Sukses

HEADLINE: Kepala Baru BNPB Doni Monardo, Punya Gebrakan Apa Hadapi Bencana?

Presiden Jokowi melantik Letjen TNI Doni Monardo menjadi kepala BNPB. Bagaimana BNPB di tangan nakhoda baru?

Liputan6.com, Jakarta - Setelah pelantikan tertunda selama sepekan, Letjen TNI Doni Monardo akhirnya resmi didapuk sebagai Kepala BNPB yang baru. Dia menggantikan Laksdya TNI Willem Rampangilei.

Doni Monardo dilantik langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana, Rabu (9/1/2019). Usai pelantikan, Doni menegaskan akan lebih menekankan perluasan mitigasi bencana.

"BNPB akan menyusun rencana agar mitigasinya kita perluas dan akan kita tingkatkan. Mudah-mudahan ini akan sampai ke tingkat desa termasuk hingga ke RW. Semua harus dilibatkan," ujar Doni di Istana.

Langkah Doni Monardo dinilai tepat oleh Eko Teguh Paripurno. Ketua Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPTPRB) itu menilai, tugas pemimpin baru BNPB hendaknya juga bisa membuat budaya aman dan siap siaga. Sikap ini bukan hal yang sederhana.

"Apalagi kita semua masih menganggap, membangun kesiapan masih merupakan hal yang percuma dan urusan yang menghamburkan uang. Kasus Palu, penelitian tentang gempa, tsunami dan likuifaksi sudah dilakukan sejak tahun 2007," ujar Eko kepada Liputan6.com, Rabu (9/1/2019).

Dia menegaskan, BNPB masih perlu mentransformasikan peraturan itu menjadi kebijakan, penganggaran dan tindakan. Sekali dua tindakan dianggapnya belum mampu menghadirkan budaya aman.

"Jadi perlu pendidikan latihan dan perulangan. Ada monitoring dan evaluasi juga. Sayangnya tidak semua daerah melakukan itu," ucap Eko.

Selain itu, Doni Monardo juga diminta menjelaskan tentang 2.500 bencana yang dipaparkan BNPB. Bahaya hidrometeorologi dianggap berpotensi menimbulkan bencana, sehingga semua harus bersiap-siap mengantisipasinya.

"Permasalahannya, kita semua belum menyikapi itu semua dengan baik. Di kawasan rawan longsor, pembangunan kita cenderung menjadi beban lereng berlebih. Kita cenderung tak menghargai sungai dan sempadannya. Rumah kita tidak ber-SNI sesuai peruntukannya," jelas Eko.

Infografis Kepala BNPB Doni Monardo (Liputan6.com/Triyasni)

Untuk itu, BNPB harus mengampanyekan tentang ragam bahaya di sekitar lingkungan. Selain itu, juga menyebarluaskan informasi terkait bahaya ke semua pihak di kawasan rawan bencana, agar mereka selalu siaga.

"Juga meningkatkan kemampuan dan mengurangi kerentanan terkait bahaya. Ini perlu dilakukan terus menerus agar kita bisa melakukan tindakan mengantisipasi dengan baik. Sebab masing-masing bahaya akan memerlukan tindakan yang berbeda," jelas dia.

Eko juga menilai, Doni Monardo tepat diberikan tugas sebagai kepala BNPB yang baru. Sebagai aktivis lingkungan lewat gerakan sungainya, pria kelahiran 55 tahun lalu itu dinilai mampu mencegah bentuk bencana ekologis.

"Karena perlu diingat, kerusakan lingkungan adalah awal hadirnya bencana ekologis," ujar dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Sodik Mudjahid menilai, pemerintah masih terbelenggu paradigma lama tentang bencana. Di mana BNPB hanya dianggap menangani darurat bencana sehingga perlu sosok militer dengan track record yang istimewa.

"Tugas BNPB dalam bidang bencana bukan hanya menangani darurat bencana tapi juga dalam bidang mitigasi dan rehabilitasi serta rekonstruksi," ujar Sodik kepada Lipuan6.com, Rabu (9/1/2019).

Namun begitu, ia tidak mempermasalahkan latar belakang sosok pemimpin BNPB. Yang terpenting, siapa pun yang bertugas, harus memiliki paradigma baru penanganan bencana.

"Yaitu membangun bangsa yang paham, peduli, dan tangguh bencana dengan prioritas mitigasi bencana," ucap Sodik.

Untuk mendukung itu, ia mengusulkan agar peraturan Mendagri tentang organisasi itu diubah. Ini untuk menguatkan BNPB dan BPBD serta semakin fungsional dalam penanganan bencana di daerah-daerah.

"Selain itu ada kenaikan anggaran BNPB dalam anggaran perubahan. Juga ada penggunaan dana oncall bukan hanya untuk darurat bencana tapi juga dalam mitigasi," ujar dia.

 

2 dari 3 halaman

Tantangan Doni

Usai melantik Doni Monardo sebagai kepala BNPB, Presiden Joko Widodo membeberkan pekerjaan rumah yang harus ditangani mantan Danjen Kopassus tersebut. PR utamanya melanjutkan rekonstruksi dan rehabilitasi di daerah terdampak bencana.

"‎Saya kira ini masih dalam rangka rekonstruksi, rehabilitasi di Lombok dan Palu. Kemudian masih ada lagi pekerjaan besar di Lampung dan Banten. Masih banyak lagi pekerjaan besar Pak Doni Monardo," kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Rabu (9/1/2019).

Jokowi mengatakan, perlu sosok yang kuat untuk menyelesaikan rekonstruksi di wilayah-wilayah terdampak bencana. Dia menilai sosok itu ada pada Doni Monardo.

"Itu yang saya sampaikan membutuhkan manejemen yang kuat, lapangan yang kuat," ujar Jokowi.

Atas arahan Jokowi, Doni Monardo akan melakukan sejumlah gebrakan baru. Dia mempertimbangkan mitigasi bencana masuk dalam kurikulum pembelajaran.

"Kami akan memantau perkembangan sejauh mana konsep dan program pembelajaran bagi pelajar. Bahkan bukan hanya SMP/SMA tapi sampai SD dan TK. Termasuk daerah-daerah dengan potensi bencana yang tinggi. Mungkin dari rumah tangga, balita, juga disampaikan. Sehingga persiapannya akan lebih maksimal," ucap dia.

 

Warga memeriksa puing-puing di mana rumah mereka berdiri sebelum gempa dan tsunami di Petobo, Palu, Kamis (4/10). Wilayah Kelurahan Petobo di Palu menjadi salah satu daerah yang terkena dampak parah karena 'ditelan bumi'. (AFP/ ADEK BERRY)

Selain itu, BNPB akan menguatkan mitigasi bencana dengan melihat hasil kajian dan riset sejumlah pakar di bidang kebencanaan. Terutama adanya sejumlah potensi megathrust di beberapa wilayah.

"Tentu ini harus kita sampaikan ke publik dengan cara-cara yang tepat sehingga nanti semua kawasan yang memiliki potensi bencana sudah mempersiapkan diri," ujar dia.

Potensi megathrust atau gempa besar pernah diungkapkan para peneliti kegempaan. Namun begitu, belum banyak yang bisa digali terkait informasi itu.

"Megathrust, tidak banyak yang tahu. Kita tahu itu ada sumbernya, potensi sumbernya. Bisa menghasilkan gempa bumi besar seperti Aceh. Baru sampai itu saja. Harus ada penelitian lebih lagi," ujar Mudrik R Daryono, Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kepada Liputan6.com, Rabu (9/1/2019).

Dalam penelitian yang ia tuangkan di buku ilmiah beberapa tahun lalu, Mudrik mengungkapkan tentang adanya sumber ancaman dan gempa nasional termasuk mengidentifikasi sumber sesar aktif.

"Sesar aktif itu mulai Surabaya, Semarang, Cirebon, berbelok ke arah Bandung. Jelas ada (potensi itu)," ujar Mudrik.

Gempa itu, lanjut dia, berpotensi merusak lantaran ditimbulkan oleh sesar aktif. Namun mengenai rincian kejadian gempa, perlu ada penelitian lebih dalam.

Seorang wanita berdoa di depan puing-puing bangunan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (11/8). BNPB menyatakan gempa Lombok hingga saat ini telah menewaskan 387 orang. (AP Photo/ Firdia Lisnawati)

"Masih banyak parameter yang belum tahu. Harus ada penelitian mendalam yang meliputi jalurnya di mana, menghasilkan seberapa besar gempa, kecepatan bergeraknya berapa, tiap berapa tahun sekali. Itu belum tahu," jelas Mudrik.

Dia berujar, tak hanya 2019, bencana gempa akan setia menyapa Indonesia selamanya. Geografis Indonesia yang berdiri di atas jalur Ring of Fire (Cincin Api Pasifik), memiliki konsekuensi tersendiri terhadap guncangan gempa.

"Indonesia memiliki keindahan, tanah kita subur, terus kaya berbagai macam hal, air dan mineral. Namun di situ kita juga menyimpan potensi bencana. Di situ ada sesar aktif yang bisa menghasilkan gempa bumi," ujar dia.

Untuk itu, masyarakat harus tetap waspada terhadap ancaman tersebut. Sebab banyak hal yang belum diketahui terkait potensi bencana gempa. Lindu juga tak bisa diramalkan.

Pandangan udara memperlihatkan sejumlah bangunan rusak usai dilanda gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo disusul tsunami melanda Palu dan Donggala pada 28 September 2018. (JEWEL SAMAD/AFP)

"Tahap selanjutnya kita harus bareng-bareng meneliti bersama sumber-sumber gempa itu dengan baik, sehingga kita bermitigasi dengan baik," ucap Mudrik.

