Liputan6.com, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut tsunami Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu, 22 Desember 2018 merupakan peristiwa langka. Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Tsunami yang terjadi tanpa deteksi dini tersebut pun merenggut ratusan nyawa. BNPB menyampaikan, korban meninggal akibat tsunami di Selat Sunda terus bertambah. Data terbaru pada Selasa (25/12/2018) pukul 13.00 WIB menyatakan, korban meninggal berjumlah 429 orang.
Baca Juga
Jumlah korban meninggal dunia bukan tidak mungkin masih akan terus bertambah. Hingga saat ini, tim gabungan masih terus bekerja mencari korban tsunami Selat Sunda tersebut.
Advertisement
Menurut Sutopo, Indonesia sendiri belum memiliki sensor peringatan dan pendeteksi tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik yang bersinggungan dengan laut. Selain itu, ia juga mengeluhkan minimnya anggaran bencana di Indonesia.
Berikut 6 fakta yang diungkap BNPB usai tsunami Selat Sunda dihimpun Liputan6.com:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
1. Alat Sensor Tak Tersedia
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan, tsunami yang terjadi di Selat Sunda merupakan peristiwa langka.
Indonesia sendiri belum memiliki sensor peringatan dan pendeteksi tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik yang bersinggungan dengan laut.
"Tidak ada peringatan dini tsunami karena kita Indonesia tidak punya sistem alat pendeteksi tsunami akibat longsoran bawah laut dan erupsi gunung api," tutur Sutopo di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Selasa, 25 Desember 2018.
Menurut Sutopo, Indonesia baru memiliki alat pendeteksi tsunami yang diakibatkan aktivitas tektonik seperti gempa bumi. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terfasilitasi dengan sistem tersebut dan dapat cepat tanggap menghadapi kemungkinan bencana.
"Beda dengan tsunami yang dibangkitkan dengan gempa bumi, BMKG kurang dari 5 menit pasti bisa menyampaikan ke publik," jelas dia.
Gunung Anak Krakatau sendiri masih berstatus Waspada Level 2 sesuai penetapan Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Longsoran yang terjadi akibat erupsi gunung tersebut yang mengakibatkan tsunami pun masih dalam penelitian.
"Kalau lihat letusannya itu tidak lebih besar dari Oktober dan November. Ini tantangan ke depan agar memiliki pendeteksi tsunami akibat longsor bawah laut dan erupsi gunung api," Sutopo menandaskan.
Â
Advertisement
2. Tetapkan Masa Tanggap Darurat
BNPB merekomendasikan masa tanggap darurat daerah terdampak tsunami Selat Sunda selama 14 hari terhitung sejak 22 Desember 2018 sampai dengan 4 Januari 2019. Namun, itu hanya untuk wilayah terdampak paling parah, yakni Kabupaten Pandeglang, Banten.
"Oleh karena itu di Pandeglang masa tanggap darurat 14 hari," tutur Sutopo di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Selasa, 25 Desember 2018.
Korban meninggal dunia akibat tsunami di Kabupaten Pandeglang sementara tercatat sebanyak 290 orang. Kemudian yang mengalami luka-luka 1.143 orang, hilang 77 orang, dan 14.395. Termasuk dampak kerusakan terhadap 443 unit rumah, 69 hotel, 395 perahu kapal, 24 kendaraan roda empat, dan 41 kendaraan roda dua.
"BNPB memberikan bantuan di Pandeglang Rp 500 juta. BNPB sejak awal sampai sekarang berada di lokasi memberikan pendampingan," jelas dia.
Untuk kabupaten lain seperti Serang, Lampung Selatan, dan Pesawaran, BNPB menetapkan masa tanggap darurat selama 7 hari terhitung sejak 23 Desember sampai dengan 29 Desember 2018. Hal itu merujuk terhadap data korban dan kerusakan yang tidak separah Pandeglang.
Â
3. Enam Desa Masih Terisolasi
Sudah tiga hari sejak terjadinya tsunami di Selat Sunda, Banten, pada Sabtu, 22 Desember 2018 lalu. Namun, hingga kini, masih ada enam desa di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten masih terisolasi dan belum tersentuh bantuan.
"Daerah terdampak belum semua bisa dijangkau, khususnya Kecamatan Sumur karena akses putus. Banyak jalan dan jembatan rusak," kata Sutopo, seperti dikutip dari Antara, Selasa, 25 Desember 2018.
Dia memaparkan, ada tujuh desa di Kecamatan Sumur, dan dari tujuh desa tersebut, hanya Desa Tamanjaya yang sudah dijangkau bantuan usai tsunami Selat Sunda menerjang.
Namun, kata Sutopo, baru dua dusun yang dapat dijangkau tim gabungan yaitu Dusun Paniis dan Tanjung Male, sementara enam desa yang belum tersentuh masih memerlukan bantuan.
"Keenam desa yang masih membutuhkan bantuan tersebut yaitu Desa Cigorondong, Kertajaya, Sumberjaya, Tunggajaya, Ujungjaya, dan Kertamukti," ucapnya.
Sutopo mengatakan, desa-desa yang terisolasi tersebut karena terdampak tsunami, sehingga akses transportasi terputus dan personel tim gabungan untuk evakuasi terhambat.
"Dalam kondisi normal saja, akses transportasi di daerah tersebut rusak, apalagi saat bencana seperti ini," kata Sutopo.
Â
Advertisement
4. Minim Anggaran
Selain itu, Sutopo juga menyampaikan, Indonesia butuh alokasi dana lebih untuk penanggulangan bencana. Bila perlu, anggaran mestinya menyentuh Rp 2 Triliun.
"2019 saja Rp 610 miliar. Ini untuk mengcover seluruh Indonesia," tutur Sutopo.
Menurut Sutopo, anggaran itu terbilang sangatlah kecil. Jumlah tersebut belum dapat memenuhi perhitungan biaya atas potensi bencana yang masif terjadi di Indonesia.
Pada 2018 saja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk BNPB mencapai sekitar Rp 746 miliar. Artinya, anggaran 2019 angkanya malah menurun.
"Idealnya ditambah, di atas, kalau perlu Rp 2 triliun," jelas dia.
Lebih lanjut, hampir seluruh wilayah di Indonesia masuk kategori rawan bencana. Idealnya, ujar Sutopo, alokasi anggaran untuk BNPB sekitar 1 persen dari jumlah APBN.
Namun, Kementerian Keuangan selalu mencairkan dana yang jauh dari nilai pengajuan di setiap perhitungan pagu anggaran tiap tahunnya.
"Jadi, kalau kita lihat politik anggaran tidak mendukung penanggulangan bencana, karena anggarannya kecil," ujar Sutopo.
Â
5. Jeda 24 Menit Sebelum Tsunami
BNPB masih melakukan riset terkait letusan kecil Gunung Anak Krakatau yang menimbulkan longsoran pemicu tsunami di Selat Sunda.
Dari penelitian, ditemukan adanya jeda waktu 24 menit yang sebenarnya bisa dimanfaatkan warga untuk menyelamatkan diri.
"Kalau kita melihat fenomena kemarin, berdasarkan hasil penelitian ada tenggat waktu 24 menit dari longsor memicu tsunami. Perjalanan tsunami sampai menghantam pantai itu ada 24 menit," tutur Sutopo.
Pengakuan masyarakat yang selamat, ucap Sutopo, ada suara gemuruh yang terdengar sebelum tsunami terjadi. Korban selamat itu kemudian langsung lari ke bukit dan tempat-tempat yang tinggi.
"Jadi ada antisipasi setelah gemuruh. Kejadian kemarin memang malam, tapi kan masih sekitar 21.30 WIB-an, belum banyak yang tidur. Kalau terjadi tengah malam jam 02.00 WIB-an gitu pasti banyak (korban). Jadi, kondisinya seperti itu, makanya sosialisasi perlu kita tingkatkan," jelas dia.
Terlebih, Indonesia belum memiliki sistem pendeteksi tsunami yang disebabkan oleh longsoran bawah laut dan erupsi gunung api. Oleh sebab itu, tidak ada peringatan bencana yang akhirnya memakan banyak korban. Bahkan, untuk menerka soal gemuruh pun tidak dimungkiri masih terbilang sulit.
"Kalau yang dibangkitkan oleh gempa, air surut dulu. Yang (di acara) Seventeen band itu tidak tahu karena suara musik keras sekali. Sementara masyarakat yang ada di sekitarnya, termasuk orang PLN yang tidak ikut acara band, dia tetap di penginapan dan selamat," Sutopo menandaskan.
Â
Advertisement
6. Pemda Sanggup Tangani Bencana
Korban jiwa tsunami Selat Sunda terus bertambah seiring porses evakuasi yang masih berlangsung. Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Selasa pukul 13.00 korban meninggal mencapai 429 orang.
Meski jumlah korban terus bertambah, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menegaskan bencana alam tsunami tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
"Tidak ada wacana menetapkan status bencana nasional. Pemerintah daerah sanggup mengatasinya," ujar Sutopo.
Ia menilai keseluruhan proses penanganan musibah bisa dilakukan pemerintah daerah. Tahapan itu mulai dari rehabilitasi hingga proses rekonstruksi.
Meski tidak ditetapkan sebagai bencana skala nasional, Sutopo menuturkan pemerintah daerah akan terus didampingi pemerintah pusat dalam segala upaya penanganan bencana tsunami.
"Pemerintah pusat mendampingi kepala daerah masing-masing," tukasnya.