Liputan6.com, Jakarta - Gunung Anak Krakatau terus erupsi. Namun, letusannya diperkirakan tidak akan sedahsyat erupsi Gunung Krakatau pada 1883.
"Tidak akan. Kenapa? Karena saat itu tiga gunung di Selat Sunda yang meletus bersamaan yaitu Gunung Krakatau, Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Selasa (25/12/2018).
Pada 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus. Erupsi ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah. Letusan itu merenggut 36.417 korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya.
Advertisement
Dampak letusan juga dirasakan di seluruh penjuru dunia. Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer.
Antara menyebut, matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.
Sutopo menjelaskan, setelah letusan terjadi, ketiga gunung juga habis akibat erupsi. Baru pada 1927, muncul anak Gunung Krakatau yang dinamakan Gunung Anak Krakatau.
Dia mengatakan, banyak para ahli menyatakan, untuk menghasilkan letusan yang besar masih diperlukan waktu 500 tahun ke depan. Gunung Anak Krakatau terus meninggi karena setiap tahun tumbuh antara empat hingga enam meter.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tsunami Sabtu Lalu
Pada Sabtu 22Â Desember 2018, terjadi tsunami yang disebabkan longsoran akibat tremor terus menerus gunung Anak Krakatau.
Tsunami yang terpantau setinggi 2,5 meter tersebut menerjang Banten dan Lampung hingga menimbulkan 429 korban meninggal 1.485 orang luka-luka, 154 hilang dan 16.082 orang mengungsi.
Karena masih terus erupsi, Badan Geologi merekomendasikan agar tidak ada aktivitas dengan jarak dua kilometer dari kawah gunung, sementara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau agar masyarakat untuk sementara menjauhi wilayah pantai.
Advertisement