Liputan6.com, Pematangsiantar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ahmad Basarah, mengatakan bahwa krisis etika kehidupan berbangsa tidak kunjung usai. Salah satu faktor penyebabnya adalah fungsi Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara belum berjalan sebagaimana mestinya. Amanat TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa belum diindahkan sebagai norma hukum yang mengikat warga negara kita.
"Latar belakang munculnya TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 terbagi atas faktor internal dan eksternal. Namun faktor-faktor tersebut adalah hilirnya saja. Kita perbaiki dulu hulunya karena Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa berada di ruang sunyi dan hanya diambil jargonnya saja," ujar Basarah, dalam acara Seminar Kebangsaan MPR RI bertajuk "Pancasila Etika Berbangsa: Tujuan dan Substansi Butir-Butir Ketetapan MPR RI Nomor VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa" di kampus Sekolah Tinggi Theologi (STT) HKBP Pematangsiantar, Sumatera Utara, Kamis (31/1/2019).
Ia menambahkan, hilangnya budaya sopan santun, meredupnya semangat gotong royong, menguatnya politik identitas, dan tersebarnya kabar hoax merupakan bukti nyata dari memudarnya etika kehidupan berbangsa. Belum lagi faktor eksternal berupa imbas dari globalisasi yang menunggangi kecanggihan teknologi untuk membawa nilai dan budaya baru.
Advertisement
"Jangan-jangan selama ini Pancasila hanya dijadikan sebagai judul-judulan dalam pidato dan dikhotbahkan di mimbar-mimbar saja, tanpa kita tahu bagaimana mengamalkannya," ucap Sekretaris Dewan Penasehat, Bamusi.
Wakil rakyat yang juga Ketua Badan Sosialiasi MPR RI tersebut mengatakan bahwa secara yuridis ketentuan TAP MPR Nomor VI tahun 2001 memang masih dinyatakan berlaku tetapi terdapat beberapa hambatan. Mulai dari pengaturannya yang masih bersifat umum, belum adanya mekanisme penegakan etika, kesulitan mengevaluasi pelaksanaan etika kehidupan berbangsa termasuk internalisasi, serta sosialiasi etika kehidupan berbangsa.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang berisi rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia untuk menyelamatkan dan meningkatkan kualitas serta peradaban kehidupan berbangsa.
"Harapan kita semua bahwa seminar ini bisa memberikan solusi konkret untuk mengurai krisis etika berbangsa. Bentuk dan wujud nyatanya adalah kajian naskah akademis Rancangan Undang Undang Etika Berbangsa dan Bernegara dan menjadi usulan dari pemerintah. Dan gagasannya dimulai dari seminar ini," kata Basarah.
Di lokasi sama, Kepala BPHN Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Benny Riyanto, sepakat dengan rencana dibentuknya RUU Etika Kehidupan Berbangsa.
"Hukum dan etika harus dijadikan sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Perundang-Undangan Kemenkumham, Widodo Eka Tjahjana, menjelaskan bahwa wacana publik untuk menggagas Rancangan Undang-Undang Tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan dalam TAP MPR RI Nomor VI tahun 2001 layak diapresiasi.
"Saya kira bagus agar dapat menjadi instrumen hukum yang efektif dalam menjaga dan menegakkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia," ucapnya.
Hadir dalam acara tersebut Walikota Pematangsiantar Hefriansyah Noor, anggota MPR RI Martin Hutabarat, Kepala BPHN Kemenkumham Prof Benny Riyanto, Dirjen Perundang-Undangan Kemenkumham Prof Widodo Eka Tjahjana, serta akademisi Jan Patar Simamora. Bertindak sebagai moderator adalah Pdt Hulman Sinaga dan Pdt Robinson Butar butar. Adapun jumlah peserta sebanyak 1.000 orang dari lintas profesi dan golongan.
(*)