Liputan6.com, Jakarta - Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, mengalami 60 gempa letusan, 32 gempa embusan dan satu gempa tektonik jauh sepanjang Rabu hingga Kamis dini hari (3/1/2019).
Demikian disampaikan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Baca Juga
Siaran pers pusat vulkanologi menyebutkan, Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau mendeteksi 60 gempa letusan dengan amplitudo 16-30 mm dan durasi 38-120 detik.
Advertisement
Sementara gempa embusan terjadi 32 kali dengan amplitudo 8-28 mm dan durasi 39-145 detik; dan gempa tektonik jauh terjadi sekali dengan amplitudo 13 mm, dengan durasi 100 detik. Demikian dilansir dari Antara.
Data dari Stasiun Sertung di Selat Sunda juga menunjukkan, tremor menerus masih meliputi gunung api tersebut.
Selain itu, selama 2 Januari 2019 pukul 00.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB, Pos Pengamatan juga memantau adanya asap kawah bertekanan sedang hingga kuat berwarna putih, kelabu, dan hitam tebal dengan tinggi 200-1.500 meter di atas puncak kawah.
Gunung api di dalam laut dengan ketinggian saat ini 110 meter dari permukaan laut (mdpl)--dari sebelumnya 338 mdpl-- tersebut sepanjang pengamatan tidak memperdengarkan suara dentuman.
Berdasarkan hasil pengamatan itu, pusat vulkanologi menyimpulkan status aktivitas Gunung Anak Krakatau masih pada Level III (Siaga), dan merekomendasikan warga/wisatawan tidak mendekati radius lima kilometer dari kawah.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
BMKG Pasang Sensor
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memasang sensor water level dan sensor curah hujan untuk mengantisipasi dini dampak erupsi Gunung Anak Krakatau terhadap tinggi gelombang laut.
Alat tersebut dipasang di Pulau Sebesi di Selat Sunda dan bisa melaporkan langsung ke server Automatic Weather Station (AWS) Rekayasa di BMKG.
BMKG menjelaskan perlunya memahami penyebab tidak munculnya peringatan saat terjadi tsunami di Selat Sunda pada Sabtu 22 Desember 2018 malam lalu.
Pascabencana 22 Desember 2018 tersebut, BMKG merintis sistem peringatan dini tsunami akibat longsoran lereng Gunung Anak Krakatau yang dinamai Indonesia Seismic Information System (InaSEIS). Sistem ini beroperasi di Selat Sunda berbasis pemantauan intensitas gempa skala lokal.
Menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, hingga saat ini di dunia belum ada sistem peringatan dini tsunami akibat longsoran lereng vulkanik. Namun, BMKG merancang permodelan mandiri.
Seperti dikutip dari Antara, BMKG berharap sistem yang dirintis ini dapat memberikan manfaat pada peringatan dini tsunami di Selat Sunda.
Daryono menegaskan, hingga saat ini gempa dan tsunami belum bisa diprediksi. Sehingga jika ada prediksi gempa dan tsunami yang beredar, masyarakat dapat mengabaikannya.
"Sudah mulai banyak beredar mengenai rekaman audio pendek sekitar 1 menit 34 detik yang isinya memberitahukan bahwa menurut BMKG akan terjadi letusan Gunung Anak Krakatau yang menghasilkan gempa dengan skala 8 SR di wilayah Lampung dalam waktu dekat atau dalam beberapa hari atau dalam beberapa minggu ke depan," kata Daryono.
Namun, dia menegaskan, BMKG tidak pernah memberikan pernyataan tersebut dan diimbau kepada masyarakat jika mendapat broadcast terkait audio tersebut untuk tidak menyebarluaskannya dan langsung saja dihapus agar tidak kembali membuat resah masyarakat.
BMKG dan Badan Geologi juga terus memantau perkembangan Gunung Anak Krakatau. Jadi pastikan untuk memantau perkembangan beritanya hanya dari aplikasi InfoBMKG dan aplikasi MAGMA INDONESIA.
Advertisement