Liputan6.com, Bandung: Tak ada yang istimewa dari rumah di Jalan Adibrata, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Bandung, Jawa Barat itu. Sekilas, rumah milik Budi Halim ini, layaknya tempat tinggal lain di sekitarnya. Namun rumah itu tiba-tiba menjadi perhatian masyarakat ketika seorang anak perempuan lulusan sekolah lanjutan pertama bernama Dewi melapor ke Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, awal Juli silam. Budi Halim menyekap belasan anak buat dipekerjakan.
Dewi adalah satu di antara anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan di CV Langgeng Computer Embriodery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati. Dewi kabur dari rumah Budi--yang sekaligus menjadi pabrik--karena tak tahan dipekerjakan di luar batas kemanusiaan. Polisi yang menggerebek konveksi tersebut kemudian menemukan 12 anak berusia 11 hingga 18 tahun. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah sekitar Bandung dan Cianjur.
Dede Sutianingsih, seorang anak yang juga senasib dengan Dewi akhirnya berkisah. Menurut gadis muda ini, anak-anak yang bekerja di konveksi milik Budi harus bekerja selama 12 jam dari pukul 07.00 hingga 19.00 WIB. Mereka hanya diberi waktu istirahat setengah jam. Parahnya, selama istirahat itu mereka dilarang ke luar atau beranjak dari tempat kerja. "Jongkok atau berdiri sebentar saja si Engkoh (Budi) dan si Enci (Herawati) suka marah. Bahkan sering mencaci maki dengan kata-kata goblok, anjing, sambil mendorong kepala," kata Dede, miris.
Bisa jadi, penderitaan tadi tak dialami mereka, seandainya tak ada orang yang bernama Pipin, calo pekerja. Namun, perempuan ini malah mengaku tak menyangka anak-anak itu akan bernasib buruk. "Kalau kursus menjahit kan harus bayar. Sedangkan bekerja di konveksi itu bekerja sambil belajar," kata Pipin yang mengaku mendapat upah Rp 20 ribu per anak dari Budi.
Menurut Dede, sebelumnya Pipin memang menjanjikan iming-iming gaji lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Selain itu mereka juga akan diajari membordir dan menjahit. Namun, setelah beberapa bulan bekerja, janji tinggal janji. Gaji tak pernah mereka terima, yang ada malah cacian dan makian. "Alasannya gaji belum dibayar, karena bekerja baru empat bulan, belum setahun," kata Dede.
Sebenarnya anak-anak tadi sudah tak betah buat tinggal dan bekerja di tempat itu. Namun Ai Solihat--yang berusia 11 tahun--tak berani pulang kampung, karena takut tersesat. Sementara Pipit, sempat berniat kabur, namun pintu konveksi selalu digembok. Kini anak-anak itu memilih pulang kampung dan kembali ke orangtuanya. Dede, Ai Solihat, dan Pipit yang berasal dari Gunung Halu, Bandung, mengaku belum berencana mencari pekerjaan lain. Maklum, mereka umumnya trauma dengan perlakuan Budi dan Herawati, sang majikan.
Budi dan Herawati yang kini resmi menjadi tersangka, kontan membantah telah menyekap dan mempekerjakan anak-anak di luar batas kemanusiaan. Menurut Budi, anak-anak diterima kerja semata-mata sebagai upaya menolong orangtua mereka. "Di antara anak-anak itu, bahkan ada yang diserahkan langsung orangtuanya," kata lelaki yang mendirikan konveksi sejak 1995 ini.
Apapun alasan yang dikemukakan Budi dan Herawati, keduanya kini dikenai status tahanan rumah setelah sebelumnya harus meringkuk di tahanan Polwiltabes Bandung. Suami istri yang diganjar Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan Kebebasan Seseorang itu, mengaku pasrah. Menurut Kepala Polwiltabes Bandung Ajun Komisaris Besar Polisi Masguntur Laupe, dari pemeriksaan awal tersangka telah menyekap anak-anak di bawah umur. "Unsur penyekapan telah terbukti dengan pintu gerbang yang digembok. Termasuk soal gaji yang tidak dibayar," kata Masguntur.
Kasus penyekapan pekerja anak di Bandung, hanya satu contoh dari banyak kasus buruh anak di Indonesia. Kasus di Sumatra Utara, banyak anak-anak yang dipekerjakan di jermal-jermal di tengah laut. Selain dipaksa bekerja di lokasi berisiko tinggi, mereka juga kerap menjadi korban pelecehan seksual dari rekan kerjanya yang sudah tua.
Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999, disebutkan bahwa usia minimum anak yang diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Namun dalam praktiknya, anak di bawah usia itu pun ada yang dipekerjakan. Kondisi memprihatinkan ini sebenarnya sangat disadari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun upaya Depnakertrans belum membuahkan hasil lantaran pengawas pekerja anak untuk seluruh Indonesia baru 150 orang.
Pekerja anak-anak memang sangat disukai sejumlah pengusaha dengan pertimbangan antara lain tekun, disiplin, dan bisa digaji lebih rendah. Namun, menurut Menakertrans Jacob Nuwa Wea pandangan seperti itu tidak dapat dibiarkan. Anak-anak, menurut Jacob, bagaimana pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan waktu bermain. "Kondisi ini kadang diperburuk dengan penegakan hukum yang tidak adil," kata Jacob, tampak geram.
Ironisnya, Jacob mengakui, pemberantasan pekerja anak-anak memang sangat sulit. Hal ini karena faktor ekonomi yang kemudian diperparah dengan krisis ekonomi. Kesulitan inilah yang kemudian banyak mendorong orangtua memaksa anaknya untuk bekerja. "Kalau perekonomian baik, saya kira siapa pun tak akan mempekerjakan anaknya," kata Jacob.
Kendati demikian, Menurut Manajer Program Nasional untuk Organisasi Buruh PBB (ILO) Panji Putranto tak sepakat dengan Jacob. Menurut dia, eksploitasi pekerja anak sebenarnya tak sulit diberantas. Semua tergantung pada kemauan dan komitmen pemerintah. "Kenyataannya, selama ini usaha pemerintah belum maksimal," kata Panji.
Panji mengusulkan, pemerintah membuat pilot project di tempat atau di daerah yang pekerja anaknya cukup banyak. Di daerah tersebut, pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat sudah berupaya memberikan pengertian kepada orangtua yang mempekerjakan anak-anaknya. "Selama ini penanganan pekerja anak-anak terkesan rumit karena pemerintah daerah pun tak pernah mengimplementasikan perda yang mengatur pekerja anak-anak," kata Panji. Tampaknya derita pekerja anak Indonesia, bakal menjadi kisah pilu yang sangat panjang.(YYT/Tim Derap Hukum SCTV)
Dewi adalah satu di antara anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan di CV Langgeng Computer Embriodery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati. Dewi kabur dari rumah Budi--yang sekaligus menjadi pabrik--karena tak tahan dipekerjakan di luar batas kemanusiaan. Polisi yang menggerebek konveksi tersebut kemudian menemukan 12 anak berusia 11 hingga 18 tahun. Sebagian besar dari mereka berasal dari daerah sekitar Bandung dan Cianjur.
Dede Sutianingsih, seorang anak yang juga senasib dengan Dewi akhirnya berkisah. Menurut gadis muda ini, anak-anak yang bekerja di konveksi milik Budi harus bekerja selama 12 jam dari pukul 07.00 hingga 19.00 WIB. Mereka hanya diberi waktu istirahat setengah jam. Parahnya, selama istirahat itu mereka dilarang ke luar atau beranjak dari tempat kerja. "Jongkok atau berdiri sebentar saja si Engkoh (Budi) dan si Enci (Herawati) suka marah. Bahkan sering mencaci maki dengan kata-kata goblok, anjing, sambil mendorong kepala," kata Dede, miris.
Bisa jadi, penderitaan tadi tak dialami mereka, seandainya tak ada orang yang bernama Pipin, calo pekerja. Namun, perempuan ini malah mengaku tak menyangka anak-anak itu akan bernasib buruk. "Kalau kursus menjahit kan harus bayar. Sedangkan bekerja di konveksi itu bekerja sambil belajar," kata Pipin yang mengaku mendapat upah Rp 20 ribu per anak dari Budi.
Menurut Dede, sebelumnya Pipin memang menjanjikan iming-iming gaji lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Selain itu mereka juga akan diajari membordir dan menjahit. Namun, setelah beberapa bulan bekerja, janji tinggal janji. Gaji tak pernah mereka terima, yang ada malah cacian dan makian. "Alasannya gaji belum dibayar, karena bekerja baru empat bulan, belum setahun," kata Dede.