BNPB dalam rilis akhir tahun 2018 lalu mengungkapkan, Indonesia masih akan disapa bencana pada 2019. Bencana itu diprediksi mencapai ribuan kali.

"Diprediksi bencana selama 2019 lebih dari 2.500 kejadian bencana di seluruh wilayah Indonesia," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan di kantornya, Kemayoran, Jakarta, Senin 31 Desember 2018.

Bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, hingga puting beliung masih mendominasi. Selain gempa, potensi tsunami juga ada. Namun potensi tsunami tergantung pada besaran gempa bumi dan lokasinya.

"Jika gempa lebih dari 7 SR, kedalaman kurang dari 20 km dan berada di jalur subduksi, maka ada potensi tsunami. Sistem peringatan dini tsunami sudah lebih baik dibanding sebelumnya," kata Sutopo.

Sutopo mengungkapkan, selama 2019, gempa akan terjadi setiap bulan dengan jumlah sekitar 500 kejadian. Namun begitu, gempa bumi tidak dapat diprediksikan secara pasti mengenai tempat, besaran gempa hingga waktu terjadinya bencana tersebut.

"Namun diprediksi gempa terjadi di jalur subduksi di laut dan jalur sesar di darat. Perlu diwaspadai gempa-gempa di Indonesia bagian timur yang kondisi seismisitas dan geologinya lebih rumit dan kerentanannya lebih tinggi," papar Sutopo.

 

3 dari 3 halaman

Latar Belakang Jenderal Doni

Pelantikan Doni menjadi Kepala BNPB tergolong tak biasa. Ini menyusul posisi Doni yang saat ini masih menjadi anggota TNI aktif. Padahal, Kepala BNPB selalu dipimpin purnawirawan TNI.

Karenanya, penunjukan Doni dianggap telah melanggar Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang melarang TNI aktif menduduki jabatan sipil. Hal itu tertuang dalam Pasal 47 ayat 1.

Sedangkan ayat 2, memuat jabatan yang boleh diduduki hanya di Kemenko Polhukam, Kemenhan, BIN, Sandi Negara, Lemhanas, Sekretaris Militer Presiden, Dewan Pertahanan Nasional, Basarnas, BNN, dan MA. Tak ada pos BNPB dalam peraturan itu.

BNPB sendiri merupakan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang dipimpin seorang kepala dan berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden sesuai dengan Perpres Nomor 8 Tahun 2008 (PDF).

Namun bagi Pengamat militer Universitas Indonesia, Edy Prasetyono, keputusan Jokowi itu harus merujuk Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, yang diturunkan dalam Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008.

"Dalam Perpres itu membuka ruang untuk pelibatan prajurit TNI. Jadi bukan di Undang-Undang TNI-nya, tapi di penanggulangan bencana, itu ada. Di sana disebutkan ada unsur-unsur pelaksana BNPB," ucap Edy kepada Liputan6.com, Rabu (9/1/2019).

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjabat tangan dengan Letjen Doni Monardo seusai pelantikan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Istana Negara, Rabu (9/1). Doni Monardo menggantikan Willem Rampangilei. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dia pun mendengar kabar, Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 telah direvisi pemerintah. Aturan barunya tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2019.

"Perpres Nomor 1 tahun 2019 itu, salah satunya mengatur pelibatan Kemenko Polhukam dan Kemenko PMK. Kalau itu melibatkan Kemenko Polhukam, TNI (Perwira aktif) bisa masuk. Ruangnya ada," ungkap Edy.

Dia menuturkan, untuk membaca pelantikan Doni, harus dimulai dari Perpres yang mengatur penanggulangan bencana. Selanjutnya, disesuaikan dengan peraturan soal administrasi prajurit.

"Kita cek lagi, di dalam PP Nomor 39 tentang Administrasi Prajurit TNI, itu dikatakan bahwa sudah dapat menduduki jabatan di instansi lain, yang ditetapkan dalam peraturan perundangan. Jadi penjurunya harus aturan penanggulangan bencana dulu," jelas Edy.

Menurutnya, tak ada pertentangan antara Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007dengan UU TNI Pasal 47 ayat 2.

"Jadi cantolannya adalah UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dan konsisten dengan ini prajurit aktif TNI dapat menduduki 10 K/L termasuk search and rescue (SAR) sebagaimana dinyatakan dalam UU TNI Pasal 47 Ayat 2," tutur Edy.

Ia juga melihat, penanganan bencana harus terintegrasi. Hal itu sebenarnya sudah dipikirkan sejak lama.

"Perubahan itu sudah pernah dipikirkan sejak Desember 2017. Intinya adalah penanganan yang lebih terintegratif," jelas Edy.

 

Saksikan video pilihan berikut ini: