Liputan6.com, Jakarta - Para pengemudi yang mengoperasikan fitur global positionig system (GPS) di telepon pintarnya saat berkendara harus mulai hati-hati dan waspada. Jika tak pintar menyiasati, Anda bisa didenda sebesar Rp 750 ribu dan juga pidana kurungan selama 3 bulan penjara.
Kasubdit Gakkum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kompol Herman Ruswandi mengatakan, larangan penggunaan GPS sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Sudah diatur di Pasal 106 ayat 1 dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, sehingga tidak diragukan lagi," kata Herman di Jakarta, Minggu (10/2/2019).
Advertisement
Saat ini, kata dia, penindakan dilakukan oleh petugas yang ada di lapangan. Namun ke depan penindakan tersebut akan diintegrasikan dengan sistem tilang elektronik menggunakan kamera CCTV.
"Saat ini masih oleh petugas, baik yang berjaga atau yang berpatroli, tapi ke depan ketika kamera CCTV sudah terpasang dan itu juga sudah bisa dijadikan alat bukti yang sah sesuai undang-undang," ujar Herman.
Dia mengungkapkan, pemakaian GPS saat berkendara berpotensi mengganggu konsentrasi pengemudi. Sehingga dikhawatirkan menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Meski demikian, Herman mengaku penggunaan GPS tetap diperbolehkan, asal tidak digunakan saat pengemudi tengah berkendara.
"Jika dia mengoperasikan GPS di ponselnya atau yang ditempelkan dalam keadaan kendaraan menepi di pinggir jalan, itu boleh. Yang jelas ditindak adalah yang mengoperasikannya saat jalan apalagi di jalur cepat, karena pasti akan mengganggu konsentrasi," kata dia.
Dengan aturan ini, Herman mengharapkan tidak ada lagi kecelakaan-kecelakaan fatal akibat pengemudi kehilangan konsentrasi ketika mengendarai kendaraannya.
"Karena aturan ini sesungguhnya bertujuan melindungi kepentingan umum yang lebih luas akibat perilaku pengemudi yang konsentrasinya terganggu karena menjalankan dua aktivitas," ujar Herman menambahkan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) secara bulat menolak pengujian Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terkait larangan penggunaan telepon saat sedang berkendara yang jika dilanggar bisa dipidana. Artinya, kedua pasal yang mewajibkan pengendara penuh konsentrasi/perhatian itu dinyatakan tetap konstitusional dan tetap berlaku.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi amar putusan MK No. 23/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Rabu 30 Januari 2019 lalu.
Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ berbunyi:
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi".
Penjelasannya menyebutkan:
"yang dimaksud dengan penuh konsentrasi adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan".
Sedangkan Pasal 283 UU LLAJ berbunyi:
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan ‘melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)".
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dasar Pertimbangan MK
Dalam pertimbangannya, MK beralasan dalam Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) telah dijelaskan peraturan mengemudi secara wajar, meski disadari bahwa materi muatannya masih sederhana dan belum mampu menjangkau seluruh aspek perilaku berkendara yang tidak tertib, termasuk penggunaan GPS.
MK memahami penggunaan GPS dapat membantu pengemudi mencapai tempat tujuan. Namun, menurut MK penggunaan GPS bisa merusak konsentrasi pengendara karena pengemudi melakukan dua aktivitas sekaligus.
Hal ini yang menjadi acuan Ditlantas Polda Metro Jaya dalam menerapkan aturan larangan penggunaan GPS dalam berkendara.
Dalam pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) tersebut, menyebutkan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Sementara Pasal 283 menyebutkan setiap orang yang melanggar Pasal 106 ayat 1 bisa dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu.
Sementara itu, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mendukung keputusan Mahkamah Agung (MK) yang menolak uji materi terkait penggunaan global positioning system (GPS) di telepon seluler saat berkendara.
"Mendukung," ujar Menhub di Cilegon, Banten, Minggu (3/2/2018).
Menurut Budi, pada dasarnya penggunaan gadget pada saat berkendara memang dilarang. Hal ini bukan hanya membahayakan bukan hanya bagi pengendara yang menggunakan gadget tersebut, tetapi juga pengendara lain.
"Sebenarnya memang secara mendasar penggunaan gadget itu tidak boleh oleh para pengemudi online dan pengemudi yang lain. Yaitu suatu landasan hukum ya sah-sah saja. Tapi message-nya adalah please jangan menggunakan gadget pada saat berkendara siapapun itu karena bahaya sekali. Kalau mau main gadget ya berhenti dulu," kata dia.
Budi mengungkapkan, pemerintah bersama instansi terkait juga terus mengkampanyekan keselamatan berkendara. Hal ini guna menekan angka kecelakaan di jalan raya.
"Sosialisasi kepada pengguna kendaraan? Oh selalu. Jadi keselamatan itu tiga hal sederhana, pakai helm, mengatur kecepatan, dan tidak menggunakan gadget. Itu suatu campaign yang secara sederhana selalu kita sampaikan pada masyarakat," ujar dia.
Budi Karya Sumadi juga menyatakan, pelarangan pengunaan GPS semata-mata untuk memberikan edukasi akan pentingnya keselamatan dalam berkendaraan.
"Saya melihat dari konteks edukasi, yang namanya transportasi keselamatan itu utama. Ini edukasi dari keputusan MK bahwa penggunaan smartphone pada saat jalan itu membahayakan. Jadi saya mengajak semua pihak tidak mendikotomikan pendapat ini," terang Budi.
Ia sendiri mengaku setiap melakukan kunjungan kerja ke daerah selalu menyampaikan kepada masyarakat agar dalam berkendaraan mengutamakan tiga hal, pertama menggunakan helm, kedua mengatur kecepatan, dan terakhir menggunakan alat komunikasi yang baik dan benar.
"Saya kalau keiling bicara tentang keselamaatan ini jadikan untuk menyemangati diri," ungkap Budi.
Advertisement
Cara Aman Melihat GPS
Di tengah perkembangan teknologi informasi yang semakin maju seperti GPS, keputusan MK menolak gugatan terhadap Pasal 106 (1) dirasa Road Safety Association (RSA) sudah tepat.
Ada 3 aspek keselamatan berkendara yang harus tetap diperhatikan, yakni menaati aturan lalu lintas, memahami ketrampilan berkendara, dan beretika di jalan raya.
Dalam polemik GPS pada smartphone, RSA memperhatikan dua aspek yang menjadi bahan analisa. Pertama ialah mengakomodir arus teknologi informasi yang akan mempermudah pengendara, dan faktor keterampilan berkendara dengan tetap menghargai aturan lalu lintas.
"Seperti yang kita ketahui, instrumen berkendara ada beberapa hal antara lain kemudi, persneling, pedal gas, dan spion. Masing-masing dari instrumen tersebut memiliki fungsi yang berbeda dalam hal ini, kami mencoba mengusulkan penggunaan GPS handphone diperlakukan seperti spion," kata Rio Octaviano sebagai anggota Badan Kehormatan RSA.
Spion biasa digunakan penggendara dengan cara melirik, bukan dengan melihat secara intens. Maka, dalam aturan berkendara dengan konsentrasi, menambah kegiatan berkendara dengan cara melirik GPS dinilai bisa dipertimbangkan.
Namun ada catatan yang tidak boleh dilakukan pengendara, seperti mengubah rute, mengubah pengaturan aplikasi dan menjalankan aplikasi lainnya saat melaju.
Hal ini secara lisan disetujui oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi saat berbincang dengan Rio Octaviano. Meski demikian, ia melarang kegiatan lain yang dapat mengganggu konsentrasi saat berkendara.