Liputan6.com, Banyumas - Gurat-gurat usia jelas terlihat di wajah Mbok Minah. Rambut putihnya mengintip dari sejumlah sudut jilbabnya.
Tak banyak kata-kata yang terucap dari perempuan 65 tahun itu, sama seperti 10 tahun lalu. Namun, tatapannya tajam ketika Liputan6.com bersua ke rumahnya di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah.
Kejadian 2009 lalu, membuat Mbok Minah selalu gemetar ketika berhadapan dengan kamera jurnalis. Kala itu, dia tengah terseret ke pengadilan akibat mencuri tiga butir kakao.
Advertisement
Kamis 19 November 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang dipimpin Muslich Bambang Luqmono memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Majelis hakim memutus Mbok Minah bersalah melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Kasusnya ini sempat menggegerkan Tanah Air. Sebab, ironi hukum terjadi ketika seorang renta yang tidak memiliki akses dan tak mengerti hukum diadili untuk tiga butir kakao senilai Rp 30 ribu.
Sejumlah demonstrasi memprotes konflik agraria dan untuk membela Mbok Minah digelar bertubi-tubi di beberapa daerah. Mbok Minah menjadi simbol ketidakadilan hukum di negeri ini kala itu.
Gugatan ini bermula pada 2 Agustus 2009 ketika Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan. Saat itu, mata kecilnya melihat 3 buah kakao yang sudah matang di pohon di lahan yang juga dikelola oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Baca Juga
Mbok Minah lalu memetiknya untuk bibit di tanah garapannya. Tak terbesit sama sekali di pikirannya, tindakan itu salah. Dia bahkan tidak menyembunyikan 3 kakao yang dipetiknya. Buah cokelat tersebut hanya digeletakkan di bawah pohon.
Tak lama, seorang mandor perkebunan itu bertanya tentang kakao itu. Minah pun mengaku dia lah yang memetiknya.
Mandor tersebut menceramahinya dan Minah meminta maaf. Tiga kakao yang dipetiknya kemudian diserahkan ke pria itu.
Namun ternyata, kejadian ini berlanjut ke gugatan hukum. Seminggu setelahnya, Minah mendapat panggilan dari polisi. Proses penyelidikan hingga pelimpahan ke pengadilan berlangsung hanya dalam waktu tiga bulan.
Pengadilannya pun berlangsung hanya tiga kali, tanpa pendampingan pengacara, seperti dilansir Antara.
"Inyong (saya) tidak mau dihukum pak hakim," kata Mbok Minah saat memberikan pembelaannya sebelum mendengarkan vonis.
Saat ditanya soal peristiwa itu, Mbok Minah mengaku tidak trauma. "Ndak (trauma)," jawabnya kepada Liputan6.com.
Dia juga masih rajun ke kebun yang digarapnya. Tentunya, bukan kebun miliknya. Nenek tujuh anak dan belasan cucu tersebut kini, menggarap tanah berukuran tak lebih dari 80 ubin itu atau setara dengan 1.125 meter persegi. Tanah yang sama, di mana kasus pencurian terjadi 10 tahun lalu.
Padahal, tanah garapan itu berjarak 2 kilometer dari rumahnya. Anak-anaknya pun memenuhi sebagian kebutuhan Mbok Minah sehari-hari.
Namun, Mbok Minah bersama suaminya Sanrudi tak mau berpangku tangan. Di lahan tersebut, keduanya menanam macam-macam komoditas musiman. Ada jagung, ketela, kacang panjang dan cabai. Sedangkan lahan yang berupa sawah ditanami padi.
Tiap hari, Mbok Minah meniti jalan kecil dari Dusun Sidoharjo menuju kebunnya. Mulai dari menyiangi rumput, memupuk hingga memanen cabai dan kacang panjang dilakukan keduanya sendiri.
"Ya bagaimana, namanya juga petani. Masa cabai membeli," kata Mbok Minah.Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dua Sisi Peradilan
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan, perspektif hukum berbasis keadilan dan tepat hukum, memang sering kali berbenturan. Meski, seseorang yang terbukti melanggar hukum, ya sudah pasti salah.
Seperti yang terjadi dalam kasus Mbok Minah dan Baiq Nuril Maknun alias Nuril (36).
Mahkamah Agung (MA) memutus pidana 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta kepada Nuril, seorang perempuan korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Muslim, mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram NTB. Vonis ini diketok pada 26 September 2018 melalui putusan No. 574K/PID.SUS/2018.
"Tapi jika bangunan-bangunan hukumnya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, tentunya perlu didorong bagaimana hakim memahami suatu rasionalitas itu dikaitkan dengan norma-norma yang berlaku kemudian bagaimana jika dihadapkan dengan situasi seperti kasus-kasus tersebut," kata Jaja kepada Liputan6.com, Selasa 26 Februari 2019.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengatakan, hal ini merupakan perdebatan lama. Dia menyebut, perdebatan perspektif hukum berbasis keadilan dan tepat hukum tidak mungkin terselesaikan.
"Itu perdebatan lama memang, hakim punya kewajiban untuk keduanya, antara rasa keadilan dan kepastian hukum. Jadi enggak usah dibenturkan. Ya itu akan ada sepanjang zaman. Tugas hakim menjawab keduanya dengan segenap daya dan upaya," tulis Isnur dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Rabu 27 Februari 2019.
Â
Advertisement
Ada Hal yang Lebih Penting
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai, ada hal yang lebih penting untuk diperhatikan saat ini ketimbang memperdebatkan perspektif hukum berbasis keadilan dan tepat hukum.
Salah satunya adalah reformasi profesionalisme dalam dunia peradilan. Catatan YLBHI, pada periode 2016-2018, ada operasi tangkap tangan terhadap 13 aparat peradilan. Setidaknya, lanjut dia, 5 hakim dan 8 panitera ditangkap oleh KPK.
Catatan lainnya, sepanjang 2015-2017 terdapat temuan 624 hakim yang terlapor melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Tapi hanya 49 hakim yang disidangkan di Majelis Kehormatan Hakim.
"Dalam artian sangat sedikit yang diberikan sanksi tegas. MA sendiri di dalam laporan tahunan 2016 mengaku telah memberikan sanksi kepada 73 hakim dan 77 aparat peradilan (panitera dan staf). Dalam titik ini kita menjadi sangat meragukan peradilan, kepercayaan publik jadi sangat minim," ujar Isnur.
Demikian pula di Mahkamah Konstitusi. Mantan Ketua MK, Akil Mochtar, juga ditangkap karena kasus korupsi.
"Kondisinya sangat buruk, Ketua MK Akil Mukhtar dan juga Hakim Konstitusi Patrialis Akbar terbukti diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Isnur.
"Dalam perkembangannya nampak potret buram semakin terkuak," sambung dia.Â
Oleh karena itu, dia berharap adanya penguatan fungsi kontrol terhadap kekuasaan kehakiman. Ini, kata dia, bukan untuk merusak wewenang hakim, tapi untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Ada tiga cara yang menurut dia efektif guna mengembalikan integritas hakim dan kepercayaan publik. Pertama, kejelasan ranah pengawasan; kedua, penguatan prinsip akuntabilitas; dan ketiga, terkait sifat eksekutorial pengawasan.
Dia menambahkan, sekarang ini, DPR membahas RUU Jabatan Hakim dan, "Penting UU ini segera disahkan dan menjadi katalisator baru untuk perubahan dunia peradilan."
Komisi Yudisial pun memiliki harapan yang tak jauh beda. Tepat pada Hari Kehakiman, Ketua KY, Jaja Ahmad Jayus mengajak masyarakat untuk mengoreksi peradilan di Tanah Air untuk mewujudkan keadilan.
"Tentu di Hari Kehakiman, mari kita mengkoreksi visi Mahkamah Agung untuk mewujudkan peradilan agung itu sudah on the track atau tidak. Jika belum, lalu apa yang harus dikoreksi? Misal kualitas hakimnya, ketersediaan sarpras, jadi kita evaluasi di situ. Tapi kalau sudah, apa yang harus ditingkatkan untuk lebih baik lagi," kata Jaja.
Â