Sukses

Saksi Ungkap Duit Rp 7,63 M Pengusaha untuk Pilkada Suami Eni Saragih

Tahta mengatakan uang tersebut berasal dari sejumlah pengusaha, satu di antaranya Samin Tan pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal.

Liputan6.com, Jakarta Staf ahli mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Tahta Maharaya mengaku pernah diperintahkan membawa uang Rp 7,63 miliar ke Temanggung. Uang itu diperuntukan buat biaya saksi saat Pilkada di Kabupaten Temanggung.

Tahta mengatakan uang tersebut berasal dari sejumlah pengusaha, satu di antaranya Samin Tan pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal.

"Saya ambil dari Samin Tan dan digunakan oleh M Al Khadziq (suami Eni Maulani Saragih) untuk dipergunakan membayar saksi di setiap TPS di Kabupaten Temanggung, dan untuk biaya operasional," ujar Tahta saat memberikan keterangan sebagai saksi di sidang dugaan penerimaan suap dan gratifikasi oleh Eni di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (26/12).

Tahta mengatakan uang Rp 7,63 milar dibawa menggunakan tas. Tas yang berisikan uang dari Samin Tan, imbuh Tahta, ditaruh di kamar Khadziq.

Dia menjelaskan, sebelum dibawa ke Temanggung uang-uang tersebut ditukarkan terlebih dahulu dalam berbagai pecahan mulai dari Rp 20 ribu, hingga Rp 50 ribu.

Namun disinggung mengenai honor saksi TPS yang diterima dari uang tersebut, Tahta mengaku tak tahu menahu.

"Saya enggak tahu ketahui cara pasti berapa jumlah uang yang diterima oleh setiap saksi dan relawan di Temanggung karena saksi hanya ditugasi oleh Bu Eni Maulani Saragih untuk mengantar uang ke Temanggung dengan jumlah uang Rp 7,63 miliar," tukasnya.

Diketahui Eni didakwa menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan SGD 40 ribu sejak menjabat sebagai anggota DPR periode 2014-2019. Penerimaan graritifikasi tersebut diperuntukan biaya pencalonan M Al Khadziq, suami Eni, sebagai Bupati Temanggung.

Pada bulan Mei 2018, Prihadi Santoso sebagai Direktur PT Smelting mengetahui Eni berada di Komisi VII DPR. Kepada Eni, Prihadi meminta bantuan agar memfasilitasi PT Smelting ke Kementerian Lingkungan Hidup dan meminta agar perusahaannya mendapat kuota impor limbah bahan berbahaya beracun untuk diubah menjadi copper slag.

Politisi Golkar itu menyanggupi permintaan bantuan Prihadi dengan kompensasi pemberian uang. Prihadi setuju permintaan Eni. Dia kemudian mempertemukan Prihadi dengan Rosa Vivien Ratnawati selaku Dirjen Pengelolaan Sampah.

Usai memfasilitasi pertemuan dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup, Eni meminta Prihadi merealisasikan komitmennya. Lewat orang kepercayaannya, Indra Purmandani, Eni menerima uang secara bertahap Rp 250 juta dengan rincian Rp 100 juta, Rp 100 juta, dan Rp 50 juta.

Eni kembali menerima gratifikasi dari Herwin Tanuwidjaja selaku Direktur PT One Connect Indonesia sebesar SGD 40 ribu dan Rp 100 juta. Sama dengan Prihadi, Herwin meminta agar Eni memfasilitasi perusahaannya bertemu dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup.

Dari upayanya sebagai jembatan Herwin dengan Kementerian LHK, dia menerima SGD 40 ribu dan Rp 100 juta secara bertahap.

 

2 dari 2 halaman

Realisasikan Komitmen

Gratifikasi kembali diperoleh Eni dari Samin Tan selaku pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal. Samin meminta Eni memfasilitasi perusahaannya bertemu dengan pihak Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membahas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara generasi 3 di Kalimantan Tengah.

Juni 2018, Eni meminta Samin merealisasikan komitmennya terkait pemberian uang. Samin kemudian memberikan Rp 4 miliar secara tunai disusul Rp 1 miliar yang diberikan pada 22 Juni.

Terakhir, gratifikasi Rp 500 juta berasal dari Iswan Ibrahim yakni Presdir PT Isargas.

Atas perbuatannya Eni didakwa melanggar Pasal 12 B ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Eni juga didakwa menerima suap Rp 4,750 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemilik Blackgold Natural Resources (BNR). Suap diperuntukan agar Eni membantu Johannes mendapatkan proyek pengerjaan PLTU Riau-1 senilai USD 900 juta.

Dia kemudian didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. 

Reporter: Yunita Amalia

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: