Liputan6.com, Jakarta - Baru 143 hari, Adriatma Dwi Putra merasakan "empuknya" kursi Wali Kota Kendari. Dia juga merupakan wali kota termuda di Indonesia sejak pertama kali dilantik pada 9 Oktober 2017.
Namun, pada Rabu 28 Februari 2018, dia menyandang status baru sebagai tersangka suap. Status tersangka itu tersemat setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan gelar perkara pada malam usai dia digelandang ke Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, bersama sang ayah, Asrun.
Baca Juga
Ya, Adriatma ditangkap KPK bersama dengan ayahnya, Asrun, pada Selasa, 27 Februari 2018 malam. Juga hampir bersamaan dengan penangkapan mantan Kepala BPKAD Kendari Fatmawati Faqih dan Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah.
Advertisement
Asrun adalah mantan Wali Kota Kendari dua periode 2007-2017. Kini dia mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Pilkada 2018.
KPK menduga Adriatma meminta fee proyek pelaksanaan barang dan jasa kepada Dirut PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah. Jumlah yang ditemukan KPK Rp 2,8 miliar.
Dia diduga menerima suap sebesar Rp 2,8 miliar dari Hasmun Hamzah. Penerimaan uang tersebut diberikan dalam dua tahap. Pertama, Rp 1,5 miliar dan kedua Rp 1,3 miliar.
Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan mengatakan Asrun memiliki peran besar dalam kasus ini. Adriatma diduga meminta fee atas perintah ayahnya untuk bakal dipakai Asrun untuk kampanye.
"Jika ASR (Asrun) bukan ayah dari ADR (Adriatma), kecil kemungkinan dia masih bisa perintah-perintah untuk dapatkan sesuatu dari pengusaha-pengusaha sebelumnya yang menjadi rekanan," terang Basaria di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Maret 2018.
Basaria mengatakan PT SBN atau Hasmun Hamzah kerap mendapat proyek sejak Wali Kota Kendari masih dijabat Asrun. PT SBN juga merupakan kontraktor sejumlah proyek infrastruktur di Kota Kendari sejak 2012. Bahkan pada Januari 2018, PT SBN memenangkan tender proyek pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port senilai Rp 60 miliar.
"ASR (Asrun) sudah jadi Wali Kota Kendari 10 tahun sebelum mengikuti cagub dan pengusaha ini, HAS bukan tahun ini saja. Dia sudah ikuti dan kerjakan proyek-proyek pada saat ASR sebagai Wali Kota," kata Basaria.
KPK juga mendalami kemungkinan Asrun maupun Adriatma menerima uang dari pengusaha lain, selain Dirut PT SBN. "Masih dalam perkembangan dan tak bisa kita ungkap semuanya," ujar Basaria.
Untuk mengungkap kasus ini, KPK harus memecahkan kode-kode unik yang digunakan sebagai simbol besaran suap.
KPK kemudian membeberkan kode yang digunakan dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Pemkot Kendari itu dalam konferensi persnya.Â
"Terindikasi sandi yang digunakan adalah 'Koli Kalender' yang diduga mengacu pada arti uang Rp 1 miliar," ujar Basaria.
Baik Asrun, Adriatma, maupun Kepala BPKAD Kota Kendari, Fatmawati Fakih (FF) disangkakan melanggar Pasal 11 atau 12 huruf a atau huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.Â
Mendagri Terpukul
Penetapan mantan Wali Kota Kendari sebagai tersangka ini tak lama setelah KPK menangkap Bupati Subang Imas Aryumningsih dalam kasus suap terkait pengurusan izin yang diajukan dua perusahaan yaitu, PT ASP dan PT PBM.
Padahal ketika Imas ditangkap 13 Februari 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku terpukul.
"Kepala daerah itu mitra Kemendagri dalam membangun hubungan tata kelola pemerintah pusat dan daerah, yang semakin efektif, efisien. Dengan banyaknya OTTÂ KPK, ya saya merasa terpukul, juga sedih dan prihatin," ucap Tjahjo dalam pesan singkat, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Kekecewaan ini muncul karena dia berulang kali telah mengingatkan kepada para kepala daerah agar memahami area rawan korupsi yang harus dihindari dalam mengambil sejumlah kebijakan. Namun sayangnya, pesan tersebut kerap diabaikan.
"Sering kami sampaikan (area rawan korupsi) secara resmi dan tertulis di forum diklat kepala daerah, forum pengawasan dengan KPK, Irjen Kemendagri, BPK, dan BPKP. Harusnya pejabat pusat dan daerah sudah paham," ujar Tjahjo Kumolo melalui pesan singkat di Jakarta, Jumat, 16 Februari 2018.
Dia menambahkan sistem pencegahan korupsi di pemerintahan juga sudah dibuat, di antaranya untuk mengatasi suap dan penerimaan gratifikasi.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Vonis 5 Tahun 6 Bulan
Tok! Tok! Tok! Ketua Majelis Hakim Haryono mengetuk palunya pada 31 Oktober 2018. Pengadilan Tipikor memutus bersalah eks Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra bersama sang ayah yang juga merupakan mantan Wali Kota Kendari, Asrun.
Mereka divonis 5 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Keduanya dinyatakan bersalah dan terbukti menerima suap Rp 6,8 miliar dari kontraktor PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah.
"Menjatuhkan pidana terhadap Adriatma dan Asrun, penjara masing-masing 5 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta atau subsider 3 bulan kurungan," ucap Ketua Majelis Hakim Haryono saat membacakan vonis keduanya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu 31Â Oktober 2018.
Dalam vonis tersebut majelis hakim mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan vonis Adriatma dan Asrun, keduanya tidak mendukung pemerintahan yang bersih, tidak mengakui perbuatannya, tidak menyesali perbuatannya.
"Hal hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, dan punya tanggungan keluarga," ucap Haryono.
Vonis majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK yang menuntut ayah dan anak tu dengan tuntutan delapan tahun penjara, denda Rp 500 juta, atau subsider enam bulan kurungan.
Adriatma yang baru menjabat Wali Kota Kendari sejak 2017 ini disebut menyetujui dan memenangkan PT SBN untuk melaksanakan proyek tahun jamak (multiyears) pembangunan Jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020.
Advertisement