Sebenarnya anak-anak tadi sudah tak betah buat tinggal dan bekerja di tempat itu. Namun Ai Solihat--yang berusia 11 tahun--tak berani pulang kampung, karena takut tersesat. Sementara Pipit, sempat berniat kabur, namun pintu konveksi selalu digembok. Kini anak-anak itu memilih pulang kampung dan kembali ke orangtuanya. Dede, Ai Solihat, dan Pipit yang berasal dari Gunung Halu, Bandung, mengaku belum berencana mencari pekerjaan lain. Maklum, mereka umumnya trauma dengan perlakuan Budi dan Herawati, sang majikan.
Budi dan Herawati yang kini resmi menjadi tersangka, kontan membantah telah menyekap dan mempekerjakan anak-anak di luar batas kemanusiaan. Menurut Budi, anak-anak diterima kerja semata-mata sebagai upaya menolong orangtua mereka. "Di antara anak-anak itu, bahkan ada yang diserahkan langsung orangtuanya," kata lelaki yang mendirikan konveksi sejak 1995 ini.
Apapun alasan yang dikemukakan Budi dan Herawati, keduanya kini dikenai status tahanan rumah setelah sebelumnya harus meringkuk di tahanan Polwiltabes Bandung. Suami istri yang diganjar Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan Kebebasan Seseorang itu, mengaku pasrah. Menurut Kepala Polwiltabes Bandung Ajun Komisaris Besar Polisi Masguntur Laupe, dari pemeriksaan awal tersangka telah menyekap anak-anak di bawah umur. "Unsur penyekapan telah terbukti dengan pintu gerbang yang digembok. Termasuk soal gaji yang tidak dibayar," kata Masguntur.
Kasus penyekapan pekerja anak di Bandung, hanya satu contoh dari banyak kasus buruh anak di Indonesia. Kasus di Sumatra Utara, banyak anak-anak yang dipekerjakan di jermal-jermal di tengah laut. Selain dipaksa bekerja di lokasi berisiko tinggi, mereka juga kerap menjadi korban pelecehan seksual dari rekan kerjanya yang sudah tua.
Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999, disebutkan bahwa usia minimum anak yang diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Namun dalam praktiknya, anak di bawah usia itu pun ada yang dipekerjakan. Kondisi memprihatinkan ini sebenarnya sangat disadari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun upaya Depnakertrans belum membuahkan hasil lantaran pengawas pekerja anak untuk seluruh Indonesia baru 150 orang.
Pekerja anak-anak memang sangat disukai sejumlah pengusaha dengan pertimbangan antara lain tekun, disiplin, dan bisa digaji lebih rendah. Namun, menurut Menakertrans Jacob Nuwa Wea pandangan seperti itu tidak dapat dibiarkan. Anak-anak, menurut Jacob, bagaimana pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan waktu bermain. "Kondisi ini kadang diperburuk dengan penegakan hukum yang tidak adil," kata Jacob, tampak geram.
Ironisnya, Jacob mengakui, pemberantasan pekerja anak-anak memang sangat sulit. Hal ini karena faktor ekonomi yang kemudian diperparah dengan krisis ekonomi. Kesulitan inilah yang kemudian banyak mendorong orangtua memaksa anaknya untuk bekerja. "Kalau perekonomian baik, saya kira siapa pun tak akan mempekerjakan anaknya," kata Jacob.
Kendati demikian, Menurut Manajer Program Nasional untuk Organisasi Buruh PBB (ILO) Panji Putranto tak sepakat dengan Jacob. Menurut dia, eksploitasi pekerja anak sebenarnya tak sulit diberantas. Semua tergantung pada kemauan dan komitmen pemerintah. "Kenyataannya, selama ini usaha pemerintah belum maksimal," kata Panji.
Panji mengusulkan, pemerintah membuat pilot project di tempat atau di daerah yang pekerja anaknya cukup banyak. Di daerah tersebut, pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat sudah berupaya memberikan pengertian kepada orangtua yang mempekerjakan anak-anaknya. "Selama ini penanganan pekerja anak-anak terkesan rumit karena pemerintah daerah pun tak pernah mengimplementasikan perda yang mengatur pekerja anak-anak," kata Panji. Tampaknya derita pekerja anak Indonesia, bakal menjadi kisah pilu yang sangat panjang.(YYT/Tim Derap Hukum SCTV)