Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan untuk membebaskan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir. Namun, keputusan yang didasari pertimbangan kemanusiaan itu tidak serta merta berjalan mulus.
Abu Bakar Baasyir menolak menandatangani sebuah dokumen yang disodorkan sesuai prosedur Peraturan Menteri (Permen) Hukum dan HAM. Isinya ada sejumlah poin pernyataan yang harus diamini lewat tanda tangan.
Pertama, Abu Bakar Baasyir diminta mengakui kesalahannya. Kedua, menyesali perbuatan pidana itu dan tidak mengulangi lagi. Kemudian ketiga, pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila.
Advertisement
Kuasa Hukum Baasyir, Mahendra Datta menyampaikan, poin-poin tersebut memicu keberatan Abu Bakar Baasyir. Terlebih soal pengakuan tindak pidana yang dilakukan.
"Yang jelas, yang tidak mau ditandatangani adalah janji tidak akan melakukan tindak pidananya lagi. Ustaz seumur-umur sampai meninggal katakanlah, sampai di penjara, enggak mau dikatakan telah melakukan tindak pidana. Apalagi, artinya kan telah melakukan," tutur Mahendra Datta di kantornya, Jalan Raya Fatmawati, Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Senin 21 Januari 2019.
Hingga saat ini, Abu Bakar Baasyir menampik terlibat dalam aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Dia menegaskan bukanlah aktor perencana latihan militer di Aceh dan Cijantung, tidak terkait dengan bom Bali, hingga bom Mariot.
"Beliau tidak tahu kalau latihan militer kesiapan untuk para muhajid yang ingin berangkat ke Palestina. Yang dia tahu itu latihan yang bersifat sosial," jelas dia.
Termasuk surat tertulis setia kepada NKRI dan Pancasila. Menurut Baasyir, Islam tidak bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu, kenapa tidak disebutkan Islam saja dalam dokumen tersebut.
"Pembicaraannya gini (dengan Yusril). Ustaz kalau gini kok enggak mau tanda tangan, kalau Pancasila itu sama dengan bela Islam. Loh kalau gitu sama dengan Pancasila, kenapa saya enggak bela Islam, kan sama saja. Jadi belum sampai ke argumen yang menyakinan ustaz," kata Mahendra.
Menurut dia, kesetiaan Abu Bakar Baasyir terhadap NKRI tidak perlu diragukan, apalagi sampai harus diikat lewat secarik kertas. Bagi Mahendra, jelas perjuangan dakwah yang dilakukan Baasyir selama ini adalah demi kemaslahatan bangsa.
Senada dengan itu, kuasa hukum lainnya, Achmad Michdan mengatakan, Abu Bakar Baasyir sangat mencintai negaranya. Tapi memang kalau soal ideologi, sudah sangat memgakar dalam dirinya bahwa tidak ada aturan yang paling tepat ditegakkan di muka bumi selain hukum Islam.
Dia membenarkan bahwa hingga saat ini pandangan Abu Bakar Baasyir soal kenegaraan tidak berubah. Indonesia diharapkan dapat menerapkan aturan Islam.
"Saya pikir ustaz ini lebih pada kecintaannya lebih ke Islam. Dia memang agak prinsip soal keislaman itu. Beliau memang menginginkan bagaimana negara ini diatur secara Islam, itu benar. Tapi kalau sepanjang dilakukan secara konstusional, saya pikir nggak ada masalah," beber Michdan.
Dakwah Abu Bakar Baasyir selama ini memang menyuarakan soal hukum Islam. Untuk itu, demi kemaslahatan Indonesia, maka aturan tersebut dinilainya harus diterapkan.
"Jadi kalau mau bagaimana mengatur negara ini dengan baik, berguna bangsa dan negara, maka aturlah secara Islam," ujarnya.
Abu Bakar Baasyir sendiri mengutuk keras setiap aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Dalam menjalankan ideologinya, dia menyatakan tidak akan menggunakan aksi semacam teror, apalagi serangan bom.
"Beliau nggak suka kekerasan," terang Michdan.
Tim penasihat hukum Abu Bakar Baasyir meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak muluk-muluk jika memang ingin membebaskan kliennya. Sebagai seorang kepala negara, prosedur tanda tangan dokumen sesuai Permen Hukum dan Ham sebenarnya bisa dikesampingkan olehnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Ingin Buru-Buru
Pengacara menyarankan untuk mengambil Rabu 23 Januari 2019 sebagai hari pembebasan Abu Bakar Baasyir. Intinya, pekan ini kliennya mesti keluar dari jeruji besi.
"Harus selesai minggu ini. Kalau tidak selesai, kami dengan sangat menyesal akan bersikap lain," kata kuasa hukum Baasyir, Mahendra Datta.
Menko Polhukam Wiranto menyebut, Presiden Jokowi tidak akan terburu-buru mengambil keputusan terkait pembebasan Abu Bakar Baasyir.
"Presiden kan tidak boleh grusa-grusu. Tidak serta merta ya membuat keputusan. Tapi perlu pertimbangan dari aspek-aspek lainnya," ucap Wiranto di kantornya, Jakarta, Senin 21 Januari 2019.
Jokowi telah memerintahkan kembali para pejabatnya untuk melakukan kajian mendalam guna merespons polemik yang terjadi dan mulai jadi perbincangan masyarakat.
"Jangan sampai ada satu spekulasi-spekulasi lain berhubungan dengan Abu Bakar Baasyir yang masih di dalam tahanan itu. Sekarang banyak sekali perkembangan informasi yang saat ini muncul dari beberapa pihak, dan ini penjelasan resmi dari saya, mewakili pemerintah," kata Wiranto.
Polri sendiri memastikan akan memonitor atau mengawasi Baasyir setelah bebas nanti sama seperti terhadap mantan napi teroris lainnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, pihaknya belum menerima keterangan resmi dari pemerintah dalam hal ini Derektorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) terkait pembebasan Abu Bakar Baasyir.
"Tapi pada prinsipnya, dari kepolisian akan melakukan monitoring. Kalau misalnya beliau ABB kembali ke Solo, ya nanti tugasnya Polresta Solo sama Polda Jateng yang akan melaksanakan monitoring tersebut," ujar Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Senin 21 Januari 2019.
Bukan hanya terhadap eks napi terorisme, Polri juga terus mengawasi sel-sel tidur kelompok teroris. Polri telah memiliki data orang-orang yang ada dalam jaringan kelompok teroris, termasuk simpatisannya.
"Apalagi sudah ada UU Nomor 5 Tahun 2018. Jadi kerja Satgas yang ada di Polda-polda itu jauh lebih efektif sekarang ini," tuturnya.
Dalam hal ini, pengawasan terhadap eks napi teroris juga dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama stakeholder terkait. Pemerintah juga bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat dalam rangka program deradikalisasi.
Paralel dengan itu, Polri terus melakukan pengawasan untuk mengantisipasi penyebaran paham radikal.
"Setiap pergerakan-pergerakan sekecil apapun yang mencurigakan, dari Satgas itu akan melakukan mitigasi secara maksimal agar tak terjadi aksi," Dedi menandaskan.
Advertisement