Sukses

Sidang Idrus Marham, Saksi Akui Ada Deadlock antara PLN dan Investor PLTU Riau-1

Jaksa menghadirkan Direktur Utama PT PLN persero, Sofyan Basir dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Persero, Supangkat Iwan Santoso dalam sidang dugaan penerimaan suap oleh Idrus Marham.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Direktur Utama PT PLN persero, Sofyan Basir dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Persero, Supangkat Iwan Santoso dalam sidang dugaan penerimaan suap oleh Idrus Marham terkait proyek PLTU Riau-1. Iwan mengaku terjadi deadlock dalam pembahasan pengerjaan proyek tersebut.

Dia menjelaskan, Johannes Budisutrisno Kotjo dan partner asal China dari perusahaan China Huadian Engineering Co. Ltd (CHEC) sebagai investor menolak masa pengendalian PLTU Riau-1 yang ditentukan PLN. 

Iwan menjelaskan investor menginginkan masa pengendalian proyek tersebut selama 20 tahun. Alasannya, modal awal mereka lebih banyak ketimbang PLN melalui anak perusahaannya, PT Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI).

Namun, Iwan bersikukuh masa pengendalian yang akan dilakukan Kotjo dan CHEC hanya 15 tahun dengan pertimbangan sudah balik modal.

"Jadi pendanaan PLTU Riau-1 memang dana sendiri, kemudian ada pinjaman ke bank namanya senior debt diutamakan masa pengembalian kira-kira 11 tahun. Untuk pengembalian modal sendiri kira-kira 4 tahun logikanya sudah tidak ada utang lagi," kata Iwan dalam sidang Idrus Marham di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (12/2/2019).

Penandatanganan power purchased agreement (ppa) awal menuju joint venture pun belum terealisasikan karena belum ada kesepakatan. 

Hingga Kotjo, lanjut dia, mengatakan akan mengusahakan melobi partnernya setuju masa pengendalian 15 tahun yang ditentukan PLN. Penolakan Kotjo dan CHEC diakui oleh Sofyan Basir. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Merasa Ditekan

Sofyan mengamini, pihak investor merasa ditekan PLN dengan masa pengendalian tersebut. Sofyan menilai hal itu perlu dilakukan lantaran terdapat keuntungan besar bagi PLN dengan skema tersebut. 

“Saya yakin mereka merasa ditekan dengan PLN tapi mereka tetap masih untung,” kata Sofyan.

Sementara dalam kasus ini, Idrus didakwa telah menerima Rp 2,25 miliar dari Johannes Kotjo. Uang tersebut diterima Idrus bersama-sama dengan Eni Maulani Saragih, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR. 

Dia didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka