Sukses

HEADLINE: Indonesia Diprediksi Alami 2.500 Bencana pada 2019, Siapkah Kita?

Menurut BNPB, mitigasi berhasil menekan korban jiwa di beberapa kejadian bencana. Bagaimana untuk 2019?

Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2018 menjadi momentum penuh cobaan bagi rakyat Indonesia, kala gelombang bencana datang silih berganti. Kehancuran terjadi di Lombok, Palu, Donggala, Banten, Lampung, dan sejumlah wilayah lainnya. Ribuan orang menjadi korban jiwa dan luka.   

Kini, tahun telah berganti jadi 2019, namun ancaman bencana belum usai.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi, 2.500 bencana alam bakal terjadi di Tanah Air pada tahun ini. Sebanyak 95 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi.

Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang dipicu oleh parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembaban, dan angin.

Bukan untuk menakut-nakuti, prediksi yang diperoleh dari tren bencana pada tahun-tahun sebelumnya ini dipublikasikan untuk membangun kesiapsiagaan.

Tak juga main-main, BNPB mengklaim jumlah tersebut diperoleh dengan perhitungan data yang terperinci. Seluruh data soal kebencanaan dari tahun ke tahun dan prakiraan musim diramu dan dianalisis secara teliti.

"Jadi kita memperkirakan tidak asal-asalan, sudah punya basic pengetahuan sebelumnya. Sistem pendataannya juga kita sudah tahu, ditambah dengan prediksi-prediksi yang ada, bagaimana musimnya, cuaca. Ya kalau geologi kan, kita sudah tahu, tidak bisa diprediksi, tapi tahu daerah-daerah mana kan (yang berpotensi)," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, kepada Liputan6.com, Rabu 2 Januari 2019.

Kepala Seksi Mitigasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Muhari sepakat, jika berberbicara soal tren, bencana geologi maupun hidrometeorologi memang cenderung naik. Ini juga terbaca pada data yang dimiliki olehnya.

"Ketika kita bicara prediksi ke depan, analisis tren kejadian bencana, jika dilihat dari data yang saya miliki, dari tahun sekian sampai sekian, bencana geologi dan hidrometeorologi memang sama-sama naik trennya. Tapi lebih banyak hidrometeorologi," ujar Abdul Muhari ketika dihubungi Liputan6.com, Rabu 2 Januari 2019.

Lalu mengapa sebagian besar bencana yang bakal terjadi merupakan hidrometeorologi? Bencana seperti banjir, longsor dan puting beliung diprediksi masih akan mendominasi.

Abdul Muhari menjelaskan, bencana jenis ini lebih banyak terjadi karena ada campur tangan manusia. Fenomena alam terkait meteorologi, kata dia, mungkin tak akan sampai jadi bencana ketika tidak ada peran manusia.

"Ada yang namanya man made disaster. Misalnya alih fungsi lahan, penggundulan hutan, hutan mangrove jadi tambak. Potensi bencana tidak akan meningkat meski mungkin fenomena itu, misal gelombang panas ekstrem, terjadi. Kalau sebenarnya ekosistemnya baik, belum tentu jadi bencana," tutur dia.

Sementara untuk bencana geologi, dia tak bisa memprediksi. Terlebih, bencana ini sepenuhnya bergantung pada alam. Dan belum ada teknologi yang sejauh ini dianggap sahih dan mumpuni, misalnya untuk memprediksi gempa.

Sebelumnya BNPB mengungkap, luasnya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), lahan kritis, laju kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, perubahan penggunaan lahan, dan tingginya kerentanan menyebabkan potensi bencana hidrometeorologi meningkat.

Pemetaan yang dilakukan BNPB menunjukkan, rata-rata laju perubahan lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian adalah 110.000 hektare per tahun. Belum lagi lahan kritis yang mencapai 14 juta hektare di Tanah Air.

Tak heran, banjir dan longsor masih akan banyak terjadi di daerah rawan banjir dan longsor.

Kemudian, kebakaran hutan dan lahan pun masih akan terjadi. Tetapi dapat diatasi dengan lebih baik.

Terlebih, musim kemarau dan penghujan pada 2019 diprediksi normal. Tidak ada El Nino dan La Nina yang memperburuk musim.

 

Saksikan video terkait potensi bencana di Indonesia tahun 2019: 

2 dari 3 halaman

Menyusun Mitigasi yang Berkelanjutan

Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta pengkajian ulang tata ruang dan tata wilayah di seluruh pesisir Indonesia. Terutama di wilayah rawan bencana seperti gempa bumi dan tsunami.

Kajian ini penting untuk meminimalkan kerusakan bangunan serta korban jiwa sebagai dampak dari bencana alam.

Menurut dia, bencana akan selalu menjadi ancaman ketika masyarakat tidak bisa mengantisipasinya.

Jokowi pun meminta kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membangun rumah warga yang telah hancur karena tsunami Selat Sunda dengan standar baru. Rumah warga harus dibangun dengan jarak sekitar 400 meter dari bibir pantai.

"Kita akan masuk ke tahap rekonstruksi dan pembangunan, tidak ada hunian sementara. Ini akan dibangun rumah tapi 400 meter dari sini. Direlokasi, dipindahkan, karena lokasinya di sini sangat rawan tsunami," ujar Jokowi.

BNPB sendiri menyebut, sebagian masyarakat dan pemda belum siap menghadapi bencana besar. Tiga kajian BNPB mengenai tingkat kesiapsiagaan menghadapi bencana menunjukkan, pengetahuan kebencanaan meningkat, tetapi tidak diiringi  dengan sikap, perilaku dan budaya yang mengkaitkan kehidupan dengan mitigasi bencana.

Oleh karena itu, Jokowi meminta pengetahuan soal penanganan bencana dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat dasar ke sekolah menengah atas.

"Dan pendidikan mengenai kebencanaan ini harus sudah dimulai Januari ini. Terutama bagi daerah yang kemungkinan adanya bencana besar, baik itu tanah longsor, gempa, tsunami semuanya dimulai," ucap Jokowi.

Seorang pria melewati kubah Masjid Raya Baiturrahman yang runtuh setelah gempa bumi dan tsunami menghantam Palu di Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). Kubah dan beberapa dinding masjid roboh akibat guncangan gempa dahsyat. (AFP PHOTO / JEWEL SAMAD)

Kepala Seksi Mitigasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Muhari mengatakan, budaya tanggap bencana ini tidak bisa dibangun dengan mengedukasi masyarakat di sebuah ruangan secara bersama-sama dalam satu waktu. Harus ada keberlanjutan dari edukasi ini.

"Konsistensi kita menjamin tanggap bencana itu berapa lama? Kemungkinan tsunami dan gempa itu misalkan berulang 30 tahun, lalu cuma disosialisasikan pada generasi yang sekarang. Tapi kepada generasi baru tak tersampaikan. Memang harus terencana baik dan dibuat sistem," kata Abdul Muhari kepada Liputan6.com.

Seharusnya, lanjut dia, Indonesia bisa mencontoh Jepang. Hari terjadinya bencana dahsyat, biasa dijadikan momentum nasional untuk melatih masyarakat siap siaga jika fenomena yang sama terjadi. 

"Misal tsunami 11 Maret 2011 yang dijadikan momentum drill nasional. Hari itu menjadi hari peringatan bencana nasional di Jepang, semua warga wajib melakukan latihan evakuasi dan libur nasional. Peringatan bencana di sana tidak lagi acara seremoni, tapi memang dikhususkan untuk membangun kesiapsiagaan nasional," ujar lulusan Tohoku University, Sendai (Tohokudai) tersebut.

Selain itu, Jepang memiliki regulasi terkait anggaran untuk mitigasi. Paling tidak, lanjut dia, 1 persen anggaran daerah diperuntukkan bagi mitigasi.

"Kalau nasional itu biasanya lebih untuk pembangunan struktur fisik. Coba dibandingkan dengan BNPB. BNPB cuma punya dana on call Rp 4 triliun. Tidak sampai 1 persen. 0,5 persen juga enggak nyampe. Pihak berwenang di Indonesia seharusnya bisa mewajibkan misal anggaran dana desa, 1 persennya untuk mitigasi bencana," usul pria yang akrab disapa Aam itu.

Pantauan udara ratusan rumah terendam lumpur dan tanah di Petobo, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). Menurut BNPB, sedikitnya 744 rumah terendam akibat fenomena likuifaksi. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Ahli gempa bumi dan mitigasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, menilai Indonesia juga butuh peta bencana dan risiko bencana yang rinci serta disebar ke masyarakat. Dia percaya, pemetaan yang rinci ini akan mudah dimengerti masyarakat.

Dia mencontohkan, selama ini masyarakat tidak mengerti harus melakukan apa dan ke mana ketika ada bencana. Begitupula dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

"Pertama sih, saya melihat masih ada satu tugas penting yang harus dilakukan di level nasional. Mendetilkan risiko bencana. BNPB sudah melakukannya selama ini, namun masih dalam skala nasional, belum bisa digunakan untuk skala perencanaan yang lebih detail dan penataan ruang daerah

Menjadi tugas siapa pemetaan risiko bencana ini?

"Selama ini, dalam UU itu, jadi beban pemerintah daerah, dalam artian BPBD. Namun, BPBD tidak punya kapasitas untuk itu. Kalau misalnya ngobrol dengan pemangku kebijakan di provinsi, mereka tidak punya anggaran dan personel," kata Irwan kepada Liputan6.com, Rabu 2 Januari 2018.

Memang, anggaran ini pula yang dikeluhkan oleh BNPB dalam penanganan bencana selama ini. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan BNPB hanya punya dana Rp 610 miliar untuk mitigasi. Idealnya, sambung dia, 21 persen dari APBN dianggarkan untuk mitigasi.

Dia menjelaskan, angka tersebut itu merupakan hasil kajian dari Bapennas.

"Mitigasi masih menjadi tantangan kita. 2019 masih sangat kurang. Apalagi kalau bicara anggaran, anggaran mitigasi, BNPB hanya dapat Rp 610 M. Mau bicara apa? Sangat kurang," tukas Sutopo kepada Liputan6.com.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

3 dari 3 halaman

Hasil Kajian BNPB

BNPB mencatat telah terjadi 2.564 bencana alam di Indonesia hingga 30 Desember 2018 ini. Jumlah bencana alam tersebut lebih sedikit dibandingkan musibah yang terjadi pada tahun sebelumnya yang membukukan 2.862 bencana.

Namun, jumlah korban jiwa akibat bencana pada 2018 lebih banyak dari tahun sebelumnya. Ada kenaikan korban meninggal sebanyak 984 persen.

Pada 2018, BNPB mencatat 3.349 orang meninggal. Selain itu, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, dan 10,2 juta orang mengungsi serta terdampak.

Sementara, pada tahun ini, BNPB memprediksi jumlah bencana yang melanda Indonesia sebanyak 2.500.

"Kita prediksikan selama tahun 2019 lebih dari 2.500 kejadian bencana yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Paling dominan adalah bencana hidrometerologi seperti banjir, longsor dan puting beliung," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho di Kantor BNPB, Matraman, Jakarta Timur, Senin 31 Desember 2018.

Selain itu, bencana geologi seperti gempa juga masih akan terjadi selama 2019. Rata-rata setiap bulan, diprediksi ada sekitar 500 kejadian gempa di Indonesia.

Namun, untuk bencana yang satu ini tidak ada satupun lembaga yang bisa memprediksinya.

"Gempa bumi tidak dapat diprediksikan secara pasti di mana, berapa besar dan kapan. Namun, diprediksikan gempa terjadi di jalur subduksi di laut dan jalur sesar di darat. Perlu diwaspadai gempa-gempa di Indonesia bagian timur yang kondisi seismisitas dan geologinya lebih rumit dan kerentanannya lebih tinggi," Sutopo menjelaskan.

Begitupula, erupsi gunung api yang tidak dapat diprediksi. Fenomena ini tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir.

"Tiap gunung memiliki karakteristik sendiri. Dari 127 gunung api di Indonesia, saat ini terdapat 1 gunung berstatus Awas, 4 gunung berstatus Siaga, dan 16 gunung berstatus Waspada," tutur Sutopo.

Oleh karena itu, penting ada mitigasi bencana. Terlebih, dalam beberapa kejadian bencana di Indonesia, mitigasi berhasil menekan korban jiwa. 

BNPB mencatat, erupsi Gunung Kelud di Jawa Timur pada 13 Februari 2014, mitigasi bencana berhasil menyelamatkan 90.000 jiwa. Kala itu, masyarakat melakukan evakuasi dengan aman dan tertib.

"Sistem peringatan dini banjir di Sungai Ciliwung dan Bengawan Solo juga mampu memberikan peringatan dini kepada masyarakat untuk evakuasi atau mengantisipasi banjir setiap tahunnya," kata Sutopo.