Liputan6.com, Jakarta - Selasa 27 Februari 2007, hujan deras melanda Kenagarian Pagaruyung, Kecamatan Tanjuang Ameh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Hujan yang ditingkahi petir serta angin kencang membuat warga sekitar takut untuk keluar rumah. Hujan yang turun sejak pagi itu mulai reda menjelang malam, namun suara petir masih memekakkan telinga.
Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com mencatat, sekitar pukul 19.46 WIB, petir terlihat menyambar bagian atap Istano Basa Pagaruyung. Api seketika berkobar. Atapnya yang berupa ijuk ikut mempercepat api melalap semua bangunan dan isi istana kebanggaan warga Sumatera Barat itu.
Baca Juga
Menurut saksi mata, api awalnya membakar dua bagian belakang Istano Pagaruyung. Api kemudian dengan cepat menjalar ke gonjong. Hingga pukul 22.00 WIB api belum benar-benar padam, meski sejumlah mobil pemadam kebakaran dari sejumlah daerah dikerahkan ke lokasi.
Advertisement
Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Tanah Datar Kompol Diarsyah Darwis yang ketika itu turun langsung ke lokasi kejadian mengungkapkan, upaya pemadaman api terkendala dengan minimnya peralatan.
Armada pemadam kebakaran yang dikerahkan dari ibu kota kabupaten Batusangkar, tidak ada yang dilengkapi dengan tangga. Sehingga upaya pemadaman tidak bisa dilakukan dari jarak dekat.
"Mobil pemadam kebakaran dari Padang baru datang sekitar pukul 21.00 WIB, ketika Istano sudah ludes dan rata dengan tanah," kata Diarsyah.
Kejadian ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan warga Minangkabau. Alasannya, Istano Pagaruyung merupakan simbol kebesaran Minangkabau di masa lalu, sehingga layak untuk dijaga dan dipertahankan. Apalagi, pemberian gelar adat untuk sejumlah tokoh nasional selalu dilakukan di istana ini.
Di antara pejabat dan tokoh penting yang pernah diberi gelar adat di Istano Basa Pagaruyung adalah, Raja Negeri Sembilan Malaysia Tuanku Ja’afar Bin Tuanku Abdul Rahman, Sri Sultan Hamengkubowono X, Taufiq Kiemas, Presiden Megawati Soekarnoputri, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution, dan terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie, dari semua pejabat dan tokoh penting itu, hanya Taufiq Kiemas yang dilewakan menjadi datuak, selebihnya cuma menerima gelar kehormatan.
"Taufik Kiemas telah menjadi datuak di nagari asalnya, Batipuah. Jadi, karena menjadi suami presiden, maka Taufik juga dilewakan di Istano Basa Pagaruyung," kata Kamardi.
"Kita berharap Gubernur Gamawan Fauzi segera merembukkan lagi pembangunan Istano Basa Pagaruyung, seperti Harun Zain membangun dulu," imbuh dia.
Istano Pagaruyung, kata Kamardi harus secepatnya dibangun. Sebab, istano itu merupakan simbol-simbol penting dari sejarah Minangkabau dan Sumatera Barat.
Gubernur Gamawan Fauzi yang ketika kebakaran terjadi masih berada di Jakarta mengaku terkejut dengan peristiwa yang menghanguskan Istano Basa Pagaruyung.
"Yang pasti, istano itu harus segera kita bangun," tegas Gamawan.
Istano Basa Pagaruyung akhirnya direkonstruksi kembali selama 5 tahun dan menghabiskan biaya Rp 19,7 miliar. Pembangunan kembali Istano Basa Pagaruyung menghabiskan 800 kubik kayu surian dan meranti, 260 ton ijuk untuk atap dengan konstruksi atap baja ringan, serta sebagian dinding dengan beton yang dilapisi kayu ukiran.
Bangunan berlantai tiga itu kini dibangun sama seperti bangunan yang dulu terbakar, hanya letaknya dimundurkan 40 meter ke belakang sehingga halamannya lebih luas. Akibat kebakaran tersebut sekitar 35% dokumen dan benda-benda bersejarah koleksi Istana Pagaruyung tidak bisa diselamatkan.
Sedangkan 65% benda dan dokumen sejarah koleksi istana bisa diselamatkan, saat api belum menghanguskan seluruh bangunan. Ruang terbawah adalah ruang utama dengan beberapa bilik di samping dan belakang.
Tujuh bilik di sisi belakang adalah kamar para putri raja yang telah menikah. Di tengah ruangan, merupakan singgasana tempat raja menjalankan pemerintahannya.
Lantai kedua merupakan ruang kamar tidur bagi putri raja yang belum menikah. Lantai teratas tempat raja bersantai, kini menjadi ruang display koleksi senjata.
Dan pada 31 Oktober 2013, Presiden SBY meresmikan Istano Basa Pagaruyung ini dan bersamaan dengan itu pula kembali dibuka untuk umum.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Istana dengan 72 Tiang
Daerah segitiga Kabupaten Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar, dianggap sebagai poros awal persebaran kebudayaan Minangkabau. Tinjauan sejarah mempercayai ketiga daerah yang pada masa lampau berjuluk Luhak nan Tigo ini merupakan permukiman awal dari masyarakat Minangkabau atau disebut pula wilayah darek (daratan).
