Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta umat Islam di Indonesia memahami niat Nahdlatul Ulama (NU) yang menyarankan agar WNI non-muslim tidak lagi disebut sebagai kafir.
"Bukan mau mengganti surat al Kafirun, tidak. Dalam konteks Indonesia yang majemuk ini karena sebutan kafir itu semangatnya adalah segregasi, memisah-misahkan," tutur Lukman dalam acara Halaqoh Pengembangan Pendidikan Islam di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Senin (11/3/2019).
Baca Juga
Menurut Lukman, sejatinya hasil dari sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU bukanlah fatwa melainkan imbauan.
Advertisement
"Itu sebenarnya anjuran. Munas alim ulama Nahdlatul Ulama. Sebenarnya saran, ajakan, dakwah, bukan fatwa. Apa dakwahnya, alim ulama yang melahirkan ini adalah ulama-ulama dengan reputasi tinggi. Punya ilmu yang kompeten di bidangnya dan bukan sembarang orang yang usulkan. Kumpulan ulama-ulama secara kolektof. Ini ijtihad kolektif jama'i," jelas dia.
Lukman yakin tujuan dibatasinya penyebutan kafir terhadap non-muslim di Indonesia adalah demi menjaga persatuan atas kemajemukan bangsa. Jauh dari upaya penghapusan istilah atau kata tersebut dari Alquran.
"Ini rekomendasi dan tidak diwajibkan semua orang ikut. Ini ajakan yang intinya bagaimana kehidupan sesama saudara sebangsa tidak menggunakan panggilan yang dirasa pihak yang disebut itu ini memisahkan. Dalam poin ini saya ingin kembali dalam moderasi agama ini. Kembali pada substansi dan esensi," Lukman menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kata yang Menyakiti
Â
Sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan Pancasila sebagai dasar negara berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya.
Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara dengan yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis bahkan agama. Hal itu selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah.
Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa atau umat yang berdaulat di hadapan bangsa/ umat lainnya tanpa diskriminasi.
Moqsith mengatakan kata kafir sering disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada nonmuslim, bahkan terhadap sesama muslim sendiri.
Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi nonmuslim di Indonesia. "Kata kafir menyakiti sebagian kelompok nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis," katanya.
Ia mengatakan para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan nonmuslim di dalam sebuah negara.
"Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya. Meski demikian, kata dia, kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Hanya saja, penyebutan kafir terhadap nonmuslim di Indonesia tidak bijak.
Advertisement