Liputan6.com, Jakarta - Pasca-erupsi Sabtu, 22 Desember 2018, aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau terus mengalami penurunan sejak 28 Desember 2018. Hal ini berdasarkan rekaman seismograf yang didapat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Namun, hingga Kamis (3/1/2019) dini hari tadi, aktivitas kegempaan kembali terjadi di Gunung Anak Krakatau.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat ada 60 gempa letusan yang diiringi 32 gempa embusan serta gempa tektonik dari puncak gunung di Kabupaten Lampung Selatan ini.
Advertisement
Berikut sejumlah fakta terbaru akan kondisi Gunung Anak Krakatau yang dihimpun dari Liputan6.com:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
1. 60 Gempa Letusan
Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau mendeteksi 60 gempa letusan dengan amplitudo 16-30 mm dan durasi 38-120 detik dari atas puncak gunung di Selat Sunda ini.
Sedangkan gempa embusan terjadi 32 kali dengan amplitudo 8-28 mm dan durasi 39-145 detik dan gempa tektonik terjadi sekali dengan amplitudo 13 mm, dengan durasi 100 detik.
Gempa tremor yang terus-menerus juga teramati dari Stasiun Sertung di Selat Sunda.
Advertisement
2. Muncul Asap
Sebelumnya pada Rabu, 2 Januari kemarin, Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau melihat asap kawah berwarna putih, kelabu, dan hitam tebal keluar dari atas puncak gunung. Saat itu waktu menunjukkan pukul 00.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB dengan ketinggian hingga 1.500 meter.
3. Tidak Terdengar Suara Dentuman
Sejak aktivitas Gunung Anak Krakatau mengalami penurunan, fisiknya pun mengalami perubahan. Awalnya tinggi Gunung Anak Krakatau mencapai 338 meter, namun kini hanya 110 meter.
Semenjak itu, sepanjang pengamatan tak lagi terdengar suara dentuman dari dalam perut Gunung Anak Krakatau. Saat itu, pusat vulkanologi menyimpulkan status aktivitas Gunung Anak Krakatau masih pada Level III (Siaga).
4. Muncul Retakan Baru
Sementara itu, lewat dari foto udara, muncul ada retakan baru di Anak Krakatau ini.
"Retakan terdeteksi dari foto udara, terlihat memanjang ke arah utara-sekatan pada lereng kawah gunung di sisi selatan," ucap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati kepada Liputan6.com, Rabu (2/1/2019).
Kondisi ini, tambah Dwikorita bisa menimbulkan longsor apabila Krakatau kembali erupsi.
"Karena luas area dan volume yang akan longsor relatif kecil, maka diperkirakan potensi tsunami yang ditimbulkan juga lebih kecil," jelasnya.
Advertisement
5. Sensor Dampak Erupsi
Pascabencana tsunami Gunung Anak Krakatau, 22 Desember 2018 lalu, BMKG memasang sensor water level dan sensor curah hujan untuk mengantisipasi dini dampak erupsi Gunung Anak Krakatau terhadap tinggi gelombang laut.
Alat tersebut dipasang di Pulau Sebesi di Selat Sunda dan bisa melaporkan langsung ke server Automatic Weather Station (AWS) Rekayasa di BMKG.