Liputan6.com, Jakarta - Cuitan ujaran kebencian membawa Ahmad Dhani Prasetyo ke penjara. Ia divonis 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin 28 Januari 2019.
Pentolan grup band Dewa itu dinyatakan terbukti bersalah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian. Ia pun langsung dibawa ke rumah tahanan Cipinang usai sidang.
Baca Juga
Pihak Dhani mengaku akan melakukan perlawanan hukum. Banding segera diajukan. Pengacara suami Mulan Jameela itu, Hendarsam Marantoko menilai, keputusan yang disampaikan majelis hakim sangat subjektif. Menurutnya, tiga cuitan Dhani, yang menjadi objek tuntutan tidak mengandung ujaran kebencian dan SARA.
Advertisement
"Kami tadinya berharap hakim memberikan pertimbangan yang merujuk pada nilai-nilai akademik, yang sarat dengan muatan hukum, argumentasi dan dalil-dalil hukum. Ini yang tidak kami lihat," kata Hendarsam saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (29/01/2019).
Kasus Ahmad Dhani sebenarnya berjalan sejak Juli 2017. Dhani dilaporkan oleh Jack Boyd Lapian atas tiga cuitannya pada Maret 2017 di akun Twitter @AHMADDHANIPRAST. Tiga cuitan yang dibuat Dhani itu terkait dengan Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Terkait pemidanaan Ahmad Dhani, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, vonis tersebut merupakan langkah tegas aparat hukum untuk mengedukasi masyarakat: ada sanksi tegas yang menanti pelaku ujaran kebencian.
Namun, di sisi lain, vonis itu juga dapat berpotensi mengundang ketidakpuasan dari kubu koalisi oposisi.
"Dalam hal ini elite partai bertugas menyampaikan kepada para pendukungnya bahwa vonis tersebut telah melalui proses yang sah menurut hukum," kata Titi saat dihubungi Liputan6.com Selasa (29/1/2019).
Menurut Titi, di tengah kondisi masyarakat yang terpolarisasi di tahun politik, rawan munculnya interpretasi berbeda terhadap suatu vonis hukum yang dianggap merugikan kelompok tertentu.
"Solusinya adalah aparat pengadilan harus mampu menerangkan vonis itu secara terbuka dan akuntabel," kata dia.
Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, ujaran kebencian merupakan bagian dari ekspresi kemarahan dan ketidakpuasan yang lama terpendam.
Panasnya situasi politik saat ini, Siti menilai, dapat memicu munculnya luapan kemarahan tersebut.
"Demokrasi yang kita bangun sekarang ini masih memiliki masalah, yaitu minus rasa saling percaya," kata Siti Zuhro saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (29/1/2019).
Menurut dia, vonis terhadap Ahmad Dhani juga harus menjadi momentum bagi pemerintah dan penegak hukum untuk mencegah terjadinya kembali ujaran kebencian.
Zuhro meminta tokoh publik untuk lebih berhati-hati menyampaikan pendapat, khususnya yang rentan menimbulkan polemik. Dia pun berkaca pada kasus Ahmad Dhani, yang karena cuitannya itu, harus berakhir di jeruji besi.
"Habis terkuras energi kita, dijejali info yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Efeknya di bawah, masyarakat seperti diadu domba. Ini yang enggak boleh," kata dia.
Zuhro mengingatkan, partai politik juga punya peran besar agar mengingatkan kader-kadernya agar tidak terjebak dalam praktik ujaran kebencian dan penyebaran berita hoaks.
Menurut dia, sebagai sarana pendidikan politik, parpol mesti membuat aturan tegas bagi para kadernya untuk berhati-hati dalam menyampaikan sebuah pernyataan.
"Jangan sampai kader partrai justru menyampaikan hate speech, memproduksi hoaks atau pun membiarkan adanya hoaks itu beredar. Itu jangan sampai terjadi," kata dia.
Perubahan Pola Ujaran Kebencian
Sementara itu, peneliti Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Savic Ali menyatakan, tren yang terjadi saat ini, ujaran kebencian justru terindentifikasi datang dari partisan poliitik.
Menurut Savic, hasil itu merupakan penelusuran yang dilakukan NU dengan melibatkan ribuan kata kunci, ribuan postingan atau status di ribuan akun Twitter dan Facebook selama tiga bulan.
Dia menuturkan, temuan penelusuran NU itu berbeda dengan tiga tahun lalu. Sebab saat itu ujaran kebencian terindikasi berasal dari orang-orang yang intoleran.
"Sekarang semua kekacauan dan hate speech ini 80 persen dilakukan oleh orang yang datang dari partisan Parpol," kata Savic seperti dilansir dari NU.or.id.
Savic menuturkan, kian riuhnya media sosial dengan ujaran kebencian membuat masyarakat bingung membedakan mana fakta dan hoaks. "Itulah tujuan akun-akun tersebut," kata dia.
Akibatnya, kata Savic, polarisasi di masyarakat kian meruncing dan membuat eskalasi kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu semakin kian besar. Semua dilakukan untuk kepentingan politik tertentu.
"Mereka menggunakan isu saja, karena menurut mereka masyarakat Indonesia itu religius, maka mereka gunakan isu itu," ucap Savic.
"Kita bisa saksikan benar signifikansi agama bagi masyarakat kita, dan ini disadari benar oleh peternak-peternak politik untuk menggiring opini dari masyarakat luas," sambung dia.
"Mulutmu Harimaumu.."
Vonis penjara 1,5 tahun bagi Ahmad Dhani disayangkan oleh kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga Uno.
"Yang terjadi kepada Ahmad Dhani jelas kriminalisasi dan upaya membungkam kritik kepada pemerintah. Salah satu prinsip demokrasi adalah kebebasan berpendapat, baik lisan maupun tulisan. Ini jelas sebuah lonceng kematian demokrasi di Indonesia," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/1/2019).
