Sukses

5 Temuan Terbaru Soal Kondisi Gunung Anak Krakatau

Gunung Anak Krakatau terus menunjukkan aktivitasnya. Bahkan naik status dari Level II waspada, menjadi level III siaga.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status Gunung Anak Krakatau (GAK) dari waspada menjadi siaga. Keputusan itu diambil setelah melihat intensitas Gunung Anak Karakatau yang masih aktif hingga saat ini.

Gunung yang ada di perairan pantai selatan, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung itu terus erupsi ratusan kali dalam sehari.

Sejak 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau terus menunjukkan aktivitasnya. Bahkan naik status dari Level II waspada, menjadi level III siaga.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, aktivitas Gunung Anak Krakatau sebenarnya sedikit mereda pada bulan ini.

Erupsi abu vulkanik di gunung tersebut lebih kecil jika dibandingkan bulan September lalu.

"Jadi memang secara teori aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau sebenarnya yang sangat besar belakangan itu di bulan September tahun ini. Tapi, jika dibandingkan ketinggian erupsi dan amplitudonya, sekarang ini bulan Desember mungkin tidak ada seperempatnya dibanding bulan September," jelas dia di Banten, Jumat, 28 Desember 2018.

Namun demikian beberapa temuan terbaru pasca-tsunami Selat Sunda muncul. Gunung Anak Krakatau disebut mengalami sejumlah perubahan. Salah satunya yaitu ukuran gunung yang menyusut akibat terjadi longsor di dalam laut.

Berkurangnya volume tubuh Gunung Anak Krakatau ini diperkirakan karena adanya proses rayapan tubuh gunung api yang disertai oleh laju erupsi yang tinggi dari 24-27 Desember 2018.

Berikut 5 fakta temuan terbaru terkait Gunung Anak Krakatau usai tsunami Selat Sunda:

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 6 halaman

Volume Gunung Berkurang 50 Persen

Letusan dan longsor pada Sabtu 22 Desember 2018 malam yang dialami Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, mengakibatkan gunung yang berada di provinsi Lampung itu kehilangan puluhan hektare badannya.

Longsor itu lah yang akhirnya dianggap menjadi penyebab munculnya gelombang tsunami di pesisir Selatan Sunda, Banten dan Lampung.

Sejak 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau terus menunjukkan aktivitasnya. Bahkan naik status dari Level II waspada, menjadi level III siaga.

Keterangan dari www.esdm.go.id, Sabtu 29 Desember 2018, disebutkan bahwa Anak Krakatau ketinggiannya berkurang lebih dari 50 persen. Gunung yang tingginya semula 338 meter, kini tinggal 110 meter.

Di artikel berjudul 'Perkembangan Terkini Aktivitas Gunung Anak Krakatau, PVMBG: Tinggi Gunung Tinggal 110 Meter', pada Jumat, 28 Desember 2018, ketinggian Anak Krakatau lebih rendah dibandingkan Pulau Sertung yang tingginya mencapai 182 meter, sedangkan Pulau Panjang 132 meter.

Volume Anak Krakatau yang hilang diperkirakan sekitar antara 150-180 juta m3. Sementara volume yang tersisa saat ini diperkirakan antara 40-70 juta m3.

Berkurangnya volume tubuh gunung Anak Krakatau ini diperkirakan karena adanya proses rayapan tubuh gunungapi yang disertai oleh laju erupsi yang tinggi dari 24-27 Desember 2018.

3 dari 6 halaman

Tak Meletus Sebesar Krakatau

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan dampak letusan Gunung Anak Krakatau tidak akan sebesar letusan Gunung Krakatau pada 1883.

"Letusan Gunung Anak Krakatau hanya akan terjadi kecil, tidak seperti ibunya pada 1883, karena ukurannya juga berbeda," ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Jumat, 28 Desember 2018.

Sutopo mengatakan diameter Gunung Anak Krakatau hanya berkisar dua kilometer. Sedangkan Gunung Krakatau yang meletus pada 1883 memiliki diameter enam kali lipat, yaitu 12 kilometer.

Meski demikian, Sutopo tetap meminta masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Anak Krakatau untuk meningkatkan kewaspadaan namun tetap tenang.

"Tetap mengacu pada informasi-informasi resmi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika," kata dia.

4 dari 6 halaman

Tidak dalam Fase mematikan

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah analisa yang menyebut Gunung Anak Krakatau sedang masuk dalam fase mematikan.

Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo mengatakan Pergeseran bebatuan diyakini sebagai faktor yang menyebabkan tsunami yang mematikan.

"Tidak benar Anak Krakatau masuk dalam fase mematikan," ujar Antonius

Analisa mengenai kondisi Gunung Anak Krakatau usai erupsi diungkapkan ahli vulkanologi asal Amerika Serikat Jess Phoenix. Dalam analisanya Jess Phoenix menyebut tsunami yang menerjang bagian barat pulau Jawa pada Sabtu, 22 Desember 2018 disebabkan oleh runtuhnya bagian Anak Krakatau yang memicu longsor bawah laut.

Pergeseran bebatuan diyakini sebagai faktor yang menyebabkan tsunami yang mematikan.

Antonius pun membantah Jess Phoenix. "Tidak seperti itu. Kalau orang naik ke Puncak Krakatau ya mematikan. Judulnya tinggal, konteksnya apa," katanya.

Pria yang biasa disapa Purbo itu mengatakan, secara umum, kondisi Gunung Anak Krakatau, kata dia, sudah mengalami peningkatan status dari level II waspada ke level III siaga.

Peningkatan status itu didasari atas berkembangnya aktivitas Gunung Anak Krakatau.

Sejak erupsi pada Sabtu 22 Desember lalu, Purbo mengatakan Gunung Anak Krakatau terus mengalami peningkatan sampai kemarin Rabu 26 Desember. Dari situ terdapat perubahan pola letusan dari strombolian menjadi susetryan.

5 dari 6 halaman

Potensi Timbulkan Tsunami Mengecil

Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo menyatakan potensi bahaya di Gunung Anak Krakatau saat ini sangat kecil memicu tsunami di Selat Sunda.

“Letusan bertipe surtseyan karena kawah Gunung Anak Krakatau posisi dekat dengan permukaan laut sehingga magma yang keluar bersentuhan dengan air laut. Letusan surtseyan posisi di permukaan sehingga potensi sangat kecil untuk memicu tsunami,” kata Purbo di Gedung Kementerian ESDM, Sabtu (29/12/2018).

Purbo menyatakan, berkurangnya volume gunung anak Krakatau, dari sebelumya yang diperkirakan 338 mdpl menjadi hanya sekitar 110 mdpl, menjadi sebab berkurangnya potensi tsunami.

"Dengan sisa volume tubuh Gunung Anak Krakatau yang hanya sekitar 40-70 juta m3, potensi kecil untuk longosoran besar,” kata Purbo

Potensi bahaya dari aktivitas letusan Gunung Anak Krakatau dengan kondisi saat ini menurut Purbo, yang paling memungkinkan adalah letusan-letusan Surtseyan. Letusan jenis ini karena terjadi di permukaan air laut, meskipun bisa banyak menghasilkan abu, tapi tidak akan menjadi pemicu tsunami.

“Potensi bahaya lontaran material lava pijar masih ada. Dengan jumlah volume yang tersisa tidak terlalu besar, maka potensi terjadinya tsunami relatif kecil, kecuali ada reaktivasi struktur patahan/sesar yang ada di Selat Sunda,” katanya.

6 dari 6 halaman

Kerikil Sampai Kepulauan Seribu

Embusan abu vulkanik Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda beberapa hari belakangan sudah sampai ke perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.

Koordinator Pesisir Lingkungan Hidup Pulau Seribu, Surya Ismail menyatakan, dua pulau yakni Pulau Harapan dan Pulau Kepala dipenuhi material Gunung Anak Krakatau berupa kerikil.

Di Pulau Harapan sudah agak menipis sementara yang agak tebal di Pulau Kepala. Terus terang ini pertama kali menerima kiriman kerikil,” kata Surya saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (29/12/2018).

Surya menyebut kerikil Gunung Anak Krakatau yang ada di sekitar Pulau sebesar biji kacang hijau dan datang melalui perairan bukan lewat udara.

“Datang dari tanggal 26 pagi, sudah tiga hari. Ini pecahan kerikil seperti kacang hijau terapung di laut bukan dari udara,” ujar dia.

Surya mengatakan pihaknya sudah membersihkan kerikil sebanyak 95 kubik di Pulau Harapan.

“Pulau Kelapa sudah seratus kubik lebih,” katanya

Meski dikepung banyak kerikil, Surya menyebut kerikil itu tidak mengganggu aktivitas warga maupun nelayan.

“Kerikil terus terang enggak mengganggu, nelayan juga enggak (terganggu). Nelayan terganggu dengan ecek gondok,” ucap dia.