Liputan6.com, Jakarta - Terlahir dengan nama Raden Soedirman, 24 Januari 1916, Sudirman menjelma menjadi pemimpin yang dihormati lantaran ketaatannya pada Islam. Namanya mulai mencuat ketika dia mengikuti program kepanduan yang dijalankan organisasi Islam Muhammadiyah saat mengenyam pendidikan sekolah formal.
"Sejak kecil, beliau merupakan seorang anak yang pandai dan juga sangat menyukai organisasi. Dimulai dari organisasi yang terdapat di sekolahnya dahulu, beliau sudah menunjukkan kriteria pemimpin yang disukai dimasyarakat," tulis Hermansyah Sihombing dalam Biografi Jenderal Sudirman, dikutip Liputan6.com, Selasa (29/1/2019).
Kecintaannya dalam berorganisasi terbawa saat mengawali karir sebagai seorang guru setelah mengeyam ilmu pedagogik di sekolah keguruan bernama HIK selama setahun. Dia memimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada 1937.
Advertisement
Hingga pada 1944, Jenderal Sudirman bergabung dalam tentara Pembela Tanah Air (PETA) usungan Jepang ketika negara matahari terbit itu menduduki Hindia Belanda. Dia menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas.
Kendati demikian, perjalanan karir militernya di PETA tidak begitu mulus. Bersama dengan kerabat sesama prajurit, dia melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang yang membuatnya diasingkan ke Bogor.
Namun, setelah Indonesia Mengikrarkan proklamasi pada 1945, Jenderal Sudirman melarikan diri ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno. Sang Proklamator menugaskan Jenderal Sudirman untuk mengawasiproses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelahmendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat.
Penugasan tersebut menjadi batu loncatan Jenderal Sudirman untuk menjajaki babak baru dalam karir militernya. Pada 18 Desember 1945, dia resmi diangkat menjadi panglima besar setelah penarikan tentara Inggris lantaran diserang sejumlah pasukan yang diperintahkan [Jenderal Sudirman](Jenderal "").
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tetap Berperang Walau TBC
Selang tiga tahun, Sang Jenderal menjadi saksi kegagalan negosiasi dalam Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dia juga menghadapi upaya kudeta tahta kepemimpinan pada 1948.
"Ia (Jenderal Sudirman) kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya," tulis Herlambang.
Penyakit yang menyerang sistem pernapasan tersebut berkembang dalam raga Jenderal Sudirman. Hingga pada November 1948, paru-paru kanannya dikempeskan lantaran ditengarai sudah mengalami infeksi.
Kendati demikian, dia tetap melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang kala itu melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, Jenderal Sudirman melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan.
Hingga akhirnya Belanda mulai menarik diri, Jenderal Sudirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949 oleh Presiden Soekarno.
"Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarangoleh Presiden Soekarno," tulis Herlambang.
Didasari larangan tersebut, Jenderal Sudirman melayangkan ancaman akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai panglima besar. Hal itu membuat Presiden Soekarno melayangkan ancaman yang sama, hingga niat Sang Jenderal tersebut luntur.
Meskipun begitu, dia diangkat sebagai Panglima Besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat pada 28 Desember 1949. Bersamaan dengan itu, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.
Selang sebulan, Jenderal Sudirman wafat di Magelang, Jawa Timur. Kabar duka tersebut dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI yang membuatnya didatangi para pelayat.
Â
Reporter:Â Rifqi Aufal Sutisna
Â
Advertisement