Liputan6.com, Jakarta Narkotika masih menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017 menunjukkan bahwa terdapat lebih kurang 3.367.000 orang yang menggunakan narkoba.
Anggota Fraksi PDIP Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Henry Yosodiningrat, mengatakan bahwa narkotika di Indonesia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Narkotika merupakan kejahatan yang dilakukan oleh sebuah sindikat dengan tujuan untuk menghancurkan bangsa Indonesia dengan cara yang konsepsional dan sistematis. Tindakan pembusukan untuk generasi muda," ujarnya, saat menjadi narasumber dalam diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema 'Narkoba dan Kehancuran Kedaulatan NKRI', di Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPR RI, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2019).
Advertisement
Henry melanjutkan, upaya sindikat itu sudah hampir berhasil. Ia mengatakan, hampir 50 - 60 orang setiap hari meninggal dunia akibat dari penyalahgunaan narkoba dan setidaknya lima juta orang menjadi pengguna narkoba. Menurut Henry, tidak ada satu pun desa dan SMA di Indonesia yang bersih dari peredaran narkoba.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, imbuhnya, adalah merevisi Undang-Undang (UU) tentang Narkotika. Pasalnya, UU ini hanya berisi 155 pasal dan hanya 37 pasal yang memberi kewenangan kepada BNN. Selebihnya, memberi kewanangan kepada Badan POM dan Kementerian Kesehatan.
"Apa yang harus direvisi? Banyak sekali. Sekarang visi-misi dari UU itu sendiri apa? Mau mencegah atau memberantas kah? Ke depannya, saya berharap BNN itu tidak mendua. Kalau mau mencegah, jangan dari pintu masuk karena kita tidak akan sanggup. Kalau mau mencegah, harus dari negara asal. Kita juga harus punya Kepala BNN yang 'menakutkan'," ucap Henry.
Menurutnya, rehabilitasi saja tidak akan memberantas akar masalah narkotika. Harus diberantas dari sumbernya atau melakukan pencegahan dengan memberi penyuluhan ke masyarakat.
Sementara itu, Mantan Kepala Bagian Humas BNN, Kombes Pol Sulistiandriatmoko, mengatakan bahwa badan penegak hukum sudah telanjur gagal melakukan pencegahan. Karena itu, badan penegak hukum dan BNN harus mengatasinya dengan tindakan yang luar biasa.
Menurutnya, untuk menghadapi kondisi darurat narkoba diperlukan beberapa hal khusus. Mulai dari anggaran khusus, pembentukan satuan petugas khusus, serta jangka waktu tertentu untuk mengatasi kondisi itu.
Selain itu, badan penegak hukum juga harus mengikuti isi UU Narkotika dengan benar, sehingga dapat memberikan hukuman yang tepat kepada pengguna narkoba. Baik itu hukuman pidana maupun rehabilitasi.
Mengenal UU Narkotika
Sulistiandriatmoko menyebutkan, UU Narkotika Pasal 54 menyebutkan bahwa korban penyalahgunaan narkotika adalah mereka yang karena dipaksa, diperdaya, dan ditipu, akhirnya dia menggunakan narkotika. Artinya, tidak ada sikap batin atau mens rea untuk melakukan itu.
"Beda dengan penyalahguna. Menurut Pasal 1 butir 15, penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum. Sangsinya, berdasarkan Pasal 127, adalah setiap orang yang menggunakan golongan 1 atau sabu akan terkena ancaman empat tahun hukuman pidana, golongan 2 dua tahun, dan golongan 3 satu tahun," kata dia.
Sulistiandriatmoko menambahkan, rehabilitasi ada dua metode, yaitu voluntary dan compulsory. Voluntary rehabilitation diberikan kepada orang yang jadi korban penyalahgunaan narkoba lalu melaporkan diri untuk mendapat proses penyembuhan. Jadi, tak ada proses hukum di dalamnya. Rehabilitasi ini juga bisa diberikan untuk pecandu yang melaporkan diri atau orang yang ditangkap tapi tidak ditemukan barang bukti.
Sementara itu, compulsory rehabilitation diberikan untuk penyalahguna narkoba yang ditangkap tangan lalu direkomendasikan oleh tim asesmen terpadu untuk mendapatkan rehabilitasi. Kemudian, penyalahguna ini ditempatkan di pusat rehabilitasi selama proses pidananya berjalan hingga hakim memutuskan bahwa ia mendapat hukuman rehabilitasi.
Menyangkut kasus politikus AA yang baru-baru ini ditangkap karena kasus narkoba dan mendapat kesempatan rehabilitasi, Sulistiandriatmoko menilai bahwa hal itu kurang sesuai UU. Menurutnya, AA bisa dikenakan Pasal 127 untuk golongan 1 dan mengikuti compulsory rehabilitation.
Kegiatan diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema 'Narkoba dan Kehancuran Kedaulatan NKRI juga menghadirkan narasumber Anggota Fraksi NasDem MPR RI, Taufiqulhadi.
(*)