Sukses

53 Tahun Berlalu, Supersemar Masih Tetap Terselubung

Kala itu, tak seperti biasanya, Sukarno datang ke Istana Bogor lebih awal.

Liputan6.com, Jakarta - Suara helikopter mendarat terdengar kala itu, Jumat, 11 Maret 1966 di Lapangan Istana, Bogor, Jawa Barat. Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Terlihat tiga orang jenderal angkatan darat (AD) bergegas datang menemui Presiden Sukarno.

Kabar berkembang. Ada yang mengatakan, ketiga jenderal datang mengendarai Jeep yang dikemudikan Brigjen Muhammad Jusuf, yang kala itu menjabat Menteri Perindustrian. Dua jenderal lainnya, yaitu Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi) dan Brigjen Amir Mahmud (Panglima Kodam Jaya), juga ada di dalam Jeep.

Ketika para jenderal datang, Sukarno sedang beristirahat. Rupanya, hari itu memang bukan momen membahagiakan.

Karena tak seperti biasanya, Sukarno datang ke Istana Bogor lebih awal. Ia memilih meninggalkan rapat kabinet di Jakarta menuju Bogor dengan terburu-buru.

Pengawal dan ajudan kepercayaan Sukarno, Brigjen Saboer kemudian melaporkan adanya kericuhan dan pasukan liar mendekati Istana Merdeka, Jakarta.

Padahal sebelumnya, Amir Mahmud yang dipercaya untuk mengamankan rapat, sempat melaporkan situasi dalam kondisi aman.

Kejadian tersebutlah yang akhirnya memunculkan inisiatif dari Mayjen Basuki Rachmat dan Brigjen Muhammad Jusuf untuk menemui Sukarno di Bogor.

Meskipun kedua menteri ini hadir dalam rapat kabinet di Istana Merdeka, mereka tidak tahu soal laporan berbeda hingga memunculkan ketegangan antara Saboer dan Amir Mahmud.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Pesan Soeharto

Seperti ditulis dalam laman Intelijen, sebelum berangkat ke Bogor, ketiga jenderal itu sempat menemui Soeharto di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat.

Saat itu, Soeharto yang telah diangkat Sukarno sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban sedang dalam kondisi sakit.

Soeharto kemudian mengizinkan ketiga jenderal untuk menemui Sukarno seraya menitipkan pesan.

"Saya bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepada saya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura," ucap Soeharto.

Ternyata, kedatangan ketiga jenderal itu memiliki maksud lain. Mereka meminta Sukarno agar memberikan kewenangan penuh kepada Soeharto untuk mengamankan kondisi negara. Berdasarkan pengakuan pengawal presiden yang berjaga waktu itu, Lettu Sukardjo, suasana tampak tegang.

Adu argumen antara tiga jenderal dan Sukarno pun tak terhindarkan. Mereka berargumen tentang isi surat kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Bahkan Sukardjo mengatakan, sempat terjadi todong-todongan senjata antara dirinya dan para jenderal.

Melihat desakan yang muncul, Sukarno akhirnya menandatangani surat kewenangan untuk Soeharto. Surat itulah yang kemudian dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar 1966.

Berbekal Supersemar 11 Maret 1966, Soeharto setapak melangkah lebih depan menuju kekuasaan. Tepat pada 22 Februari 1967, Sukarno menyerahkan nakhoda pemerintahan Indonesia kepada Soeharto.

 

3 dari 4 halaman

Misteri yang Belum Terkuak

Hingga saat ini, kebenaran soal isi Supersemar serta jalannya peristiwa masih menjadi perdebatan. Masalahnya sederhana.

Surat perintah yang telah menciptakan sejarah itu tak bersisa. Secarik kertas yang begitu penting, tetapi tak jelas ada di mana dan disimpan oleh siapa.

Bahkan, kebenaran tentang adanya secarik kertas itu juga diragukan. Hal itu lantara tak ada keterangan tentang siapa yang mengetik Supersemar. Terlebih, belakangan muncul dua versi Supersemar, yang hanya berupa secarik kertas dan dua lembar.

Tak berhenti sampai di situ. Untuk yang selembar kertas juga beredar beberapa versi dengan isi berbeda. Nama Sukarno pun ditulis tak sama. Tak jelas mana yang benar.

Karena itu, meski Sukarno disebutkan pernah mengatakan kalau naskah yang saat ini beredar secara resmi bukanlah yang sebenarnya dia perintahkan, Presiden pertama RI itu juga tak menuliskan butir-butir sebenarnya dari Supersemar.

Sementara Soeharto dan tiga jenderal yang datang ke Istana Bogor tak pernah buka mulut soal apa yang sebenarnya terjadi di hari Jumat itu. Hingga akhir hayat, mereka menyimpan semua misteri itu untuk mereka sendiri.

 

4 dari 4 halaman

Dokumen Itu Ada

Meskipun demikian, sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong menyatakan, keberadaan Supersemar seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Menurutnya, salah satu kejadian sejarah itu telah selesai.

"Apalagi Pak Harto (Soeharto) sudah meninggal, Bung Karno (Sukarno) juga sudah meninggal," ujar kata Anhar di Jakarta.

Dia mengatakan, publik selalu menyangsikan keberadaan dokumen Supersemar yang asli. Namun, Anhar meyakini bahwa dokumen itu pasti ada.

"Pasti ada. Saya melakukan berbagai observasi tentang itu. Isinyalah yang menjadi persoalan. Tapi, kalau Soeharto tidak membubarkan PKI, semakin tinggi tuntutan orang untuk membubarkan itu. Siapa yang bisa menahan massa pada saat itu?" ujar Anhar.

Oleh karena itu dia menegaskan, perdebatan mengenai latar belakang dikeluarkannya Supersemar oleh Sukarno dinilainya telah berakhir. Sukarno dan Soeharto memiliki perannya masing-masing bagi bangsa ini.

"Saya tidak pernah mengartikan Sukarno dan Soeharto jelek sepenuhnya," tegas Anhar.

Kini, 53 tahun setelah Jumat yang penuh misteri itu, kita kembali hanya dihadapkan pada fakta yang ada di buku-buku pelajaran sejarah yang meniadakan cerita kontroversial itu.

Sudah setengah abad lebih setelah kejadian Supersemar, tetapi kita masih saja mencari kertas yang ditandatangani Sang Proklamator Indonesia.