alternatif menuju Kota Serang.

"Tahu-tahu keluarnya di Jiput, Pandeglang, lurus ke Mandalawangi, sampailah kita di Serang. Di situ baru bisa tenang, Alhamdulillah," ujarnya. 

Pengalaman pahit tersebut benar-benar jadi pelajaran berharga bagi Bionita dan suami. Bahkan dalam waktu dekat ini, dia masih trauma untuk mengunjungi pantai sebagai pilihan wisata. 

"Nanti dulu deh, sementara main-main di Tangerang dulu, " ujarnya.