Liputan6.com, Jakarta - Robertus Robet tak pernah menyangka, nyanyiannya pada Kamisan 28 Februari 2019 lalu membuatnya berhadapan dengan polisi. Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta itu diciduk polisi pukul 00.30 WIB, Rabu 6 Maret 2019.
Kurang dari 1x24 jam kemudian, Robet ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penghinaan institusi TNI.
Robet sendiri mengakui telah memplesetkan lirik Mars ABRI. Dia pun memohon maaf kepada TNI usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri, Kamis 7Â Maret 2019.
Advertisement
"Oleh karena orasi itu saya telah menyinggung dan dianggap menghina lembaga atau institusi. Saya pertama-tama ingin menyampaikan permohonan maaf," ucap Robet kepada awak media di Bareskrim Polri.
Dia juga tak membantah, jika orang yang berada di video viral memang dirinya. Namun, Robet meluruskan. Ia tidak bermaksud menghina atau merendahkan TNI.
"Benar bahwa yang ada di orasi dan sempat menjadi viral adalah saya. Saya tidak bermaksud merendahkan institusi TNI yang sama-sama kita cintai," ujar Robet.
Polisi sendiri mengatakan, penetapan tersangka terhadap Robet sudah sesuai prosedur. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menjelaskan, penyidik telah memiliki dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan.
"Pertama adalah dari pemeriksaan ahli. Kedua dari alat bukti berupa pengakuan yang bersangkutan," ucap Dedi, Jakarta, Kamis (7/3/2019).
"Yang bersangkutan sudah mengakui. Jadi konstruksi hukum perbuatan melawan hukum untuk Pasal 207-nya terpenuhi di situ," imbuh dia.
Dedi mengatakan, pihaknya menjerat Robertus Robet dengan Pasal 207 KUHP. Sebab, yang disampaikan tidak sesuai dengan data dan fakta dan justru malah mendiskreditkan.
"Tanpa ada data dan fakta, itu mendiskreditkan salah satu institusi, itu berbahaya," ucap Dedi.
Dedi mengatakan, Polri tidak mempersoalkan penyampaian pendapat di muka umum. Sepanjang, lanjut dia, memenuhi unsur Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pasal 6 UU tersebut mengatur sejumlah ketentuan dalam penyampaian pendapat di muka umum. Pertama, harus menghormati hak asasi orang dalam menyampaikan pemdapat di muka publik. Kedua, harus menghormati aturan moral yang berlaku. Ketiga, harus menaati aturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, harus menjaga, dan menghormati keamanan serta ketertiban umum. Kelima, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan.
Pada kasus ini, penyidik melihat Robet melanggar aturan tersebut saat berorasi di acara Kamisan di Monas.
"Narasi-narasi yang disampaikan sangat mengganggu. Oleh karenanya, dari penyidik menerapkan Pasal 207 KUHP," kata Dedi.
Setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri, Robet kemudian dipulangkan.
"Hari ini untuk saudara R setelah dilakukan pemeriksaan kemudian proses administrasi penandatanganan beberapa berita acara selesai, saudara R dipulangkan oleh penyidik," kata Dedi.
Menurut dia, kepulangan Robertus Robetbukan berarti lepas dari jeratan hukum. Ia menyatakan, proses hukum tetap berjalan seusai standar operasional prosedur.
"Apabila nanti memang masih dibutuhkan keterangan saudara R, tentunya nanti akan dipanggil ulang kembali, tentunya dalam rangka untuk menyelesaikan berkas perkara," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Beragam Komentar
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menanggapi penangkapan akademisi Robertus Robet atas dugaan penghinaan terhadap TNI. Kendati mengaku belum tahu persis peristiwa tersebut, Moeldoko mengatakan, untuk menyampaikan sesuatu di negara demokrasi tetap ada aturannya.
"Saya belum tahu peristiwanya. Tapi prinsipnya beginilah, negara ini negara demokrasi. Bukan berarti semua orang bisa semaunya menyampaikan sesuatu," ujar Moeldoko di Rumah Aspirasi, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2019).
Mantan Panglima TNI tersebut mengatakan, setiap negara demokrasi memiliki undang-undang yang akan memperkuat sistemnya. Oleh karena itu, undang-undang harus ditegakkan. Jika memang ada yang melanggar, harus diproses sesuai aturan. Termasuk Robertus Robet.
"Demokrasi itu kan harus diperkuat dari instrumen keundang-undangan. Begitu keluar, semprit. Kan begitu. Masih melakukan lagi, penjarain saja kan begitu," kata Moeldoko.
Sebelumnya, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian. Saat ini Robert masih menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Sementara, sejumlah orang membela Robet. Salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil. Koalisi ini terdiri dari para aktivis kemausiaan, akademisi dan juga mahasiswa.
Bhatara Ibnu Reza seorang akademisi dan peneliti yang tergabung dalam koalisi tersebut menyatakan, teman seprofesinya itu tidak bermaksud untuk menghina institusi TNI.
"Dalam konteks ini, tidak ada unsur-unsur yang dituduhkan kepadanya itu terbukti. Robertus sama sekali tidak bermaksud menghina institusi tersebut. Apa yang dilakukannya hanya ingin supaya TNI profesional," ujar Bhatara dalam jumpa pers di Kantor Yayasan Lambaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta, Kamis (7/3/2019).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Fitri Susanti. Dia menilai, lagu itu lebih merupakan kritik dan mengingatkan peran ABRI pada masa Orde Baru yang terlibat dalam kehidupan politik praktis. Lagu itu juga sering dinyanyikan aktivis era 1990-an dan populer pada era reformasi.
"Lagu sebagai bentuk pengingat bahwa peran politik ABRI pada Orde Baru adalah sesuatu yang dapat mengganggu kehidupan demokrasi dan mengganggu profesionalisme militer," terangnya.
Â
Advertisement
Lagu Plesetan Robertus Robet
Sebelumnya, beredar video Robertus Robert melakukan orasi dalam acara Kamisan di depan Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Robertus menyanyikan mars ABRI, tetapi tidak sesuai liriknya.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Siap sedia
Mempertahankan
Menyelamatkan
Negara Republik Indonesia
Oleh Robert, liriknya telah diubah sehingga mengandung ujaran kebencian pada angkatan bersenjata.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Tidak berguna
Bubarkan saja