Sukses

Penyelewengan Dana Haji Antarkan Menag Said Agil ke Bui pada 2006

Di persidangan, Said Agil mengaku mendapatkan dana sebesar Rp 4,5 miliar selama menjadi Menteri Agama periode 2002-2004.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji mengumumkan tersangka baru kasus penyelewengan dana haji di Departemen Agama. "Tersangka barunya berinisial SAHAM. Tim penyidik sudah meminta dia dicekal," ujar Hendarman di Gedung Bundar Kejagung, Kamis 16 Juni 2005.

Hendarman tidak mau menyebutkan identitas tersangka tersebut. Namun, Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com mencatat, inisial itu tak lain adalah kependekan dari Said Agil Husin Al Munawar, Menteri Agama pada Kabinet Gotong Royong.

Bersamaan dengan penetapan tersangka tersebut, tim penyidik Mabes Polri di bawah koordinasi Timtastipikor langsung mengusulkan pencekalan. Pencekalan dilakukan lewat Jaksa Agung untuk diteruskan ke Ditjen Imigrasi.

Menurut Hendarman, Said Agil terindikasikan melakukan tindak pidana korupsi dengan cara bersama-sama melakukan. Selain itu, Said Agil juga dimintai pertanggungjawaban dalam pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU) senilai Rp 680 miliar yang pelaksanaannya dinilai menyimpang dari UU Nomor 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Keppres Nomor 22/2001 tentang Penggunaan DAU.

Di persidangan, Said Agil yang menjadi terdakwa perkara dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU) dan Dana Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), mengaku mendapatkan dana sebesar Rp 4,5 miliar selama menjadi Menteri Agama periode 2002-2004.

Dana itu merupakan akumulasi dana taktis uang lelah, uang transport, uang honor, insentif, dan tunjangan lain di luar gajinya sebagai Menteri Agama. Ia membenarkan pernyataan jaksa penuntut umum tentang dana Rp 4,5 miliar itu dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/1/2006).

Said Agil mengaku tidak ingat besarnya dana taktis dan tunjangan lain yang diterimanya setiap bulan. "Yang resmi saya mendapat Rp 10 juta dari BPIH dan Rp 15 juta dari Ketua Badan Pengelola DAU setiap bulan di luar gaji sebesar Rp 19,9 juta dari Sekretariat Negara," ujar Said.

Namun, dia menyatakan, semua uang yang diterimanya telah sesuai prosedur kepegawaian. "Uang lelah, insentif honor, transport, uang rapat, uang lembur, dan lain-lain masuk komponen tidak langsung operasional pusat belanja pegawai. Semua itu masuk komponen BPIH," kata Said.

Dia menegaskan tidak menumpuk harta selama menjadi menteri. Saat ini kata dia, dana di rekeningnya hanya Rp 56 juta. Said juga mengatakan, pengelolaan DAU selalu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17/1999 tentang Ibadah Haji.

Tapi undang-undang itu, menurut Said, tidak dijabarkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), melainkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22/2001 tentang pengelolaan DAU dan BPIH. "Keppres itu mengizinkan Menteri Agama menetapkan kebijakan," kata Said.

JPU Ranu Mihardja menilai, Said Agil selalu berkilah hanya menjalankan Keppres Nomor 22/2001, terutama Pasal 8 yang menurut Said membolehkannya membuat kebijakan. Tapi, menurut Ranu, Pasal 8 Keppres itu secara ekspilisit menyatakan Menteri Agama hanya bisa menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas Badan Pengelola untuk DAU dan BPIH. Ranu berpendapat, Said salah menginterpretasikan Keppres tersebut.

Akhirnya, pada Selasa 7 Februari 2006 atau 13 tahun lalu, Said Agil Husein Al Munawar oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat diputus bersalah. Majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menjatuhkan putusan 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.

Selain itu, Said Agil diwajibkan memebayar uang penganti kerugian negara Rp 2 miliar subsider satu tahun penjara. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya yang menuntut Said Agil 10 tahun penjara.

Dalam pertimbangannya, majelis menjawab dua pertanyaan dalam pembelaan Said Agil. Pertama, mempertanyakan kewenangan pengadilan menilai kebijakan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) itu bertentangan dengan UU dan Keputusan Presiden (Keppres).

Kedua, tentang pertanggungjawaban seorang Menteri. Menurut Said Agil masalah pertanggungjawaban penyelengaraan haji telah dilaporkan ke Presiden. Dan menurut Said Agil, Presiden tidak pernah mempermasalahkannya.

Menurut Majelis, JPU dalam dakwaannya tidak mempermasalahkan KMA. Melainkan perbuatan materiil dari Said Agil dalam penggunaan dana Badan Pengelola Ibadah Haji (BPIH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan rekening lain di luar DAU.

Selanjutnya, meski Said Agil diberi kewenangan untuk mengelola BPIH dan DAU serta sudah mempertanggungjawabkannya ke presiden, Majelis menganggap laporan tersebut sifatnya global. Sehingga tidak dapat diketahui adanya penyimpangan. Sehingga pertanggungjawaban tersebut oleh majelis dianggap bersifat administratif.

Majelis menambahkan, menurut Hukum Administrasi Negara (HAN), setiap kewenangan yang diberikan kepada pejabat negara harus sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya wewenang. Jika melewatinya maka dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Terkait perbuatan Said Agil, maka menyalahi UU 17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan Keppres yang dibuat setiap musim haji.

Di samping itu, fakta persidangan membuktikan pengeluaran yang ada bukan hanya untuk penyelenggaraan haji sesuai hasil rapat dengan Komisi VI DPR tetapi juga komponen lain yang mendasarkan pada KMA, disposisi dan perintah lisan Direktur Jendral BPIH.

Namun, Said Aqil menolak menerima vonis tersebut.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Harta Karun hingga Kuota Haji

Tak terima dengan putusan itu, Said Agil kemudian mengajukan banding atas vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak perlu menunggu lama, Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 April 2006 mengeluarkan putusan banding yang memperberat vonis Said menjadi 7 tahun penjara.

Putusan itu pun kemudian dibawa ke tingkat kasasi. Mahkamah Agung dalam putusan kasasi memvonis Said Agil Husein al-Munawar lima tahun penjara. Putusan ini sama seperti putusan pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut hakim agung Iskandar Kamil, ketua majelis kasasi, putusan itu dibacakan pada 16 Agustus 2006.

"Kami membatalkan putusan pada tingkat banding dan mengembalikan sama seperti putusan di pengadilan negeri," kata Iskandar, Rabu 30 Agustus 2006.

Iskandar mengatakan, majelis kasasi menilai pertimbanga hukum dalam putusan majelis banding Pengadilan Tinggi Jakarta tidak cukup untuk memperberat vonis Said.

"Karena itu, kami mengembalikan putusan itu sama seperti putusan pada peradilan tingkat pertama," ujarnya.

Namun, Said Agil tak lama dipenjara, sekitar pertengahan 2008 dia sudah bebas bersyarat.

Sosok Said Agil memang dikenal kontroversial. Selama memimpin Departemen Agama, sejumlah kasus miring kerap melibatkan namanya. Sepak terjang Said Agil mulai menjadi sorotan banyak pihak setelah ia menginstruksikan penggalian di lokasi situs bersejarah, Batu Tulis, Kota Bogor, Jawa Barat.

Kala itu Agustus 2002, Said Agil mengaku mendapat informasi dari seseorang yang menyebutkan bahwa di bawah tanah wilayah Batu Tulis tersimpan peninggalan harta Prabu Siliwangi. Penggalian harta karun tersebut dipimpin langsung oleh Said Agil di Bogor dari siang hingga malam hari, Kamis (15/8/2002).

Kegiatan ini menimbulkan protes keras dari berbagai pihak. Menteri Agama dinilai syirik dan merusak cagar sejarah. Belakangan, janji harta karun itu tak lebih dari isapan jempol belaka. Pada hari kedua, penggalian pun dihentikan karena tidak ada harta yang ditemukan.

Namun, Said Agil berkilah tentang penyebab dihentikannya penggalian. "Sudah banyak mulut-mulut yang menyebarkan lebih dulu, ya lebih baik ditutup saja dulu," kata Said Agil di Jakarta, Jumat (16/8/2002).

Said Agil juga mengungkapkan dalam penggalian harta karun tersebut ada pihak-pihak yang tidak ikhlas memberikannya kepada negara. Tetapi ia enggan menyebutkan identitas orang yang dimaksudkannya. "Ada yang tidak ikhlas, sehingga hartanya keburu raib," kata Said Agil.

Said Agil kembali menuai gunjingan setelah adanya pembatalan kuota 30 ribu calon jemaah haji untuk tahun 2004. Kala itu dengan yakin Departemen Agama membuka pendaftaran tambahan 30 ribu calon haji tanpa ada kepastian resmi dari pemerintah Arab Saudi.

Buntutnya, setelah para jemaah berbondong-bondong mendaftarkan diri, penambahan kuota itu urung terealisasi. Kondisi ini jelas membuat berang calon jemaah yang sudah menyetorkan ongkos naik haji namun tak jadi berangkat ke Tanah Suci. Desakan mundur pun dialamatkan kepada Said Agil.

Masih dalam pengurusan kegiatan haji tahun 2004. Sekali lagi kabar tak sedap melibatkan nama Said Agil. Saat itu beredar rekaman pembicaraan telepon seseorang yang mengaku bernama Fahmi Alwi, adik Said Agil yang meminta uang sebesar Rp 400 juta kepada seorang pengelola katering, Mahmud di Madinah, Arab Saudi. Konon, uang itu untuk memuluskan tender perusahaan Mahmud dalam memberikan jasa konsumsi bagi jemaah haji.

Pengiriman jemaah haji ke Arab Saudi adalah 'bisnis' yang menggiurkan. Bayangkan, sedikitnya 200 ribu orang per tahun berangkat menunaikan ibadah haji dengan biaya sekitar Rp 25 juta per orang. Biaya ini selalu naik setiap tahun.

Sekalipun menggiurkan, penyelenggaraan haji adalah bisnis yang harus bebas dari praktik kotor karena ini adalah 'bisnis suci'. Faktanya penyelenggaraan haji yang masih dimonopoli pemerintah ini tidak bebas dari praktik tidak terpuji.

Jauh sebelum polisi dan kejaksaan mengungkap dugaan korupsi di Departemen Agama, sudah banyak kalangan mencium aroma ketidakwajaran dan dugaan korupsi dalam penyelenggaraan haji. Beberapa hal yang dinilai tidak wajar itu, misalnya tiket pesawat, biaya penginapan hingga makanan selama di Tanah Suci. Namun suara-suara jemaah haji yang sempat kecewa atas pelayanan yang diberikan selama menjalani ibadah haji senantiasa diredam sedemikian rupa.

Mobilisasi sekitar 200 ribu jemaah haji setiap tahun bukanlah perkara mudah dan kecil. Tetapi alih-alih mendapat status profesional dan rapi dalam penyelenggaraan haji, Departemen Agama selaku penyelenggara ibadah haji justru mendapat tudingan sebagai lembaga korup. Untuk memenuhi hak jemaah haji, sejumlah kalangan akhirnya mengusulkan perubahan pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.