Sukses

Ketika Abu Gunung Kelud Tutupi Sebagian Pulau Jawa 5 Tahun Lalu

Meskipun kerugian materi mencapai ratusan miliar rupiah, jumlah korban jiwa tercatat hanya 4 orang, itu pun bukan akibat letusan secara langsung.

Liputan6.com, Jakarta - Sebagian besar warga yang tinggal di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang, Jawa Timur telah beranjak ke peraduan. Namun, malam itu, Kamis 13 Februari 2014, tepat pukul 22.55 WIB, terdengar bunyi dentuman yang sangat keras dari Gunung Kelud. Semua warga terjaga dan tidur tak lagi menjadi penting bagi mereka.

Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com mencatat, letusan ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Gunung Kelud pada era modern. Hujan abu akibat dampak letusan telah menerpa hingga sejumlah wilayah di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang berjarak lebih dari 200 km dari Gunung Kelud.

Ketua Tim Pemantau Aktivitas Gunung Kelud dari PVMBG Bandung Umar Rosyadi mengatakan letusan tahun ini sangat luar biasa. Ketinggian lontaran material ke angkasa hingga radius 17 kilometer menjadi bukti besarnya daya ledak magma Gunung Kelud.

"Ini letusan terbesar sepanjang sejarah Gunung Kelud," kata Umar, di pos pemantauan Gunung Kelud Dusun Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Rabu, 26 Februari 2014.

Sesaat setelah letusan dahsyat itu, kawasan sekitar lereng gunung mengalami hujan batu dan kerikil. Hujan batu terjadi di radius 5 klometer dari kawasan puncak sedangkan hujan kerikil dikabarkan hingga radius 50 kilometer. Dampak berupa abu vulkanik pada tanggal 14 Februari 2014 dini hari dilaporkan warga telah mencapai Kabupaten Ponorogo.

Di Yogyakarta, teramati hampir seluruh wilayah tertutup abu vulkanik yang cukup pekat, melebihi abu vulkanik dari Merapi pada tahun 2010. Ketebalan abu vulkanik di kawasan Yogyakarta dan Sleman bahkan diperkirakan lebih dari 2 centimeter.

Dampak abu vulkanik juga mengarah ke arah Barat Jawa, dan dilaporkan sudah mencapai Kabupaten Ciamis, Bandung dan beberapa daerah lain di Jawa Barat. Pada 14 Februari siang hari, hujan abu dari letusan telah melumpuhkan Jawa. Tujuh bandara di Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Semarang, Cilacap dan Bandung, harus ditutup lebih dari seminggu.

Akibat letusan ini pula, ratusan ribu jiwa dari 5 kabupaten yakni Kediri, Malang, Blitar, Batu dan Tulungagung harus mengungsi. Secara resmi BNPB mencatat jumlah pengungsi sehari pascaerupsi mencapai 76.388 jiwa yang sebagian besar didominasi anak-anak, lansia dan ibu-ibu.

Secara matematis, jumlah penduduk di radius 10 kilometer area terdampak letusan kurang lebih 150.000 jiwa. Kenyataannya, pada saat letusan tahun 2014 itu sebagian besar warga hingga radius 20 kilometer dari titik letusan memilih menjauh.

Dampak kerusakan yang ditimbulkan juga tak kalah dahsyat. Data dari Pemprov Jawa Timur ada 12.304 rumah yang mengalami kerusakan pascaerupsi tersebut. Sebagian besar kerusakan pada atap galvalum rumah yang roboh akibat tak mampu menahan pasir yang terhambur serta genting yang pecah tertimpa hujan batu.

Kerugian materil juga terjadi akibat penutupan bandara yang dinilai mencapai miliaran rupiah, termasuk sekitar 2 miliar rupiah di Bandara Internasional Juanda di Surabaya.

Kerusakan yang paling parah diderita sektor manufaktur dan industri pertanian. Kebun apel di Batu, Jawa Timur, membukukan kerugian hingga Rp 17,8 miliar, sedangkan industri susu membukukan kerugian lebih banyak lagi akibat susu tercemar debu dan sapi perah yang tidak mengeluarkan susu.

Meskipun kerugian materi mencapai ratusan miliar rupiah, jumlah korban jiwa tercatat hanya 4 orang, itu pun bukan akibat letusan secara langsung.

Letusan Gunung Kelud bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Sejak awal 2014, aktivitas vulkanik Gunung Kelud sudah diketahui kembali meningkat. Terjadi peningkatan jumlah kegempaan di Gunung Kelud yang didominasi oleh Gempa Vulkanik Dangkal (VB) dan Vulkanik Dalam (VA).

Gempa vulkanik dalam meningkat sejak 15 Januari 2014 dengan kisaran 22-157 kejadian per hari. Akhir Januari 2014, gempa vulkanik dangkal meningkat signifikan dalam kisaran 13-90 kejadian per hari atau rata-rata 37 kejadian per hari.

Berdasarkan peningkatan kegempaan vulkanik yang cukup signifikan, status Gunung Kelud dinaikkan dari Normal (Level I) menjadi Waspada (Level II) pada awal Februari. Radius 2 kilometer dari puncak dikosongkan.

Hasil pemantauan menyatakan adanya peningkatan energi sejak 6 Februari. Gempa tersebar di sekitar Gunung Kelud, dengan kedalaman di bawah 5 kilometer dari bawah puncak dan umumnya terkonsentrasi pada kedalaman 1,5 kilometer sampai 2,5 kilometer.

Pada 9 Februari 2014, terjadi peningkatan energi di mana amplitudo gempa-gempa vulkanik relatif membesar dan jumlah yang meningkat. Kalkulasi hiposenter gempa-gempa vulkanik memperlihatkan sebaran gempa di sekitar Gunung Kelud dengan kedalaman mencapai 3 kilometer di bawah puncak.

Status dinaikkan dari Waspada menjadi Siaga pada pukul 16.00 WIB pada 10 Februari 2014.

Pada 13 Februari 2014, berdasarkan hasil pemantauan visual dan instrumental serta potensi ancaman bahaya Gunung Kelud, pukul 21.15 WIB status kegiatan Gunung Kelud dinaikkan dari Siaga (level III) menjadi Awas (level IV).

Masyarakat di sekitar Gunung Kelud dan pengunjung tidak diperbolehkan melakukan aktivitas dan mendekati kawah. Demikian pula bagi mereka yang ada di puncak Gunung Kelud dalam radius 10 kilometer dari kawah aktif.

Pukul 22.55 WIB atau Kamis menjelang tengah malam, Gunung Kelud memuntahkan isi perutnya untuk pertama kali.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Catatan Panjang Letusan Kelud

Gunung Kelud atau sering juga dituliskan menjadi Kelut, dalam bahasa Jawa berarti 'sapu'. Sementara dalam bahasa Belanda, yang kerap disebut Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete itu adalah sebuah gunung berapi yang masih aktif di Jawa Timur.

Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang, kira-kira 27 km sebelah timur pusat Kota Kediri. Bersama dengan Gunung Merapi, Gunung Kelud merupakan gunung berapi paling aktif di Indonesia.

Tercatat, sejak tahun 1000 Masehi, Kelud telah meletus lebih dari 30 kali. Sejak 1300 Masehi, tercatat bahwa gunung Kelud aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang relatif pendek (9-25 tahun), sehingga menjadikannya sebagai gunung api yang berbahaya.

Hingga abad ke-15, Gunung Kelud telah memakan korban lebih dari 15.000 jiwa. Kemudian pada letusan berikutnya di tahun 1586 masehi, tercatat telah merenggut korban lebih dari 10.000 jiwa.

Kelud meletus lagi pada 1919, dengan volume air danau kawah saat itu mencapai 40 juta meter kubik. Letusan di tahun 1919 ini termasuk yang paling mematikan karena menelan korban hingga 5.160 jiwa. Letusan dahsyat yang mematikan ini juga merusak sampai 15.000 hektare lahan produktif.

Hal itu terjadi akibat aliran lahar Kelud yang turun dengan deras hingga mencapai jarak 38 km di bawahnya, meskipun di Kali Badak telah dibangun bendung penahan lahar sejak tahun 1905, namun tak dapat menampung lahar.

Karena letusan inilah kemudian dibangun sistem saluran terowongan pembuangan air Danau Kawah. Sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar telah dibuat secara ekstensif pada 1926 dan selesai tahun 1926.

Setelah Indonesia merdeka, dibangun lagi terowongan baru sebagai tambahan dari terowongan yang lama setelah letusan tahun 1966. Terowongan atau tunnel yang baru itu berada 45 meter di bawah terowongan lama.

Terowongan yang selesai tahun 1967 itu diberi nama Terowongan Ampera. Saluran ini berfungsi mempertahankan volume danau kawah agar tetap 2,5 juta meter kubik.

Kelud kemudian meletus lagi pada 1990. Letusan ini berlangsung selama 45 hari, yaitu dari tanggal 10 Februari 1990 hingga 13 Maret 1990. Gunung Kelud memuntahkan 57,3 juta meter kubik material vulkanik.

Lahar dingin menjalar hingga 24 kilometer dari danau kawah dan melalui 11 sungai yang berhulu dari gunung itu. Letusan ini sempat menutup Terowongan Ampera, karena tak dapat menampung lagi jumlah material yang ada, lalu buntu atau tersumbat. Proses normalisasi terowongan baru selesai pada 1994.

Sejak 2004, akses jalan darat menuju kawasan puncak Gunung Kelud telah diperbaiki untuk mempermudah para wisatawan serta penduduk. Gunung Kelud telah menjadi obyek wisata dengan atraksi utama adalah kubah lava. Di puncak Gajahmungkur dibangun gardu pandang dengan tangga terbuat dari semen.

Aktivitas gunung ini meningkat pada akhir September 2007 dan terus berlanjut hingga November di tahun yang sama. Gejala ditandai dengan meningkatnya suhu air danau kawah, peningkatan kegempaan tremor, serta perubahan warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh.

Kekhasan gunung api ini adalah adanya danau kawah (hingga akhir tahun 2007) yang membuat lahar letusan sangat cair dan membahayakan penduduk sekitarnya.

Status Awas (tertinggi) dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sejak 16 Oktober 2007 yang berimplikasi penduduk dalam radius 10 km dari gunung (lebih kurang 135.000 jiwa) yang tinggal di lereng gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi.

Setelah sempat agak mereda, aktivitas Gunung Kelud kembali meningkat sejak 30 Oktober 2007 dengan peningkatan pesat suhu air danau kawah dan kegempaan vulkanik dangkal.

Pada 3 November 2007 sekitar pukul 16.00 WIB, suhu air danau melebihi 74 derajat Celsius, jauh di atas normal gejala letusan sebesar 40 derajat Celsius, sehingga menyebabkan alat pengukur suhu rusak.

Getaran gempa tremor dengan amplitudo besar (lebih dari 35 mm) menyebabkan petugas pengawas harus mengungsi, namun kembali tidak terjadi letusan.

Akibat aktivitas tinggi tersebut terjadi gejala unik dalam sejarah Kelud dengan munculnya asap tebal putih yang mengepul dari tengah danau kawah.

Lalu diikuti dengan munculnya kubah lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 November 2007, dan kubah itu terus tumbuh hingga berukuran selebar 100 m.

Akibatnya air di danau kawah gunung Kelud terus menguap karena panas yang berasal dari bawahnya, akhirnya danau mengecil dan hanya berupa kubangan.

Para ahli menganggap bahwa kubah lava itulah yang selama ini menyumbat saluran magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Energi untuk letusan dipakai untuk mendorong kubah lava sisa pada letusan sebelumnya di tahun 1990.

Sejak peristiwa tersebut, aktivitas pelepasan energi semakin berkurang dan pada 8 November 2007 status Gunung Kelud diturunkan menjadi Siaga. (dari berbagai sumber)

Â