Pada wilayah ini pula, di masa lalu berdiri sebuah pemerintahan konfederasi yang disebut sebagai Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan yang terbentuk dari gabungan nagari-nagari ini runtuh setelah terjebak dalam siasat kolonial Belanda saat perang Padri bergejolak.
Salah satu peninggalan sejarah yang masih tersisa dari eksistensi kekuasaan Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah istana megah yang terletak di Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Istana ini bernama resmi Istano Basa Pagaruyung yang berarti Istana Besar Kerajaan Pagaruyung.
Sesuai dengan namanya, istana ini mengabadikan kemegahan arsitektur dari pusat pemerintahan kerajaan. Meskipun wujud yang berdiri megah sekarang ini bukanlah bangunan aslinya, namun berbagai detail ciri khas arsitektur yang dimilikinya masih sama seperti kondisinya di masa lampau.
Istano Basa Pagaruyung dahulu merupakan kediaman dari Raja Alam, sekaligus pusat pemerintahan dari sistem konfederasi yang dipimpin oleh triumvirat (tiga pemimpin) berjuluk Rajo Tigo Selo. Sistem kepemimpinan ini menempatkan Raja Alam sebagai pemimpin kerajaan dengan dibantu dua wakilnya, yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo serta Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus.
Kedua wakil ini memutuskan berbagai perkara yang berkaitan dengan permasalahan adat serta agama. Tetapi, jika suatu permasalahan tidak terselesaikan maka barulah Raja Pagaruyung (Raja Alam) turun tangan menyelesaikannya.
Istana ini merupakan replika dari bangunan asli yang dibakar Belanda pada tahun 1804. Bangunannya berbentuk sebuah rumah panggung berukuran besar dengan atap gonjong yang menjadi ciri khas dari arsitektur tradisional Minangkabau.
Rumah panggung besar ini bertingkat tiga, dengan 72 tonggak yang menjadi penyangga utamanya. Terdapat 11 gonjong atau pucuk atap yang menghias bagian atas dari bangunan ini. Seluruh dinding bangunan ini dihiasi oleh ornamen ukiran berwarna-warni yang secara total terdiri dari 58 jenis motif yang berbeda.
Sebagai sebuah istana kerajaan, masing-masing tingkat dalam bangunan ini memiliki fungsi yang berbeda-beda. Tingkat paling bawah merupakan tempat aktivitas utama pemerintahan berupa sebuah ruang besar yang melebar dengan area khusus sebagai singgasana raja di bagian tengahnya. Di sisi kiri dan kanan ruangan terdapat sebuah kamar. Di bagian belakang singgasana terdapat tujuh buah kamar sebagai tempat bagi para putri raja yang telah menikah.
Tingkat kedua dari bangunan merupakan ruang aktivitas bagi para putri raja yang belum menikah. Besarnya ruangan ini sama dengan besar ruangan utama di bawahnya. Ruangan yang teratas merupakan tempat raja dan permaisurinya bersantai sambil melihat kondisi di sekitar istana.
Ruangan ini disebut anjung peranginan, yang posisinya terletak tepat dibawah atap gonjong yang berada di tengah bangunan atau disebut juga gonjong mahligai. Di ruangan ini terdapat sejumlah koleksi senjata pusaka asli kerajaan yang masih tersisa, di antaranya tombak, pedang, dan senapan peninggalan Belanda.
Bangunan asli dari istana ini awalnya berlokasi di Bukit Batu Patah. Setelah insiden tahun 1804 istana ini didirikan kembali, tetapi terbakar habis pada tahun 1966. Pada 27 Desember 1976 upaya rekonstruksi ulang kembali dilakukan dengan ditandai peletakan tonggak tuo (tiang utama) oleh Gubernur Sumatera Barat saat itu, Harun Zain.
Istana ini dibangun kembali di lokasinya yang baru di sisi selatan bangunan asli, yaitu di lokasinya saat ini. Istana ini juga tercatat sebagai salah satu obyek wisata paling banyak dikunjungi di Sumatera Barat. Pembangunan keseluruhan baru dimulai tahun 1977 dan selesai tahun 1985.
Dana pembangunan tidak saja berasal dari APBD Tanah Datar dan iuran ninik mamak, tapi juga bantuan Bank Dunia. Bahkan Pemerintah Malaysia ikut menyumbang membangun pagar Istano Basa Pagaruyung.
Pada 27 Februari 2007, istana ini kembali terbakar akibat tersambar petir. Upaya pembangunan kembali berlangsung antara tahun 2008-2012 dengan menelan dana lebih dari Rp 20 miliar. Arsitektur aslinya tetap dipertahankan meskipun sebagian besar peninggalan barang berharga di dalamnya musnah dan hanya tersisa sekitar 15 persen.
Â
Advertisement