Karena itu, dia mendukung langkah Dhani melawan dengan mengajukan banding. Fadli juga meminta agar tim relawan Prabowo-Sandiaga ikut mengawasi proses hukum yang dilalui oleh Dhani.
Sementara itu, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade mengatakan, kendati mendekam dalam penjara, posisi Dhani dalam tim pemenangan tidak akan tergantikan.
"Kami mendukung sepenuhnya Mas Dhani, kita tetap menempatkan namanya di BPN, dan Gerindra tetap mendukungnya untuk pencalegan DPR RI," kata Andre kepada Liputan6.com, Selasa (29/1/2019).
Selain tak menggeser posisi Dhani secara struktural, Andre mengatakan Prabowo-Sandi juga terus memberi dukungan moral dan hukum, mendampingi hingga proses banding.
"Kami dukung terus untuk beliau, untuk melakukan banding di pengadilan tinggi nanti karena beliau berjuang untuk demokrasi, bukan melakukan penipuan oprasi plastik," tegas Andre.
Sementara, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Ace Hasan Syadzily meminta semua pihak, termasuk kubu Prabowo-Sandi menghormati proses hukum terhadap mantan suami Maya Estianty itu.
"Ahmad Dhani telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena telah terbukti melakukan ujaran kebencian. Hormati itu dan seharusnya membawa efek jera bagi para pelakunya,” tukas Ace saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (29/1/2019).
Menurutnya, Ahmad Dhani juga harus mengambil hikmah dari hukuman yang menimpa dirinya tersebut. Dia berharap Dhani dapat mengambil pelajaran agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu, khususnya di media sosial.
"Tidak usah lagi sekarang sembarangan bicara. Jaga tutur kata. Taati proses hukum yang sedang dilaluinya. Semoga sabar dan tabah," ucap politikus Partai Golkar itu.
Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni juga menilai, vonis penjara bagi Ahmad Dhani sebagai peringatan bagi semua pihak agar lebih bijak menggunakan media sosial.
"Ini peringatan bagi AD dan kita semua. Perlu hati dan pikiran yang jernih dalam mempergunakan media sosial," kata Raja Juli kepada Liputan6.com, Selasa (29/1/2019).
"Ibarat pepatah, 'mulutmu harimaumu', kini pepatah ini dalam konteks AD 'menjadi jempolmu harimaumu'."
Advertisement
Awal Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian kerap berseliweran di media sosial, apalagi di tahun politik saat ini. Berawal dari beda pendapat, jadi adu gagasan, perang kata-kata, hingga menyulut emosi negatif. Tak jarang perselisihan di dunia maya berimbas ke dunia nyata.
Guru besar Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengingatkan agar dalam perdebatan politik, masyarakat tetap mengedepankan rasa hormat antara satu dengan yang lainnya.
Perdebatan politik karena perbedaan pilihan yang masih dalam konteks kesantunan akan menghindarkan masyarakat dari dampak buruk pemilu yakni perpecahan sosial yang berlebihan.
"Di tengah debat calon kandidat yang semakin memanas, sudah seharusnya masyarakat para pendukung para kandidat ini secara rasional dalam mendapatkan informasi apapun dari dunia maya ataupun di dunia nyata untuk dapat menahan diri dari ujaran kebencian saat melakukan berdebatan," ujar Hikmahanto Juwana dilansir dari Antara Selasa (29/1/2019).
Perdebatan politik yang dilakukan tanpa kesantunan dan kehati-hatian, baik yang terjadi di dunia nyata maupun dunia maya berpotensi besar menghilangkan substansi perdebatan politik, yang ujungnya terjebak pada ujaran kebencian yang tidak produktif.
Menurutnya, jika ujaran kebencian ini terus dibiarkan berkembang, itu akan berdampak pada menyuburkan perpecahan hingga setelah pesta politik kelak berakhir.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah melalui aparat penegak hukum serta penyelenggara pemilu untuk mengambil tindakan tegas kepada siapa saja yang menggunakan ujaran kebencian.
"Jangan pernah pemerintah dan aparat penegak hukum menolerir ujaran kebencian. Apalagi bila masyarakat tersebut dalam melakukan debat juga sudah menggunakan ancaman kekerasan, ini akan semakin tidak baik bagi keutuhan bangsa ini," pungkas Hikmahanto.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin Abdul Kadir Karding mengatakan, ada sejumlah cara yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian dan hoaks yang merebak saat ini.
Pertama, Menkominfo dan kepolisian harus turun tangan, jangan membiarkan hal itu memecah persatuan, memecah belah masyarakat, dan membuat rusuh masyarakat, hingga saling membenci gara-gara hoaks.
"Jadi peran-peran pemerintah dalam konteks ini, Menkominfo dan Kepolisian itu penting. Termasuk juga menurut saya keterlibatan teman-teman media untuk tidak memberi kanal kepada mereka," kata Karding kepada Liputan6.com.
Kedua, tim kampanye nasional, mau tidak mau bekerja keras mengidentifikasi sekaligus menghalau berita hoaks. Kemudian, menjelaskan bahwa informasi yang diterima masyarakat itu adalah bohong belaka.
Selain itu, partai-partai politik juga harus memberikan ultimatum dan aturan yang tegas kepada para kadernya agar menghindari kata-kata yang tidak pantas dan layak diucapkan ke publik.
"Peran partai tentu sangat penting. Berkaca pada kasus Ahmad Dhani, beliau ini kan kader partai Gerindra. Tentu sejak awal parpol harusnya mewanti-wanti kepada para kadernya agar menghindar dari ucapan yang berbahaya," kata dia.