Liputan6.com, Kutai Timur: Habitat orangutan terus menipis. Krisis ekonomi dan lingkungan semakin menyeret hewan berbulu lebat itu ke tepi jurang kehancuran. Dahulu keberadaan orangutan tersebar di Asia. Kini, orangutan hanya bisa ditemui di hutan-hutan Kalimantan dan Sumatra. Tapi, sanggupkah mereka bertahan dalam sepuluh atau 20 tahun mendatang tanpa bantuan manusia untuk menolong hewan primata tadi? Terutama, ketika harus berhadapan dengan keserakahan manusia yang suka berburu orangutan demi segepok uang.
Reporter SCTV Trie Ambarwatie dan Amar Sujarwadi ketika berkunjung ke kawasan Prevab-Mentoko di Taman Nasional Kutai, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, baru-baru ini, melaporkan jumlah Tanjung--panggilan orangutan di Kalimantan--yang tersisa hanya berkisar antara 400 sampai 800 ekor. Itu pun berdasarkan catatan empat tahun silam. Sementara di seluruh Kalimantan, jumlah orangutan mencapai 15 ribu ekor. Padahal, keseimbangan alam dan hutan akan terpengaruh dengan penyusutan habibat spesies pongo pygmaeus pygmaeus itu. "Tak ada orangutan tak ada pohon-pohon. Pohon hilang berdampak pada manusia dan lingkungan," kata ahli primata Carey Yeager. Spesies orangutan di Kalimantan berbeda dengan satwa sejenis di Sumatra yang bernama latin pongo pygmaeus abelli.
Meski begitu, hewan langka tadi hanya mampu hidup di hutan dataran rendah. Mereka juga bisa bertahan di hutan berkanopi antara 20 hingga 100 kaki dari permukaan tanah, termasuk hutan primer. Yeager menjelaskan, orangutan tergolong hewan omnivora yang sudah makan buah-buahan manis, pucuk daun, dan serangga. Orangutan juga hidup nomaden alias berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lain. "Biasanya jika sudah kenyang, ia akan membuat sarang di atas sebuah pohon," papar Carey. Karena itu, di sepanjang Sungai Sangatta banyak terlihat sarang-sarang kering bekas orangutan tidur.
Belakangan, keluarga Tanjung di Taman Nasional Kutai semakin sulit ditemui. Mereka lebih banyak bermukim di kawasan zona inti. Direktur Eksekutif World Wild Fund Indonesia Bambang Purnomo memaparkan, proses reproduksi orangutan terbilang lambat. Seekor betina harus menunggu delapan tahun untuk kembali mengandung. Sebab, anak orangutan masih menyusu pada induknya meski sudah berusia lima atau enam tahun. Orangutan betina dewasa biasanya lebih bisa hidup mandiri ketimbang jantan yang relatif "anak mamih".
Ketika orangutan dewasa berusia 15-20 tahun, mereka akan mencari pasangan hidup sampai umur 35 hingga 40 tahun. Karena itu, orangutan betina hanya bisa melahirkan maksimal lima anak seumur hidupnya. "Untuk menyelamatkan habibatnya, WWF membuat program Indonesia Bioregion Sundaland," ujar Bambang. Program ini bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa orangutan penting bagi hutan dan sekitarnya.(KEN)
Reporter SCTV Trie Ambarwatie dan Amar Sujarwadi ketika berkunjung ke kawasan Prevab-Mentoko di Taman Nasional Kutai, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, baru-baru ini, melaporkan jumlah Tanjung--panggilan orangutan di Kalimantan--yang tersisa hanya berkisar antara 400 sampai 800 ekor. Itu pun berdasarkan catatan empat tahun silam. Sementara di seluruh Kalimantan, jumlah orangutan mencapai 15 ribu ekor. Padahal, keseimbangan alam dan hutan akan terpengaruh dengan penyusutan habibat spesies pongo pygmaeus pygmaeus itu. "Tak ada orangutan tak ada pohon-pohon. Pohon hilang berdampak pada manusia dan lingkungan," kata ahli primata Carey Yeager. Spesies orangutan di Kalimantan berbeda dengan satwa sejenis di Sumatra yang bernama latin pongo pygmaeus abelli.
Meski begitu, hewan langka tadi hanya mampu hidup di hutan dataran rendah. Mereka juga bisa bertahan di hutan berkanopi antara 20 hingga 100 kaki dari permukaan tanah, termasuk hutan primer. Yeager menjelaskan, orangutan tergolong hewan omnivora yang sudah makan buah-buahan manis, pucuk daun, dan serangga. Orangutan juga hidup nomaden alias berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lain. "Biasanya jika sudah kenyang, ia akan membuat sarang di atas sebuah pohon," papar Carey. Karena itu, di sepanjang Sungai Sangatta banyak terlihat sarang-sarang kering bekas orangutan tidur.
Belakangan, keluarga Tanjung di Taman Nasional Kutai semakin sulit ditemui. Mereka lebih banyak bermukim di kawasan zona inti. Direktur Eksekutif World Wild Fund Indonesia Bambang Purnomo memaparkan, proses reproduksi orangutan terbilang lambat. Seekor betina harus menunggu delapan tahun untuk kembali mengandung. Sebab, anak orangutan masih menyusu pada induknya meski sudah berusia lima atau enam tahun. Orangutan betina dewasa biasanya lebih bisa hidup mandiri ketimbang jantan yang relatif "anak mamih".
Ketika orangutan dewasa berusia 15-20 tahun, mereka akan mencari pasangan hidup sampai umur 35 hingga 40 tahun. Karena itu, orangutan betina hanya bisa melahirkan maksimal lima anak seumur hidupnya. "Untuk menyelamatkan habibatnya, WWF membuat program Indonesia Bioregion Sundaland," ujar Bambang. Program ini bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa orangutan penting bagi hutan dan sekitarnya.(KEN)