Sukses

Istana: Syarat Taat Pancasila dan NKRI Tak Bisa Dinegosiasi

Mantan Panglima TNI ini membantah tudingan bahwa pembebasan Abu Bakar Baasyir terkait Pilpres 2019.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir harus memenuhi sejumlah persyaratan sebelum dibebaskan dari penjara Gunung Sindur Bogor, Jawa Barat. Di antaranya syarat menandatangani ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila.

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 84 huruf d ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 3 Tahun 2018. Pasal tersebut berbunyi: “Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana warga negara Indonesia.”

"Itu persyaratan yang tidak boleh dinegosiasikan," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/1).

Mantan Panglima TNI ini membantah tudingan bahwa pembebasan Abu Bakar Baasyir terkait Pilpres 2019. Pada 2017 lalu, keluarga Abu Bakar Ba'asyir mengajukan permintaan pembebasan kepada Jokowi, namun ditolak.

Baru jelang Pilpres 2019, Jokowi berencana mengabulkan permintaan itu dengan catatan Abu Bakar Ba'asyir harus memenuhi persyaratan tertentu.

"Nggak ada hubungan (dengan elektabilitas di Pilpres). Nggak ada sama sekali," tegas dia.

Moeldoko menjelaskan, Jokowi berencana membebaskan Abu Bakar Baasyir karena pertimbangan kemanusiaan. Selain itu, Abu Bakar Baasyir disebut sudah menjalani dua pertiga masa hukuman.

"Sekarang karena sudah memenuhi dua pertiga masa hukuman maka Pak Yusril (Advokat Yusril Ihza Mahendra) melakukan pendekatan (kepada Presiden Jokowi) bahwa yang bersangkutan ini diajukan kembali pembebasan bersyarat karena sudah memenuhi dua pertiga masa tahanan. Itu pertimbangan Pak Yusril," jelasnya.

Meski rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir masih dilakukan kajian mendalam oleh Kemenko Polhukam, Moeldoko memastikan fasilitas kesehatan yang diberikan kepada pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah itu tak dikurangi.

"Bahkan kita akan lebihkan kalau bisa dilebihkan untuk urusan kesehatan ya. Ini urusan kemanusiaan ya, engga bisa dikurangi," ucap Moeldoko.

 

 

 

2 dari 2 halaman

Perjalanan Kasus

Abu Bakar Baasyir ditangkap pada 2010 silam di Banjar, Jawa Barat, saat dalam perjalanan dari Tasikmalaya ke Solo. Saat itu, dia dituding terlibat dalam perencanaan pelatihan paramiliter di Aceh. Juga pendanaannya.

Sebanyak 32 pengacara yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) berbondong-bondong mengajukan diri membelanya.

Pada Kamis 10 Februari 2011, Abu Bakar Baasyir menghadapi sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) itu didakwa dengan tujuh pasal berlapis yang tertuang dalam berkas setebal 93 halaman.

Senin 9 Mei 2011, jaksa menuntut Abu Bakar Baasyir dengan hukuman seumur hidup.

Namun, pada Kamis 16 Juni 2011, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya 15 tahun penjara.

Kala itu, majelis hakim menilai Amir Jamaah Anshorud Tauhid atau JAT itu terbukti merencanakan atau menggerakkan pelatihan militer bersama Dulmatin alias Yahyah Ibrahim alias Joko Pitono.

Vonis dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Herri Swantoro yang didampingi empat hakim anggota, yakni Aksir, Sudarwin, Haminal Umam, dan Ari Juwantoro.

"Menjatuhkan pidana dengan penjara selama 15 tahun. Menetapkan masa penahanan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan," ujar Herri.

Saat sidang, Baasyir sudah ditahan selama 10 bulan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri. Vonis yang dijatuhkan rupanya lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum, penjara seumur hidup.

Hakim menjelaskan, dalam pertimbangannya tidak sependapat dengan tuntutan jaksa bahwa Abu Bakar Baasyir juga mengumpulkan dana untuk pelatihan militer di Aceh sesuai dakwaan lebih subsider.

 

Reporter: Titin Supriatin

Sumber: Merdeka.com.

 

Saksikan video pilihan berikut ini: